"Siapa tamunya, Tika?" teriak Ibu dari dapur."Kang Bejo dari Kelurahan, Bu!"“Suruh tunggu sebentar!” teriak Ibu lagi. Kemudian Ibu keluar menemui kami, ditangannya sudah menenteng tas kresek kecil. "Ini buat kamu, Jo. Buat sarapan.” Ibu menyerahkan bungkusan itu."Terima kasih, Bu, Mbak Tika. Saya pamit."Kami mengangguk dan mengantarkannya sampai teras rumah."Surat apa, Tika? Kenapa Pak Lurah kirim surat?" tanya Ibu setelah Kak Bejo pergi.Aku menyerahkan surat itu, kemudian Ibu membacanya."Ini bagus, lo. Berarti dari Kelurahan melihat usahamu itu bisa berkembang. Besuk datang saja, apalagi nanti akan bertemu orang Dinas. Siapa tahu ketemu jodoh pegawai negeri. Biar tidak kelamaan menjanda!" Ibu tersenyum menggodaku."Ibu! Jangan mulai lagi!""Ibu bercanda," ucapnya sambil tertawa."Sekarang waktunya menggunakan ilmu yang kamu dapat dari kampus. Sejak wisuda, kamu belum ada kesempatan untuk itu. Apalagi ini untuk desa kita. Itu pahalanya besar, karena ilmu kita bermanfaat untuk
"Pak Yanto, total timbangannya pas lima puluh kilo, ya. Harga perkilonya dua ribu empat ratus, jadi totalnya seratus dua puluh ribu ya, Pak."Aku memberikan catatan kertas kepadanya. Kertas itu akan di sodorkan ke Bulik Surti untuk di buatkan nota beserta pembayarannya.Harga yang di bulatkan. Di pengepul lain harga perkilonya dua ribu tiga ratus tujuh puluh. "Kenapa Pak Yanto?" tanyaku melihat Pak Yanto masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia membaca kertas yang aku berikan tadi sambil berguman lirih."Pak ... Pak Yanto!" teriakku.Dia kaget dan menatapku sambil tersenyum."E-endak, Mbak Tika. Saya cuma menghitung kebutuhan rumah. Mau bayar SPP anak saya," katanya lirih."Permisi, Mbak Tika. Saya ke Juragan dulu."Begitulah kehidupan petani. Kesuburan yang berlimpah tidak menular ke kehidupannya. Memang untuk makan sehari-hari bisa dipenuhi dengan hasil pertaniannya. Namun, untuk kebutuhan lainnya, sekolah, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari memerlukan biaya.Menaikkan har
"Kamu block nomor ponselku?" katanya sambil menunjukkan ponsel ke arahku. "Tidak. Aku saja tidak tahu nomor Mas Ilham. Bagaimana bisa ngeblock?" tanyaku heran."Masih saja tidak ngaku, ya. Dari tadi pagi aku coba kirim pesan, telpon, juga tidak bisa. Kamu tahu tidak, saya kawatir. Saya takut si Bambang itu ganggu kamu. Apalagi jalan di kampung ini sepi. Itu tidak aman, Kartika!" katanya kesal.Aku bengong melihatnya ngomel tanpa jeda. Aneh saja."Iiih! Dibilangin malah bengong! Ngerti tidak yang aku maksud. Ngeyel sekali!" ucapnya dengan mengibaskan tangannya depan wajahku."Sudah, ayo pulang saja!" Dia langsung menarik tanganku."Lepaskan tanganku!"Aku kibaskan tanganku tetapi tidak terlepas. Terpaksa aku mengikutinya dengan tangan masih tergenggam.Dia membukakan pintu mobil untukku. Mobilnya yang tinggi membuatku kesusahan naik dengan rok yang aku kenakan. Kami segera pergi setelah melambaikan tangan ke Bulik dan Mang Diman."Lain kali jangan pakai rok kalau ke pondok!" ucapnya
