Masih pukul setengah enam, terlalu pagi untuk bersiap. Aku orangnya simple, yang penting bersih, rapi dan tidak bau, ditambah riasan tipis saja. Mungkin karena itu, aku kelihatan lebih muda daripada wanita lain yang seumurku.Aku langsung beranjak menuju kamar, sebelum Ibu mengomel karena tidak menurut kata-katanya. "Assalamualaikum."Langkahku terhenti dan melihat ke arah pintu. "Mas Ilham! Kenapa pagi-pagi sudah di sini? Ini masih terlalu pagi!" teriakku kaget.Aku membukakan pintu untuknya. Pintu kami ada dua rangkap. Pintu kayu yang selalu kami buka dan pintu dalam yang hanya setinggi satu meter dari bawah.Dia begitu rapi, kemeja panjang warna biru tua dan rambut klimis disisir rapi ke belakang. Dahinya yang putih bersih terpampang di sana, kontras dengan baju yang dia pakai."Sengaja aku ke sini pagi-pagi, mau bantuin kamu paking saus," ucapnya sambil melangkah masuk. Bau segarnya tercium sekilas, terasa menenangkan. Padahal, aku orang yang paling tidak suka bau parfum. Tetap
"Personal Branding itu proses pemasaran melalui membangun citra dari kita sendiri. Contohnya seperti mas yang di ujung itu, menjadi sebutan Mas Keripik. Atau, Mbak Kartika menjadi Mbak Tomat eh, Mbak Saus Tomat!" ucapnya dan disambut tertawa dengan semua peserta yang spontan menoleh ke arahku.Ish, bikin malu saja!Pertemuan di Balai Desa berakhir sampai pukul tiga. Setelah terjeda waktu salat kemudian dilanjutkan tanya jawab dan diakhiri makan siang."Tika, tolong saya ambilkan soto. Tidak pakai seledri, ya," kata Mas Ilham yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Tanpa menunggu jawabab, dia menyodorkan piring yang hanya berisi nasi putih dan mangkuk kecil kosong. Tidak memberiku kesempatan berkata tidak. Memang brondong satu ini ahli kalau memaksa orang.Aku ambilkan suwiran ayam, tauge, potongan telur rebus dan keripik kentang dan disiram kuah."Terima kasih, ya. Sudah memakai syalnya. Kelihatan cantik," bisiknya ketika aku menyerahkan makanannya. "Mas Ilham, jangan aneh-aneh.
“Beri kami waktu lagi, Ma. Kami akan lebih berusaha,” ucapku sambil menatap Mas Faiz. Berharap dia menguatkan apa yang aku katakan.Alih-alih mengucapkan kata-kata, dia justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Seakan menunjukkan kalau dia juga menyerah.“Mungkin ini takdir yang menempatkan kita harus mengambil keputusan yang kadang tidak sesuai harapan. Mama harap kamu mengerti posisi Mama dan memaklumi keputusan yang akan diambil.”Mata ini menatap mertuaku dengan tidak mengerti ujung dari ucapannya. Dia tidak melanjutkan ucapan, justru menekan dada yang terlihat kesulitan bernapas.“Mama istirahat saja, ya.”Aku menatap mereka dengan perasaan tidak percaya. Sadar akan apa yang dimaksud, setelah mencoba mencerna kata-katanya. Pengabdianku sebagai istri dan menantu seakan menguap begitu saja. Harga seorang wanita dimata mereka hanya sekedar pencetak anak, bukan seorang teman hidup.Suamiku yang sebagai sandaranku pun tidak disampingku lagi. Tanpa ada sepatah katapun untuk mempertaha
