Hari itu merupakan langkah awal, desa kami untuk berubah. Agrowisata Tomat sudah di buka, dan usaha kami mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata datang menjadi saksi lahirnya pembaharuan ini. Semua berjalan lancar.Mas Ilham mendatangkan media cetak dan itu sangat tepat untuk promosi.Hanya hitungan minggu, Agrowisata Tomat ramai pengunjung. Kamipun sibuk memaksimalkan fasilitas yang ada. Memperbaiki beberapa sistem yang kurang.Mas Ilham berusaha merinovasi terus menerus sampai mereka pengelola dari desa bisa mandiri. Usaha ini buka tidak ada halangan. Pernah beberapa pengepul tomat datang untuk menyampaikan inspirasi. Mereka kawatir tidak akan mendapatkan tomat lagi dari petani. Pak Lurah dan Mas Ilham langsung turun tangan. Mas Ilham memberikan skema pemasaran tomat, mereka diajari untuk mengembangkan bisnis mereka. Sehingga tidak terjebak dengan usaha yang tanpa pengembangan.Para pengepul akhirnya kembali dengan rasa puas. Dari kejadian ini,
Mas Ilham memandang Pak Lurah, kemudian berganti memandangku. Dibukanya amplop tersebut dan dibaca kertas yang ada di dalamnya. Senyumnya seketika mengembang dan menatapku seperti tak percaya."Iya kalian mendapatkan penghargaan sebagai pemuda yang menginspirasi di tahun ini. Minggu depan, kita bersama-sama ke Pusat!" ucap Pak LurahTernyata kiprah kami terdengar sampai pusat, dan itu kebanggaan tersendiri untuk kami."Baiklah, Pakde Lurah. Kami permisi dulu," permisi kami sebelum meninggalkan Balai Desa.***"Mas Ilham, aku ke cafe yang kita pernah ke sana. Yang ada pisang krispynya," ucapku sambil menggelendot manja di lengannya. Hari ini hari minggu, jadi hanya ada kami berdua di sini. Waktunya, aku bermanja tanpa takut terpergok seseorang."O, yang di cafe itu. Kenapa? Mau napak tilas?" ucapnya berpaling ke arahku dan mencium sekilas pipi ini."Pingin pacaran.""Lho, ini sekarang sudah pacaran. Kurang mesra apa? Minta lebih?" ucapnya merengkuh tubuhku sambil menatapku dengan mata
"Terima kasih, Sayang. Aku bahagia sekali!" ucapnya dengan menciumku bertubi-tubi. Di meja terlihat kotak yang terbuka dengan stik di tengahnya dengan garis dua berwarna merah di layarnya. Alhamdulillah. * "Kamu bahagia, kan?" tanyanya kembali. Kami sudah tidak duduk berhadapan lagi, kursi dia ganti dengan sofa panjang menghadap pemandangan alam dari lantai dua sambil menunggu pesanan makanan datang. Kami duduk berdampingan dengan tangannya merangkul pundakku. Proteksinya naik satu tingkat, makanan semua atas pesanan Mas Ilham, yang sebelumnya dipastikan di internet bahwa aman untuk ibu hamil. Termasuk minuman yang aku minum. "Lebih dari bahagia, Mas. Hatiku lega sekarang. Selama ini, terus terang aku tertekan," ucapku dengan menurunkan badan sedikit dan menyandarkan kepala di bahunya. "Yang paling lega itu aku." "Kenapa?" "Karena, mereka serius latihan berenangnya. Ini buktinya!" selorohnya sambil tertawa. Aku tersenyum mengingat bagaimana usaha kami untuk tujuan ini. Set
"Maaf Kartika. Aku minta maaf, memang itu adanya. Pilihan ada di tangan kamu. Aku ikut apapun keputusannya," ucap Mas Faiz dengan menggenggam kedua tangan ini. Matanya yang sendu menatapku, seolah ada penyesalan tergambar disana.Aku tepis tangannya dan segera berdiri dan mengambil tasku. Pilihan macam apa itu? Dimadu atau bercerai. Seakan-akan keputusan ada di tanganku. Terasa aku seperti masuk perangkap, sehingga harus bilang iya dengan apa yang mereka mau.Enak saja!Setelah pernikahan kami yang sudah tiga tahun seperti tidak berbekas. Apalagi melihat tatapan matanya. Huuff ....Dia seakan memposisikan dirinya adalah korban, dan seakan hidupnya ada ditanganku. Pura-pura tidak mau, padahal dia bisa menolak keputusan orang tuanya.Kalau dia mau."Kartika! Jangan pergi!" teriaknya dengan tangan direntangkan ingin menggapaiku. Berkelit aku dari tangannya. Beberapa tamu di restoran ini menoleh ke arah kami karena keributan ini. Aku segera berlari meninggalkannya dan sesekali menoleh