"Kartika, ini tomat nya di taruh mana?!" teriak Mas Ilham di depan pintu.Dia menjinjing keranjang yang penuh dengan tomat segar berwarna merah. Kemeja lengan panjangnya di singsingkan sampai siku. Warna kemeja merah bata terlihat kontras dengan kulitnya yang putih."Mas Ilham, biarkan saya yang angkat!" teriakku langsung menghampirinya. Meninggalkan Ibu yang masih menatap kami dengan bingung."Ini berat, biar laki-laki yang angkat!" katanya tanpa memedulikan aku, dia langsung bergegas ke dalam rumah.Memang tomat segitu biasanya aku angkat berdua bersama ibu, itupun bertahan dengan dipindah ke keranjang. Kalau aku sendiri, mana kuat. Terpaksa aku mengantar dia ke dapur, tempat kami membuat saus tomat. Cara bawanya terlihat keberatan, tidak seperti Mang Diman yang dipanggul di pundak.Aku sibak tirai pembatas ruangan, dan badan tingginya masuk dengan menunduk."Berat, lo. Tadi aku bertemu sama Mang Diman dan Bulik di depan," ucapnya setelah menaruh keranjang tomat di lantai. Tangan
Dari balik tirai pembatas dapur aku mencoba mengintip apa yang terjadi di ruang tengah. Raut wajah Ibu menunjukkan keseriusan. Sedangkan lawan bicaranya terlihat mengangguk-anguk saja. Terlihat sesekali tangan Ibu menepuk lengan laki-laki yang baru aku kenal ini.Kudekatkan telinga, tetapi tidak aku tangkap percakapan mereka dengan jelas. Perubahan ekspresi Ibu yang menerbitkan senyuman lah, yang membuatku lega.Sekarang, aku bisa melanjutkan tugasku membuat minuman. Aku menilik isi di dalam kulkas, bahan yang aku butuhkan ada. Jeruk nipis, sere dan daun jeruk. Semua di cuci bersih. Jeruk nipis di peras dan beberapa diiris tipis, sere potong dan ada yang di geprek. Campur semua bahan dengan minuman bersoda tadi, tambahkan daun jeruk yang sudah di remas.Jadi deh. Minuman soda yang rasanya segar, manis, asam dan ada bau sere. Perpaduan yang menimbulkan sensasi berbeda. Aku sajikan di gelas tinggi termasuk slice buah jeruk, daun jeruk dan sere utuh. Terlihat menarik.Aku mengintip sek
Dibantu Ibu, aku membuat saus. Mencuci tomat, dan menghilangkan batangnya termasuk yang bagian putih. Setelah itu di rebus dengan sedikit air, yang nantinya terganti dengan air dari tomat itu sendiri.Setelah itu digiling dan disaring memisahkan sari tomat dengan kulitnya. Kemudiam dimasak kembali dan ditambahan racikan khusus buatan ibu. "Biar dingin dulu, nanti malam saja dimasukkan botol," kata Ibu dengan merapikan peralatan yang sudah dipakai."Aku bersih-bersih dulu, Bu. Gerah!" ucapku menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi."Jangan lupa luluran! Biar kinclong besuk ke Kelurahan!" Ibu teriak dari luar sambil menggedor pintu."Malas, Bu. Besuk saja!" "Anak ini dibilangin orang tua ngeyel! Masak kalah bening sama Nak Ilham!" teriaknya lagi, tanpa menghentikan menggedor pintu kamar mandi."Iya, Bu! Iya!" teriakku keras. Terpaksa menyerah dengan perintahnya.Dengan bersungut, aku raih lulur bengkoang yang teronggok di deretan sabun. Lulur yang masih tersegel dan sudah berbulan-
Drrrt ... drrrt ... drrrt ... Ponselku berbunyi lagi, video call.Mas Ilham lagi.Orang ini selalu mengganggu saja. Kalau tidak aku angkat, pasti akan menerorku sampai pagi. Aku harus pura-pura tadi sudah tertidur, supaya dia tidak terlalu lama.Segera aku bergegas ke kamar, masuk ke selimut, lampu aku matikan dan tertinggal lampu tidur yang temaram. Tak lupa, rambutku aku urai dan acak sedikit. Pura-pura bangun tidur.Ok, siap.Aku pencet tombol OK. "Halo, ada apa, Mas. Aku sudah tidur," ucapku pelan dengan pasang wajah mengantuk dan suara malas.Di layar ponsel, dia masih terlihat segar. Berkaos tanpa kerah berwarna putih dengan rambutnya terlihat basah. Apa dia cuci rambut di malam seperti ini? Habis ngapain?"Sudah tidur? Maaf, ya. Kamu sih, tidak jawab pesan saya," ucapnya dengan tersenyum lebar menunjukkan lesung pipitnya."Maaf, aku tadi tidur.""Aku saja baru selesai kerja. Itu masih berantakan!" ucapnya tanpa menanggapi ucapanku. Kemudian dia mengarahkan ponselnya ke seluru