Dengan mata masih sembab, aku menghampiri ibu yang sedang memasak. Aku memeluknya dari belakang, hangat badannya membuatku nyaman. Teringat aku saat kecil, aku dan Mas Firman berebut untuk memeluk ibu. Bahagia rasanya. Hari ini, toko di marketplaceku aku off selama tiga hari. Aku akan ke percetakan merubah semua labelku, nomor telponnya aku hapus. Kejadian kemarin, membuatku berfikir bahwa kemungkinan yang tidak diharapkan bisa saja terjadi. Beberapa pesanan yang sudah masuk, bisa aku kirim dengan stok yang ada. "Ibu memasak Coto Makasar kesukaanmu. Ini bagus untuk menambah tenaga," ucap ibu sambil menaruhnya dimangkok kecil dan di tabur bawang goreng. "Ini di makan dulu. Ibu tidak mau kamu sakit! Ibu tidak sempat membuat buras, ini tadi belu lontong di tukang sayur" ucapnya ketika kami duduk di meja makan. Aroma gurihnya berpadu dengan aroma bawang goreng menguap menggodaku. Ditambah perasan jeruk nipis dan sambal. Hhmm .... Perpaduan rempah-rempah, kaldu daging dan kental
"A-aku sayang kepadamu," ucapnya dengan menggeser kursinya ke arahku.Hatiku yang sejak tadi berdebar semakin bedegup kencang. Ini anugrah atau cobaan?Cangkir Capucino yang sedari tadi aku pegang, aku letakkan di atas meja.Aku tersenyum kemudian tertawa terkekeh, bersamaan usahaku menekan desiran yang menyelusup begitu dalam. Memenangkan logika yang ada untuk menyingkirkan rasa yang mulai mencandui hati ini. Aku tidak mau terjebak dengan rasa picisan ini."Mas Ilham, sadar tidak ucapan yang baru saja. Jangan terkecoh dengan rasa sesaat. Itu hanya perasaanmu karena kebetulan sekarang hanya aku temanmu. Kita belum lama kenal, bahkan kita belum saling tahu. Iya, kan?" kataku berusaha meyakinkannya.Dia menggeleng tanpa menyurutkan tatapan yang meneduhkan ini. Aku menghela napas, berusaha menguatkan diri dan tidak terhanyut dengan romansa yang dia ciptakan."Maaf, saya wanita dewasa yang tidak mau terjebak dengan perasaan seperti itu. Atau bermain-main dengan perasaan hati seperti an
Hari mulai beranjak siang, kami meneruskan perjalanan ke percetakan. Seperti rencanaku semula, aku menghapus nomor ponselku pada label saus. Sebagai gantinya aku cantumkan alamat dan sosial media yang khusus aku buat untuk produk ini.Kami masih harus menunggu dua jam sampai label selesai dicetak. Sengaja aku belum mencetak dalam jumlah besar, masih ada yang harus aku perbaiki..Kami menunggu di tempat makan di seberang jalan percetakan."Kenapa kamu menghapus nomor telponmu? Karena mantan suami kamu menghubungimu? Bukankan lebih baik kamu ganti nomor pribadi saja? Jadi, nomor lama tetap untuk produk ini," tanya Mas Ilham."Tidak. Itu bukan alasan yang utama. Walaupun karena peristiwa kemarin yang mempercepat keputusanku," kataku. Kami berdiri antri untuk pesan makanan.Tempat makan ini seperti warteg, lauk dan sayur berjejer di estalase dan kita tinggal menunjuk apa saja yang kita mau."Aku pilihkan saja, deh," ujarnya di belakangku."Mas Ilham, aku tidak tahu selera kamu," kataku d
"Kartika .... Kartika."Suara memanggil terdengar samar. Aku buka mataku secara berlahan, wajah Mas Ilham yang tersenyum tepat di depan wajahku."Kamu tertidur," ujarnya kemudian duduk di sebelahku."Maaf," ucapku sambil duduk tegak merapikan baju dan rambutku. Tersadar, karena empuknya sofa dan dinginnya ruangan, aku sudah menyerah pada pelukan mimpi."Inilah ruang kerjaku. Aku sudah lama tidak singgah di sini!" teriaknya."Sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampung. Kenapa sampai lama tidak singgah ke sini. Apa tidak pengaruh terhadap pekerjaan?" Aku lontarkan pertanyaanku yang sedari tadi bercokol di kepalaku "Karena aku keasikan di kampung. Nemenin kamu," jawabnya terkesan asal."Jangan ngaco, Mas. Kita baru kenal belum ada satu bulan, baru beberapa minggu. Nemenin yang lain, kalik!" ucapku sambil tertawa. Alasan yang lebih mirip dengan rayuan gombal.Dia menghela napas panjang dan menoleh ke arahku. "Aku lama di Kalimantan. Kamu cemburu?" "Tidak. Atas dasar apa aku harus cembur
