Tring!
Suara ponselku tanda ada pesan masuk.
[Pagi! Jangan lupa senyum yang cantik]
Entah dari siapa, mungkin orang iseng, dari nomor ponsel yang belakangnya angka tujuh dua. Aku abaikan saja, pesan tidak penting.
Ponselku memang tidak berhenti ada pesan masuk, tetapi itu pesan dari marketplace tempat aku jualan saus. Ada tiga marketplace yang aku pakai.
Alhamdulillah, orderan masuk dengan lancar. Stok selalu habis terjual, padahal aku setiap hari membuatnya. Sengaja tidak lebih dari satu panci besar, selain keterbatasan tenaga, aku lebih menekankan kualitas. Sebelum pengemasan, dipastikan rasa tetap sesuai standart yang aku tetapkan.
Padahal baru dua bulan aku memulai usaha ini, aku sudah kewalahan.
Menyesal aku membuang waktu empat bulan sebelumnya, setelah menikah. Di waktu itu kegiatanku hanya di dalam rumah saja, meratapi nasib berpisah dengan Mas Faiz. Berpacaran dalam waktu lama, tidak menjamin suatu pernikahan tidak gagal. Seperti aku ini, pacaran selama dua tahun, menikah cuma bisa bertahan tida tahun.
Aku dan Mas Faiz berpacaran ketika kami sama-sama kuliah di perguruan tinggi yang sama, tetapi berbeda fakultas. Aku Fakultas Pertanian dan Mas Faiz Fakultas Tehnik, Jurusan Mesin.
Jaman kuliah dulu melihat anak tehnik terlihat bagaimana, gitu. Apalagi Mas Faiz saat itu menjadi pengurus senat.
Uuh ... terasa silau!
Awalnya, kami bertemu karena Mas Faiz mencari temannya yang satu kost denganku. Pertama dia titip salam, selanjutnya ingin bertemu, ngobrol dan jadian.
Seneng rasanya saat itu. Terasa mendapatkan keberuntungan. Dia lebih tua dua tahun di atasku dan sikap dewasanya membuatku semakin meleleh.
"Suwit! Suwit ...! Yang punya pacar anak tehnik mesin .... Jaketnya anget ya, Mbak. Seperti dipeluk," goda temen kostku ketika aku memakai jaket Mas Faiz karena kedinginan.
Jaket warna biru tua, dibagian punggung dilipit dan warna merah tersembul dari dalam lipitannya. Tanpa tulisan fakultas tekhik mesin pun, semua orang tahu itu jaket anak mana.
Apalagi, warna birunya mulai pudar. Tertanda empunya sudah senior.
Uuh, my lovely pacar.
Rasanya seneng banget.
Akhirnya punya pacar yang sesuai kriteria, keren, dewasa, pengurus senat dan anak tehnik pula.
Perpaduan yang kontras, anak pertanian dan anak tehnik. Aku yang anak rumahan, jan sama Mas Faiz yang rada begajulan. Aku seperti menemukan dunia baru.
Sesekali kami jalan ke luar kota, mencari pemandangan alam. Sekedar makan jagung bakar, ngopi terus pulang.
Itu sudah pengalaman yang indah, luar biasa.
Hubungan kami lancar-lancar saja. Kami berpacaran sehat, tidak aneh-aneh.
Hobiku memasak adalah salah satu yang membuat dia tambah mencintaiku. Katanya aku adalah calon istri idaman. Hati mana yang tidak terbang ketika dibisikin kata seperti itu.
Sesekali aku ke kostnya untuk mengantar kue atau masakan spesial buatanku. Itu yang membuat aku mendapat dukungan dari teman kostnya yang lain. Ya, bagaimana tidak, mereka juga kebagian jatah makanan.
Tahu, kan.
Anak kost rakus akan makanan, apalagi gratis.
Tersenyum aku, mengingat masa-masa indah itu dan sekaligus hatiku teriris karena itu tinggal kenangan.
Tring!
[Sudah makan? Jangan senyum-senyum sendiri. Kalau kangen aku, bilang saja. Aku pasti langsung datang]
Pesan lagi dari nomor tujuh dua itu lagi.
Huuf!