Masih pukul setengah enam, terlalu pagi untuk bersiap. Aku orangnya simple, yang penting bersih, rapi dan tidak bau, ditambah riasan tipis saja. Mungkin karena itu, aku kelihatan lebih muda daripada wanita lain yang seumurku.Aku langsung beranjak menuju kamar, sebelum Ibu mengomel karena tidak menurut kata-katanya. "Assalamualaikum."Langkahku terhenti dan melihat ke arah pintu. "Mas Ilham! Kenapa pagi-pagi sudah di sini? Ini masih terlalu pagi!" teriakku kaget.Aku membukakan pintu untuknya. Pintu kami ada dua rangkap. Pintu kayu yang selalu kami buka dan pintu dalam yang hanya setinggi satu meter dari bawah.Dia begitu rapi, kemeja panjang warna biru tua dan rambut klimis disisir rapi ke belakang. Dahinya yang putih bersih terpampang di sana, kontras dengan baju yang dia pakai."Sengaja aku ke sini pagi-pagi, mau bantuin kamu paking saus," ucapnya sambil melangkah masuk. Bau segarnya tercium sekilas, terasa menenangkan. Padahal, aku orang yang paling tidak suka bau parfum. Tetap
"Terima kasih, Sayang. Aku bahagia sekali!" ucapnya dengan menciumku bertubi-tubi. Di meja terlihat kotak yang terbuka dengan stik di tengahnya dengan garis dua berwarna merah di layarnya. Alhamdulillah. * "Kamu bahagia, kan?" tanyanya kembali. Kami sudah tidak duduk berhadapan lagi, kursi dia ganti dengan sofa panjang menghadap pemandangan alam dari lantai dua sambil menunggu pesanan makanan datang. Kami duduk berdampingan dengan tangannya merangkul pundakku. Proteksinya naik satu tingkat, makanan semua atas pesanan Mas Ilham, yang sebelumnya dipastikan di internet bahwa aman untuk ibu hamil. Termasuk minuman yang aku minum. "Lebih dari bahagia, Mas. Hatiku lega sekarang. Selama ini, terus terang aku tertekan," ucapku dengan menurunkan badan sedikit dan menyandarkan kepala di bahunya. "Yang paling lega itu aku." "Kenapa?" "Karena, mereka serius latihan berenangnya. Ini buktinya!" selorohnya sambil tertawa. Aku tersenyum mengingat bagaimana usaha kami untuk tujuan ini. Set
Mas Ilham memandang Pak Lurah, kemudian berganti memandangku. Dibukanya amplop tersebut dan dibaca kertas yang ada di dalamnya. Senyumnya seketika mengembang dan menatapku seperti tak percaya."Iya kalian mendapatkan penghargaan sebagai pemuda yang menginspirasi di tahun ini. Minggu depan, kita bersama-sama ke Pusat!" ucap Pak LurahTernyata kiprah kami terdengar sampai pusat, dan itu kebanggaan tersendiri untuk kami."Baiklah, Pakde Lurah. Kami permisi dulu," permisi kami sebelum meninggalkan Balai Desa.***"Mas Ilham, aku ke cafe yang kita pernah ke sana. Yang ada pisang krispynya," ucapku sambil menggelendot manja di lengannya. Hari ini hari minggu, jadi hanya ada kami berdua di sini. Waktunya, aku bermanja tanpa takut terpergok seseorang."O, yang di cafe itu. Kenapa? Mau napak tilas?" ucapnya berpaling ke arahku dan mencium sekilas pipi ini."Pingin pacaran.""Lho, ini sekarang sudah pacaran. Kurang mesra apa? Minta lebih?" ucapnya merengkuh tubuhku sambil menatapku dengan mata