Pasti dia orang kota yang kesasar ke desa.Penampilannya lumayan. Akupun kembali ke kegiatanku yang mentotal hasil timbangan menyelesaikan pekerjaanku. Begitu pula Bulik Narti yang sibuk membuat nota untuk pengiriman sebentar lagi. Bagi kami, laki-laki model apapun sama saja. Sebagai janda harus ekstra hati-hati menjaga hati, pikiran terutama, mata.Mang Diman langsung berdiri menghampiri lelaki itu di depan, terlihat mereka berbincang sambil sesekali dia menunjuk-nunjuk jalan. Ah, mungkin dia bertanya bertanya arah jalan. Biasa, orang kota akan salah jalan kalau ke desa kami. Jalan-jalan kecil banyak sekali di sini sebagai penghubung lahan pertanian. Jalannya tidak beraspal, tetapi cukup kuat untuk dilalui truk pengangkut hasil bumi.Kalau tidak biasa ke daerah sini, bisa-bisa orang akan mutar-mutar terjebak di lahan pertanian itu saja.Orang itu dan Mang Diman menghampiriku."Mbak Kartika, Mas ini mau beli tomat. Apa masih ada yang bisa di beli ngecer?" tanya Mang Diman.Aku ya
Aduh! Malu, super malu!*Segera aku ambil tas kresek lagi. Dalam diam, kami mengambil tomat-tomat yang berceceran. "Tomat segini banyak untuk apa, Mbak? Untuk luluran? Atau, buat berendam?" tanyanya ketika memberikan tomat yang terakhir.Aku tersenyum dan tertawa kecil. Ternyata orang ini selain tampan juga lucu."Mas, mana ada luluran pakai tomat. Ini saya pakai untuk membuat saus tomat. Makanya saya tidak bisa bagi lebih dari setengah kilo. Karena, saya sudah ada pesanan," jelasku."Saus tomat? Home made?" tanyanya kaget. Matanya membulat ke arahku. "Kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak!" teriaknya. "Saya juga mau buat saus tomat. Kalau begitu, saya beli sekarang ada?" tanyanya dengan girang."Ada, tetapi di rumah. Hanya ada lima botol saja," ucapku."Kalau begitu saya ambil sekarang, ya!""Tapi, Mas. Saya belum selesai.""Tidak apa-apa. Saya tunggu. Sebentar, ya!" ucapnya dan berjalan menjauh, dia menerima telpon. Samar-samar dia berbicara tentang tomat dan memberitahu bahwa me
"Mas, rumah kayu itu, ya!" Dia menepikan mobilnya dan parkir di depan rumahku. "Mari duduk dulu. Saya ambilkan sausnya," ucapku. Sengaja aku persilahkan di teras rumah. Statusku yang janda ini harus hati-hati dalam bersikap. Jangan sampai menimbulkan dugaan yang tidak benar."Eh, ada tamu!" Tiba-tiba nylonong Lela, temanku sekolah dulu sekaligus tetangga pas di sebelah rumah. Kami seumuran, bedanya dia masih single sedangkan aku sudah janda. "Temannya Kartika, ya. Aduh cakep sekali, sudah putih, tinggi, ganteng lagi!" ucapnya dengan memberikan senyum termanisnya."Mas, punya teman yang seganteng Masnya? Kenalin dong! Kalau Masnya, aku tidak berani menggoda. Nanti aku dimakan sama dia," katanya sambil mengarahkan dagunya kepadaku."Apa-apaan sih, Lela. Sudah sana pergi!""Cie ... cie .... Yang tidak mau diganggu. Bener ya, Mas! Pesenanku yang tadi!" teriaknya sambil pulang ke rumah yang berada di balik tembok ini."Maaf, ya. Sebentar saya ke dalam."Dia mengangguk tersenyum.Aku
Tring!Suara ponselku tanda ada pesan masuk.[Pagi! Jangan lupa senyum yang cantik]Entah dari siapa, mungkin orang iseng, dari nomor ponsel yang belakangnya angka tujuh dua. Aku abaikan saja, pesan tidak penting.Ponselku memang tidak berhenti ada pesan masuk, tetapi itu pesan dari marketplace tempat aku jualan saus. Ada tiga marketplace yang aku pakai.Alhamdulillah, orderan masuk dengan lancar. Stok selalu habis terjual, padahal aku setiap hari membuatnya. Sengaja tidak lebih dari satu panci besar, selain keterbatasan tenaga, aku lebih menekankan kualitas. Sebelum pengemasan, dipastikan rasa tetap sesuai standart yang aku tetapkan.Padahal baru dua bulan aku memulai usaha ini, aku sudah kewalahan. Menyesal aku membuang waktu empat bulan sebelumnya, setelah menikah. Di waktu itu kegiatanku hanya di dalam rumah saja, meratapi nasib berpisah dengan Mas Faiz. Berpacaran dalam waktu lama, tidak menjamin suatu pernikahan tidak gagal. Seperti aku ini, pacaran selama dua tahun, menikah cu