Pasti dia orang kota yang kesasar ke desa.
Penampilannya lumayan.Akupun kembali ke kegiatanku yang mentotal hasil timbangan menyelesaikan pekerjaanku. Begitu pula Bulik Narti yang sibuk membuat nota untuk pengiriman sebentar lagi.
Bagi kami, laki-laki model apapun sama saja. Sebagai janda harus ekstra hati-hati menjaga hati, pikiran terutama, mata.
Mang Diman langsung berdiri menghampiri lelaki itu di depan, terlihat mereka berbincang sambil sesekali dia menunjuk-nunjuk jalan.
Ah, mungkin dia bertanya bertanya arah jalan.
Biasa, orang kota akan salah jalan kalau ke desa kami. Jalan-jalan kecil banyak sekali di sini sebagai penghubung lahan pertanian. Jalannya tidak beraspal, tetapi cukup kuat untuk dilalui truk pengangkut hasil bumi.Kalau tidak biasa ke daerah sini, bisa-bisa orang akan mutar-mutar terjebak di lahan pertanian itu saja.
Orang itu dan Mang Diman menghampiriku."Mbak Kartika, Mas ini mau beli tomat. Apa masih ada yang bisa di beli ngecer?" tanya Mang Diman.
Aku yang duduk menengadah ke arahnya yang menjulang tinggi di depanku. Dia menatapku seakan kaget dan menyerngitkan dahi."Kamu?!" teriaknya. "Maaf, maaf. Saya mungkin salah orang," ralatnya secepatnya sambil mengusap tengkuknya dan tersenyum.
Aku tersenyum canggung ke arahnya, aneh saja melihat ekspresinya tadi. Tetapi, dia terlihat manis, sih.
"Sebentar, ya," kataku langsung berdiri mencari tomat yang tersisa.
Semua tomat sudah dimasukkan keranjang-keranjang yang sudah di timbang dan sudah dibuatkan nota untuk dikirim."Maaf Mas, tomatnya habis. Yang ini sudah pesanan. Kalau di pasar ada kok," kataku sambil tersenyum.
Dia membuka kaca mata hitamnya dan menyelipkan di kerah bajunya. Wajahnya yang tampan terlihat jelas terpampang di depanku."Mbak tadi saya sudah ke pasar. Di sana ada tomat, tetapi tidak ada yang warna merah dan matang. saya malah disuruh ke sini. Ayolah mbak. Bagi berapa kilo saja," katanya sambil tersenyum manis.
Memang kalau di pasar, mereka suka menjual tomat yang tidak terlalu matang. Karena lebih awet dan tidak gampang hancur.
"Kalau saya tidak bawa tomat, bisa digantung saya sama orang rumah," ucapnya lagi.
Ih, orang ini beli tomat saja sampai acara gantung menggantung. Sadis amat istrinya."Mas, tapi ini sudah pesanan semua. Kalau untuk besuk, pasti saya bisa sisihkan yang merah dan matang," ucapku lagi.
Tidak mungkin aku membongkar tomat-tomat ini untuk memilih tomat yang dia inginkan. Apalagi dalam satu keranjang campur ada yang matang dan ada yang setengah matang.
"Aduh! Bagaimana ini, ya?" gumamnya.
"Atau begini saja, saya beli satu keranjang nanti saya ambil yang warna merah saja. Tenang saja, saya bayar semuanya," ucapnya mengusulkan solusi.
"Maaf Mas. Semua sudah pesanan."
Mas satu ini, wajahnya tampan tapi kok bebal, ya. Dijelaskan tidak ngerti-ngerti!"Kartika, tomatmu saja bagi sedikit!" teriak Bulik Surti dari dalam.
Aku menoleh ke arahnya dan segera masuk dan ambil tas kresek berisi tomat yang aku sisihkan. Sebenarnya enggan membaginya, aku sudah ada rencana nanti sore akan membuat saus tomat. Sudah ada pesanan untuk besuk.
Aku membuat saus tomat yang aku jual online, lumayan hasilnya, sekalian untuk membunuh waktuku yang tersisa banyak.
"Nah! Tomat yang seperti ini yang saya cari!" teriaknya senang. Dia mengambil tomat yang merah dan segar dari kresek yang aku bawa.