Beberapa saat kami melebur rasa. Hati kami saling berbicara dalam keterdiaman. Rasa nyaman dalam dekapannya membuatku kalah. Sejenak, kami tertarik dunia lain yang hanya ada kami berdua. Berpagut rasa dan harapan."Kamu mau menerima tawaranku tadi, kan? Atau, kita jadian saja?" tanyanya setelah mengurai pelukannya."Bukannya kita sudah sepakat ketika di cafe tadi pagi?""E-iya, sih. Tetapi mendengarmu menyebut laki-laki lain, aku tidak suka. Aku batalkan pembicaraan yang di cafe tadi!" ucapnya dan dia beranjak dari sofa menuju meja kerjanya dan mengambil sesuatu di laci.Aku memandangnya yang menghampiriku. Dia tersenyum dan meraih tanganku."Sementara, aku ikat kamu pakai ini. Setelah kamu yakin kepadaku, aku akan membawa keluargaku ke rumahmu."Seperti terhipnotis akan pesonanya, aku hanya mampu terdiam dan memandangnya. Dia memakaikan gelang rantai berwarna silver dengan bandul-bandul kecil berbentuk hati dan bintang. Terlihat cantik.Aku memandang kepalanya yang menunduk. Hati i
"Terima kasih, Sayang. Aku bahagia sekali!" ucapnya dengan menciumku bertubi-tubi. Di meja terlihat kotak yang terbuka dengan stik di tengahnya dengan garis dua berwarna merah di layarnya. Alhamdulillah. * "Kamu bahagia, kan?" tanyanya kembali. Kami sudah tidak duduk berhadapan lagi, kursi dia ganti dengan sofa panjang menghadap pemandangan alam dari lantai dua sambil menunggu pesanan makanan datang. Kami duduk berdampingan dengan tangannya merangkul pundakku. Proteksinya naik satu tingkat, makanan semua atas pesanan Mas Ilham, yang sebelumnya dipastikan di internet bahwa aman untuk ibu hamil. Termasuk minuman yang aku minum. "Lebih dari bahagia, Mas. Hatiku lega sekarang. Selama ini, terus terang aku tertekan," ucapku dengan menurunkan badan sedikit dan menyandarkan kepala di bahunya. "Yang paling lega itu aku." "Kenapa?" "Karena, mereka serius latihan berenangnya. Ini buktinya!" selorohnya sambil tertawa. Aku tersenyum mengingat bagaimana usaha kami untuk tujuan ini. Set
Mas Ilham memandang Pak Lurah, kemudian berganti memandangku. Dibukanya amplop tersebut dan dibaca kertas yang ada di dalamnya. Senyumnya seketika mengembang dan menatapku seperti tak percaya."Iya kalian mendapatkan penghargaan sebagai pemuda yang menginspirasi di tahun ini. Minggu depan, kita bersama-sama ke Pusat!" ucap Pak LurahTernyata kiprah kami terdengar sampai pusat, dan itu kebanggaan tersendiri untuk kami."Baiklah, Pakde Lurah. Kami permisi dulu," permisi kami sebelum meninggalkan Balai Desa.***"Mas Ilham, aku ke cafe yang kita pernah ke sana. Yang ada pisang krispynya," ucapku sambil menggelendot manja di lengannya. Hari ini hari minggu, jadi hanya ada kami berdua di sini. Waktunya, aku bermanja tanpa takut terpergok seseorang."O, yang di cafe itu. Kenapa? Mau napak tilas?" ucapnya berpaling ke arahku dan mencium sekilas pipi ini."Pingin pacaran.""Lho, ini sekarang sudah pacaran. Kurang mesra apa? Minta lebih?" ucapnya merengkuh tubuhku sambil menatapku dengan mata