Hari itu merupakan langkah awal, desa kami untuk berubah. Agrowisata Tomat sudah di buka, dan usaha kami mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata datang menjadi saksi lahirnya pembaharuan ini. Semua berjalan lancar.Mas Ilham mendatangkan media cetak dan itu sangat tepat untuk promosi.Hanya hitungan minggu, Agrowisata Tomat ramai pengunjung. Kamipun sibuk memaksimalkan fasilitas yang ada. Memperbaiki beberapa sistem yang kurang.Mas Ilham berusaha merinovasi terus menerus sampai mereka pengelola dari desa bisa mandiri. Usaha ini buka tidak ada halangan. Pernah beberapa pengepul tomat datang untuk menyampaikan inspirasi. Mereka kawatir tidak akan mendapatkan tomat lagi dari petani. Pak Lurah dan Mas Ilham langsung turun tangan. Mas Ilham memberikan skema pemasaran tomat, mereka diajari untuk mengembangkan bisnis mereka. Sehingga tidak terjebak dengan usaha yang tanpa pengembangan.Para pengepul akhirnya kembali dengan rasa puas. Dari kejadian ini,
Kami memarkir motor di halaman dan langsung menghampiri Ibu di teras rumah yang tersenyum-senyum."Assalamualaikum, Bu!" ucap Mas Ilham dan mencium tangan Ibu. Tangannya langsung ditariknya ke dalam. Mereka meninggalkanku sendiri di teras, huh! Benar-benar mengesalkan."Nak Ilham pasti lapar, kan. Sudah saya siapkan soto daging. Makan sekarang?" "Sebentar saya ke kamar mandi dulu, Bu. Capek keliling desa!" ucap Mas Ilham dengan tersenyum, dia langsung bergegas pergi. "Tika! Suamimu itu diurus yang benar. Tadi pagi kamu kasih sarapan tidak? Sekarang kalian tinggal berdua saja, kamu jangan semena-mena pada suami. Diperhatikan kebutuhannya. Dulu di rumah Bu Aisyah, Mamanya yang memperhatikan. Sekarang dia tanggung jawabmu!" kata-kata Ibu mulai berentetan panjang sekali. "Sudah, Bu. Tadi pagi kami sarapan roti. Ibu tidak usah kawatir," ucap Mas Ilham setelah keluar dari kamar mandi. "Apa?! Cuma roti? Mana bisa untuk menambah stamina? Sudah sekarang kalian makan!" teriak Ibu. Aku dan
"Terima kasih atas kunjungannya ke Agrowisata Tomat di Desa Panggah Mulyo. Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umur yang panjang, boleh berjumpa di Agrowisata Tomat ini."Lela menutup simulasi pemandu wisata untuk pembukaan hari besuk. Disambut tepuk tangan Pak Lurah beserta perangkat desa.Walaupun sebagai sekretaris pengelola, dia juga ikut andil di lapangan. Mas Ilham menunjuknya sebagai pelatih dan mengawasi para pemandu. Ternyata kecerewetannya sangat berguna di program ini. Itulah kelebihan Mas Ilham, mengatur dan menempatkan orang sesuai kemampuan dan kemauan seseorang.Semua warga di sini bersiap menyambut hari besuk. Semua ketua RW dan RT mengatur warganya untuk berbenah bersih-bersih desa. Kelompok tani bersiap merapikan lahannya. Tumbuhan tomat dipangkas daun-daun kering dan dahan yang mengganggu. Para pemuda juga sibuk di pos yang sudah di tentukan. Para pelaku UMKM sibuk merapikan lapak dan produknya. Semua satu kampung sibuk, apalagi Pak Lu
“Apa enaknya, tidak ada acara belah duren!" Celetukan itu yang membuat Pak Bambang kehilangan satu gigi depannya. Kejadian itu sempat membuat desa heboh, banyak yang menuding Pak Bambang keterlaluan walaupun di belakang tetap ada kasak kusuk membenarkan perkataannya. Termasuk aku sendiri."Mas Ilham, benar yang diucapkan dia. Seumur hidup kamu tidak mempunyai momen itu. Aku iklas, kalau kamu ingin menikah lagi," ucapku yang memang tidak mungkin memberikan dia sesuatu itu."Gila, kamu! Kau pikir aku kambing, yang asal kawin untuk darah perawan yang hanya sesaat itu!" teriak Mas Ilham."Mas Ilham, aku hanya tidak ingin kamu menyesal. Kenapa kamu marah? Kau pikir aku senang dengan menawarkan ide ini?!" "Dasar istri bodoh! Sini istri bodohku yang membuatku jadi orang bodoh juga," ucapnya merengkuh tubuh ini."Kok kamu ikutan bodoh?""Iya iya, lah. Ganteng gini dapet janda," ucapnya sambil berkelit dari cubitanku."Kartika, menikah itu bukan beralasan janda, perjaka ataupun perawan. Teta