"Mas! Saya hanya bisa bagi setengah kilo. Ini saya mau pakai sendiri!" ucapku kesal. Kalau dibagi banyak dengan dia, bisa-bisa rencanaku gagal.
"Mbaknya mau pakai apa, sih. Kok banyak sekali!" ucapnya ngotot juga.
Dia menarik tas kresek yang aku pegang dan sekarang sekresek tomat sudah pindah di tangannya.
"Mas, jangan di ambil semua. Rencana saya bisa gagal!"
Aku teriak sambil mencoba meraih tas kresek itu. Dia berkelit dengan memiringkan badannya ke samping. Gerakannya yang cepat itu membuatku hanya menangkap ruang kosong dan badanku terhuyun ke depan.
Aduh!
Mataku langsung terpejam dan pasrah dengan akhir pasti terjerembab di tanah. Rasa sakit dan malu sudah terbayang jelas di otakku.
"Mbak, buka matanya."
Bukan bunyi bruk yang aku dengar atau rasa sakit yang dirasa, tetapi suara detakan jantung terdengar jelas ditelingaku. Bau tanah juga tidak ada, terganti dengan parfum yang menguar di hidungku. Tidak sakit, tetapi terasa nyaman.
Tanganku meraba dan bukan tanah yang rasa, tetapi seperti ....
"Mbak."
Suara itu!
Berlahan aku buka mataku dan kaget melihat aku sudah di dalam pelukan. Aku mendongakkan wajahku, cahaya silau membutakan pandangan dan tersamar terlihat wajah tampan dengan senyuman manis.
Kupejamkan mataku lagi setelah tersadar dimana aku sekarang, berharap ini hanya bayangan.
Secepatnya aku melepaskan diri dari pelukannya dan menjauh darinya.Pipiku menghangat dan jantungku berdetak lebih kencang.
Aduh! Kenapa harus berakhir seperti ini?Aku lihat sekeliling tomatku sudah berserakan dengan tas kresek yang sobek teronggok di tanah. Sepertinya aku berhasil meraihnya dan sobek sehingga tomat berhamburan seperti sekarang ini.
"Maaf, tadi saya mencoba menyelamatkan supaya tidak jatuh," katanya sambil tersenyum kikuk. Wajahnya juga memerah karena proses penyelamatan gaya India tadi.
"Terima kasih, ya," ucapku sambil menunduk.
Entah kenapa selain malu, jantungku juga berdetak lebih kencang. Ah, mungkin karena kaget saja, atau efek bertemu laki-laki tampan. Apalagi di kampung yang hanya bertemu dengan pak petani yang selalu bergulat dengan tanah.
Ah, itu hanya perasaan yang tidak penting. Aku berusaha menepis rasa yang tidak perlu ini. Fokusku sekarang, menyembuhkan diri dan melanjutkan hidup untuk bahagia.
Aduh! Malu, super malu!
*****
Aduh! Malu, super malu!*Segera aku ambil tas kresek lagi. Dalam diam, kami mengambil tomat-tomat yang berceceran. "Tomat segini banyak untuk apa, Mbak? Untuk luluran? Atau, buat berendam?" tanyanya ketika memberikan tomat yang terakhir.Aku tersenyum dan tertawa kecil. Ternyata orang ini selain tampan juga lucu."Mas, mana ada luluran pakai tomat. Ini saya pakai untuk membuat saus tomat. Makanya saya tidak bisa bagi lebih dari setengah kilo. Karena, saya sudah ada pesanan," jelasku."Saus tomat? Home made?" tanyanya kaget. Matanya membulat ke arahku. "Kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak!" teriaknya. "Saya juga mau buat saus tomat. Kalau begitu, saya beli sekarang ada?" tanyanya dengan girang."Ada, tetapi di rumah. Hanya ada lima botol saja," ucapku."Kalau begitu saya ambil sekarang, ya!""Tapi, Mas. Saya belum selesai.""Tidak apa-apa. Saya tunggu. Sebentar, ya!" ucapnya dan berjalan menjauh, dia menerima telpon. Samar-samar dia berbicara tentang tomat dan memberitahu bahwa me