Hari itu merupakan langkah awal, desa kami untuk berubah. Agrowisata Tomat sudah di buka, dan usaha kami mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata datang menjadi saksi lahirnya pembaharuan ini. Semua berjalan lancar.Mas Ilham mendatangkan media cetak dan itu sangat tepat untuk promosi.Hanya hitungan minggu, Agrowisata Tomat ramai pengunjung. Kamipun sibuk memaksimalkan fasilitas yang ada. Memperbaiki beberapa sistem yang kurang.Mas Ilham berusaha merinovasi terus menerus sampai mereka pengelola dari desa bisa mandiri. Usaha ini buka tidak ada halangan. Pernah beberapa pengepul tomat datang untuk menyampaikan inspirasi. Mereka kawatir tidak akan mendapatkan tomat lagi dari petani. Pak Lurah dan Mas Ilham langsung turun tangan. Mas Ilham memberikan skema pemasaran tomat, mereka diajari untuk mengembangkan bisnis mereka. Sehingga tidak terjebak dengan usaha yang tanpa pengembangan.Para pengepul akhirnya kembali dengan rasa puas. Dari kejadian ini,
Kami memarkir motor di halaman dan langsung menghampiri Ibu di teras rumah yang tersenyum-senyum."Assalamualaikum, Bu!" ucap Mas Ilham dan mencium tangan Ibu. Tangannya langsung ditariknya ke dalam. Mereka meninggalkanku sendiri di teras, huh! Benar-benar mengesalkan."Nak Ilham pasti lapar, kan. Sudah saya siapkan soto daging. Makan sekarang?" "Sebentar saya ke kamar mandi dulu, Bu. Capek keliling desa!" ucap Mas Ilham dengan tersenyum, dia langsung bergegas pergi. "Tika! Suamimu itu diurus yang benar. Tadi pagi kamu kasih sarapan tidak? Sekarang kalian tinggal berdua saja, kamu jangan semena-mena pada suami. Diperhatikan kebutuhannya. Dulu di rumah Bu Aisyah, Mamanya yang memperhatikan. Sekarang dia tanggung jawabmu!" kata-kata Ibu mulai berentetan panjang sekali. "Sudah, Bu. Tadi pagi kami sarapan roti. Ibu tidak usah kawatir," ucap Mas Ilham setelah keluar dari kamar mandi. "Apa?! Cuma roti? Mana bisa untuk menambah stamina? Sudah sekarang kalian makan!" teriak Ibu. Aku dan
"Terima kasih atas kunjungannya ke Agrowisata Tomat di Desa Panggah Mulyo. Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umur yang panjang, boleh berjumpa di Agrowisata Tomat ini."Lela menutup simulasi pemandu wisata untuk pembukaan hari besuk. Disambut tepuk tangan Pak Lurah beserta perangkat desa.Walaupun sebagai sekretaris pengelola, dia juga ikut andil di lapangan. Mas Ilham menunjuknya sebagai pelatih dan mengawasi para pemandu. Ternyata kecerewetannya sangat berguna di program ini. Itulah kelebihan Mas Ilham, mengatur dan menempatkan orang sesuai kemampuan dan kemauan seseorang.Semua warga di sini bersiap menyambut hari besuk. Semua ketua RW dan RT mengatur warganya untuk berbenah bersih-bersih desa. Kelompok tani bersiap merapikan lahannya. Tumbuhan tomat dipangkas daun-daun kering dan dahan yang mengganggu. Para pemuda juga sibuk di pos yang sudah di tentukan. Para pelaku UMKM sibuk merapikan lapak dan produknya. Semua satu kampung sibuk, apalagi Pak Lu
“Apa enaknya, tidak ada acara belah duren!" Celetukan itu yang membuat Pak Bambang kehilangan satu gigi depannya. Kejadian itu sempat membuat desa heboh, banyak yang menuding Pak Bambang keterlaluan walaupun di belakang tetap ada kasak kusuk membenarkan perkataannya. Termasuk aku sendiri."Mas Ilham, benar yang diucapkan dia. Seumur hidup kamu tidak mempunyai momen itu. Aku iklas, kalau kamu ingin menikah lagi," ucapku yang memang tidak mungkin memberikan dia sesuatu itu."Gila, kamu! Kau pikir aku kambing, yang asal kawin untuk darah perawan yang hanya sesaat itu!" teriak Mas Ilham."Mas Ilham, aku hanya tidak ingin kamu menyesal. Kenapa kamu marah? Kau pikir aku senang dengan menawarkan ide ini?!" "Dasar istri bodoh! Sini istri bodohku yang membuatku jadi orang bodoh juga," ucapnya merengkuh tubuh ini."Kok kamu ikutan bodoh?""Iya iya, lah. Ganteng gini dapet janda," ucapnya sambil berkelit dari cubitanku."Kartika, menikah itu bukan beralasan janda, perjaka ataupun perawan. Teta