Program pengembangan desa melalui agrowisata sudah mulai dirintis. Program seratus hari, nama yang diberikan Mas Ilham.Hitungan hari itulah, lahan tomat percontohan sudah bisa dimanfaatkan. Ada lima petak lahan desa yang di gunakan. Setelah diuji keberhasilannya, kami akan memgembangkan ke para petani. Tomat sudah siap untuk panen pertama di usia seratus hari. Ada beberapa varietas tomat yang dikembangkan, selain tomat sayur, tomat sambal, tomat buah dan tomat chery. Sengaja kami kembangkan sesuai peruntukannya, selain untuk edukasi juga untuk pengembangan hasil tomat yang berbeda jenis, berbeda pula produknya.Lega rasanya hati ini, melihat rencana sudah membuahkan hasil. Aku sangat senang seperti saat ini. Berkeliling di tengah kebun tomat yang sudah berbuah lebat. Beberapa warna merah menyembul di gerumbulan tomat berwarna hijau. Aku membayangkan wisatawan akan puas berkeliling di kebun tomat ini. Kelompok tani yang diketuai Pak Yanto, bekerja dengan keras dan cerdas. Aku hanya
Sudah lima belas hari kami di rumah Mas Ilham, hari ini giliran di rumahku. Begitu perjanjian awal kami, mempunyai orang tua tunggal mewajibkan kami berbagi hari di rumah mereka. "Sayang ... jangan ganggu saya," ucapku mencoba melepas tangannya. Kebiasaannya, setelah mandi pasti menggoda dengan memelukku. Seakan dia tahu, aku akan tergoda dengan aroma segarnya. Apalagi dia bertelanjang dada dan hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggangnya. "Kalau seperti ini, kapan aku selesai berkemas?!" teriakku kesal dan seketika kesalku luruh dengan nafas hangatnya yang menyapu leher ini. "Dimana-mana, pengantin baru ya seperti ini," ucapnya setelah menyudahi aksinya. Rambutnya yang masih basah terlihat menggemaskan. "Iya ngerti. Tetap lihat waktu, Say. Aku membawa bajumu beberapa saja, ya. Yang ini, ini dan ini," ucapku sambil menunjuk yang aku maksud. "Yang merah diganti yang hijau saja. Kemejanya tambah satu, untuk pertemuan di balai desa. Nanti kita mampir ke Pondok Tomat. Aku
"Mas Ilham, giliranmu!" ucapku setelah namanya dipanggil Pak Lurah.Dia langsung berdiri, merapikan bajunya dan berjalan ke depan. Sebelum mulai, dia menyebar senyum lebarnya dan tertahan sejenak ke arahku. Aku mengacungkan jempol dan tersenyum memberi semangat kepadanya. Lama-lama aku ketularan gokilnya dia, ya. "Salam semangat semuanya!" teriak Mas Ilham dengan peserta masih terpaku menatapnya. Untuk sesi ini, peserta seluruh undangan datang. Tidak sepertiku yang hanya di kelompok tani saja. "Aduh kok masih lemas, ya. Kami saja yang pengantin baru saja sudah semangat! Semangaaat ...!" "Semangaaaatt ...!" teriak semua yang hadir dan berakhir gelak tawa mereka. Mas Ilham memang pintar membuka sesi dengan memaksa peserta untuk fokus dengan yang dia katakan. Kalau sudah di depan seperti ini, Mas Ilham yang kolokan, manja dan gokil hilang. Tergantikan sosok yang karismatik, aku tersenyum bangga melihatnya.Dia langsung menjabarkan tentang program agro wisata ini. Pelan, jelas dan mud