"Mas, rumah kayu itu, ya!" Dia menepikan mobilnya dan parkir di depan rumahku. "Mari duduk dulu. Saya ambilkan sausnya," ucapku. Sengaja aku persilahkan di teras rumah. Statusku yang janda ini harus hati-hati dalam bersikap. Jangan sampai menimbulkan dugaan yang tidak benar."Eh, ada tamu!" Tiba-tiba nylonong Lela, temanku sekolah dulu sekaligus tetangga pas di sebelah rumah. Kami seumuran, bedanya dia masih single sedangkan aku sudah janda. "Temannya Kartika, ya. Aduh cakep sekali, sudah putih, tinggi, ganteng lagi!" ucapnya dengan memberikan senyum termanisnya."Mas, punya teman yang seganteng Masnya? Kenalin dong! Kalau Masnya, aku tidak berani menggoda. Nanti aku dimakan sama dia," katanya sambil mengarahkan dagunya kepadaku."Apa-apaan sih, Lela. Sudah sana pergi!""Cie ... cie .... Yang tidak mau diganggu. Bener ya, Mas! Pesenanku yang tadi!" teriaknya sambil pulang ke rumah yang berada di balik tembok ini."Maaf, ya. Sebentar saya ke dalam."Dia mengangguk tersenyum.Aku
Tring!Suara ponselku tanda ada pesan masuk.[Pagi! Jangan lupa senyum yang cantik]Entah dari siapa, mungkin orang iseng, dari nomor ponsel yang belakangnya angka tujuh dua. Aku abaikan saja, pesan tidak penting.Ponselku memang tidak berhenti ada pesan masuk, tetapi itu pesan dari marketplace tempat aku jualan saus. Ada tiga marketplace yang aku pakai.Alhamdulillah, orderan masuk dengan lancar. Stok selalu habis terjual, padahal aku setiap hari membuatnya. Sengaja tidak lebih dari satu panci besar, selain keterbatasan tenaga, aku lebih menekankan kualitas. Sebelum pengemasan, dipastikan rasa tetap sesuai standart yang aku tetapkan.Padahal baru dua bulan aku memulai usaha ini, aku sudah kewalahan. Menyesal aku membuang waktu empat bulan sebelumnya, setelah menikah. Di waktu itu kegiatanku hanya di dalam rumah saja, meratapi nasib berpisah dengan Mas Faiz. Berpacaran dalam waktu lama, tidak menjamin suatu pernikahan tidak gagal. Seperti aku ini, pacaran selama dua tahun, menikah cu
Hari ini hari minggu, waktunya libur.Sengaja setiap hari minggu pagi, jualanku di marketplace, aku off. Begitu juga produksi, hari minggu aku tidak membuat saus.Hari libur ini aku gunakan untuk olah raga, perawatan tubuh dan malas-malasan. Me Time.Sebutan keren jaman sekarang.Seperti sekarang ini, lari-lari kecil dengan tujuan Serabi Solo Mbok Darmi, sebelah pasar. Yang penting niat awalnya olah raga walaupun terdampar di tempat makanan.Rasa gurih serabi yang dikasih taburan potongan nangka di atasnya, dan bau santan kentalnya terbayang di memoriku. Menggerakkan kakiku untuk berlari dengan sendirinya.Awalnya, kegiatan pagiku ini terlihat aneh di mata para tetangga. Kalau di kota sudah biasa, setiap minggu jalan dipenuhi orang lari pagi, kalau di kampung mana ada. Pertama-tama mereka rajin bertanya kepadaku, kenapa dan mau kemana. Lama kelamaan mungkin sudah bosan.Hanya yang membuatku heran, semakin hari pengikut lariku semakin bertambah. Walaupun mayoritas mas-mas dan bapak-ba
"Mas, Lepaskan tanganku."Aku berusaha menarik lepas dari genggamannya. Dia berhenti dan berbalik menghadapku. Wajah mengeras dengan alis bertaut."Aku kan sudah bilang itu kerumunan tidak aman! Aku temani tidak mau! Dasar keras kepala!" ucapnya sambil mendengus kesal."Kenapa marah?" tanyaku dengan memberikan tatapan heran ke arahnya. "Kamu tidak bisa dibilangin!"Aku semakin heran, memang dia siapa. Kenalan saja baru, sudah sok ngatur.Namun, melihat wajahnya yang tegang membuatku tersenyum. Lucu saja, melihat orang kok tiba-tiba protektif tidak jelas gitu."Kenapa senyum-senyum!" "Enggak apa-apa. Aku naik angkot saja. Capek!"Aku berlari menuju angkutan umum yang berhenti di perempatan jalan, terserah dia ikut atau tidak. Sudut mataku menangkap dia berlari mengejarku sambil bergumam entah apa.Kemudian lelaki yang belum lam aku kenal ini, duduk di depanku. Bangku angkutan ini berhadap-hadapan."Tika, kamu pindah sini!" katanya, lebih tepatnya memerintah ketika ada penumpang lak