Program pengembangan desa melalui agrowisata sudah mulai dirintis. Program seratus hari, nama yang diberikan Mas Ilham.Hitungan hari itulah, lahan tomat percontohan sudah bisa dimanfaatkan. Ada lima petak lahan desa yang di gunakan. Setelah diuji keberhasilannya, kami akan memgembangkan ke para petani. Tomat sudah siap untuk panen pertama di usia seratus hari. Ada beberapa varietas tomat yang dikembangkan, selain tomat sayur, tomat sambal, tomat buah dan tomat chery. Sengaja kami kembangkan sesuai peruntukannya, selain untuk edukasi juga untuk pengembangan hasil tomat yang berbeda jenis, berbeda pula produknya.Lega rasanya hati ini, melihat rencana sudah membuahkan hasil. Aku sangat senang seperti saat ini. Berkeliling di tengah kebun tomat yang sudah berbuah lebat. Beberapa warna merah menyembul di gerumbulan tomat berwarna hijau. Aku membayangkan wisatawan akan puas berkeliling di kebun tomat ini. Kelompok tani yang diketuai Pak Yanto, bekerja dengan keras dan cerdas. Aku hanya
Sudah lima belas hari kami di rumah Mas Ilham, hari ini giliran di rumahku. Begitu perjanjian awal kami, mempunyai orang tua tunggal mewajibkan kami berbagi hari di rumah mereka. "Sayang ... jangan ganggu saya," ucapku mencoba melepas tangannya. Kebiasaannya, setelah mandi pasti menggoda dengan memelukku. Seakan dia tahu, aku akan tergoda dengan aroma segarnya. Apalagi dia bertelanjang dada dan hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggangnya. "Kalau seperti ini, kapan aku selesai berkemas?!" teriakku kesal dan seketika kesalku luruh dengan nafas hangatnya yang menyapu leher ini. "Dimana-mana, pengantin baru ya seperti ini," ucapnya setelah menyudahi aksinya. Rambutnya yang masih basah terlihat menggemaskan. "Iya ngerti. Tetap lihat waktu, Say. Aku membawa bajumu beberapa saja, ya. Yang ini, ini dan ini," ucapku sambil menunjuk yang aku maksud. "Yang merah diganti yang hijau saja. Kemejanya tambah satu, untuk pertemuan di balai desa. Nanti kita mampir ke Pondok Tomat. Aku
"Mas Ilham, giliranmu!" ucapku setelah namanya dipanggil Pak Lurah.Dia langsung berdiri, merapikan bajunya dan berjalan ke depan. Sebelum mulai, dia menyebar senyum lebarnya dan tertahan sejenak ke arahku. Aku mengacungkan jempol dan tersenyum memberi semangat kepadanya. Lama-lama aku ketularan gokilnya dia, ya. "Salam semangat semuanya!" teriak Mas Ilham dengan peserta masih terpaku menatapnya. Untuk sesi ini, peserta seluruh undangan datang. Tidak sepertiku yang hanya di kelompok tani saja. "Aduh kok masih lemas, ya. Kami saja yang pengantin baru saja sudah semangat! Semangaaat ...!" "Semangaaaatt ...!" teriak semua yang hadir dan berakhir gelak tawa mereka. Mas Ilham memang pintar membuka sesi dengan memaksa peserta untuk fokus dengan yang dia katakan. Kalau sudah di depan seperti ini, Mas Ilham yang kolokan, manja dan gokil hilang. Tergantikan sosok yang karismatik, aku tersenyum bangga melihatnya.Dia langsung menjabarkan tentang program agro wisata ini. Pelan, jelas dan mud