Dengan memegang ujung kaosnya, aku buka dengan perlahan. Kukompres luka memar yang selebar telapak tangan dengan perlahan. "Tika! Pelan-pelan, sakit!" teriaknya sambil mendesis menahan sakit."Mas, tahan sebentar, ini masih aku pegang. Saya tidak tekan, kok. Sabar, ya. Awalnya memang sakit, lama-lama akan hilang," ucapku dengan pelan dan tetap melanjutkan mengompres lukanya.."Auw ... ! ""Nanti enakkan, kok. Biar tidak bengkak dan darahnya tidak keluar."Sesekali dia meringis menahan sakit, terlihat tangannya yang terkepal erat memegang pinggiran kursi. "Iya, rasanya enak. Tidak sakit lagi. Loh, kok dilepas, Tik?" tanyanya sambil menoleh ke belakang."Sudah selesai, Mas."Sekarang tinggal aku oles anti septik di luka parutnya.BRAK...!Pintu kayu samping yang menghubungkan dengan rumah Lela, terbuka dengan tiba-tiba. Ada Lela, Bu Asih-ibunya Lela berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot. Mereka menatap kami dengan pandangan aneh.Aku dan Mas Ilham kaget dan menoleh ke arah m
Baru kali ini aku bertemu orang baru kenal, tetapi sok ngatur. Seperti kemarin, sebelum pulang dia sudah melarang ini dan itu. Laki-laki kok ada yang cerewet, ya?"Kamu harus hati-hati dengan Pak Bambang. Mulai sekarang jangan pernah pergi sendirian," ucapnya."Tidak apa-apa, kok. Di kampung ini aman. Memang di kota. Orang saling cuek dan tidak kenal.""Kartika! Dibilangin selalu ngeyel, ya! Di tempat ramai saja, dia berani nyolek kamu! Apalagi di tempat sepi. Ngerti enggak, sih. Iih, anak ini!" ucapnya dengan mengatupkan giginya dengan keras.Melihat dia marah, justru membuatku tertawa, walaupun aku tahan. Lucu saja, ada orang yang berani marah-marah tidak jelas begini. Seperti tersulut, dia melanjutkan omelannya."Laki-laki kalau ada maunya akan menghalalkan segala cara! Ada aja akal-akalannya yang tidak aku pernah kamu pikirkan. Tiba-tiba sudah masuk jebakannya. Apalagi seperti Bambang Playboy kampung itu!" teriaknya dengan nada mulai meninggi."Ngomongnya biasa aja. Tidak usah t
"Siapa tamunya, Tika?" teriak Ibu dari dapur."Kang Bejo dari Kelurahan, Bu!"“Suruh tunggu sebentar!” teriak Ibu lagi. Kemudian Ibu keluar menemui kami, ditangannya sudah menenteng tas kresek kecil. "Ini buat kamu, Jo. Buat sarapan.” Ibu menyerahkan bungkusan itu."Terima kasih, Bu, Mbak Tika. Saya pamit."Kami mengangguk dan mengantarkannya sampai teras rumah."Surat apa, Tika? Kenapa Pak Lurah kirim surat?" tanya Ibu setelah Kak Bejo pergi.Aku menyerahkan surat itu, kemudian Ibu membacanya."Ini bagus, lo. Berarti dari Kelurahan melihat usahamu itu bisa berkembang. Besuk datang saja, apalagi nanti akan bertemu orang Dinas. Siapa tahu ketemu jodoh pegawai negeri. Biar tidak kelamaan menjanda!" Ibu tersenyum menggodaku."Ibu! Jangan mulai lagi!""Ibu bercanda," ucapnya sambil tertawa."Sekarang waktunya menggunakan ilmu yang kamu dapat dari kampus. Sejak wisuda, kamu belum ada kesempatan untuk itu. Apalagi ini untuk desa kita. Itu pahalanya besar, karena ilmu kita bermanfaat untuk