Orang iseng ini, niat banget, ya. Pagi, siang, sore bahkan tengah malam pun, dia kirim pesan. Selamat malam, dimimpi kita ketemuan ya, dan banyak lagi.
Seperti diteror, rasanya.
Aku cuekin saja, orang iseng kalau di tanggepin bisa bahaya.
"Dari siapa Tika? Dari tadi setiap baca pesan, kok kelihatan kesel," tanya ibu.
"Tidak tahu, Bu. Orang iseng!" jawabku sambil meletakkan ponsel ke dalam saku.
Kami berdua sedang memasukkan saus ke botol-botol yang sudah disteril. Setelah dimasukkan dan di tutup rapat, botol yang sudah terisi kemudian disterilkan lagi. Karena itulah, aku memilih botol kaca, selain itu kemasan terlihat ekslusive.
Baru setelah itu ditempel label dan ditulis tanggal produksi hari ini.
Aku hanya di bantu ibu saja untuk pembuatan saus ini. Masih belum kepikiran untuk memperbesar produksi.
Fokusku masih menyembuhkan sakit hati ini. Ingin menyenangkan hati terlebih dahulu. Toh, penghasilanku sekarang sudah terbilang lebih dari cukup.
***
Uuh, lumayan capek!
Aku regangkan tubuhku untuk menghilangkan pegal.
Hari ini lumayan banyak paket yang dikirim, dua puluh tiga paket, yang biasanya sepuluh atau paling banyak lima belas.
Jaman sekarang sangat dimudahkan. Jualan lewat online, pengiriman diambil kurir dan setelah sampai pembayaran otomatis masuk.
Mudah, kan?
Tinggal kita fokus dengan produk yang akan dijual.
Setiap hari kurir pengiriman datang mengambil paket. Aku sudah siapkan sebelum waktu biasanya.
Tring!
[Kartika, pesanku kok tidak pernah dibalas?]
Satu pesan lagi menyusul. Siapa sih ini!
Gawat, dia tahu namaku. Berarti dia orang kampung sini atau kenal denganku.
Iseng banget, sih!
Atau Mas Faiz?
Ah, tidak mungkin. Sejak aku menerima surat cerai darinya, aku ganti nomor ponsel. Aku tidak mau berhubungan dengannya lagi. Sudah aku tutup kisahku dengannya.
Tamat.
[Maaf dengan siapa? Tolong jangan ganggu!]
Bunyi pesanku, penasaran siapa sebenarnya orang yang iseng ini.
Satu menit, dua menit, belum ada balasan. Sampai satu jam kemudian juga belum ada balasan. Hanya notifikasi dari marketplace sana yang masuk.
Sampai aku selesai menjawab chat di marketplace dan selesai merekap order untuk di kirim besuk, belum ada balasan darinya.
Kenapa aku harus nunggu balasannya?
Huuf, kesel aku! Terasa digantung.
Tring!
[Nungguin, ya?]
Astaga!
Balasannya cuma seperti ini. Bikin kesal saja!
[Mas! Kalau pengangguran cari kerja saja, daru pada gangguin orang!]
[Siapa juga yang nunggu kamu! GR!]
Balasku dengan cepat.
[Tuh, buktinya langsung balas. Wkwkwkwk]
Aduh! Mati aku!
Aku langsung block nomornya. Rasain!
*****
Hari ini hari minggu, waktunya libur.Sengaja setiap hari minggu pagi, jualanku di marketplace, aku off. Begitu juga produksi, hari minggu aku tidak membuat saus.Hari libur ini aku gunakan untuk olah raga, perawatan tubuh dan malas-malasan. Me Time.Sebutan keren jaman sekarang.Seperti sekarang ini, lari-lari kecil dengan tujuan Serabi Solo Mbok Darmi, sebelah pasar. Yang penting niat awalnya olah raga walaupun terdampar di tempat makanan.Rasa gurih serabi yang dikasih taburan potongan nangka di atasnya, dan bau santan kentalnya terbayang di memoriku. Menggerakkan kakiku untuk berlari dengan sendirinya.Awalnya, kegiatan pagiku ini terlihat aneh di mata para tetangga. Kalau di kota sudah biasa, setiap minggu jalan dipenuhi orang lari pagi, kalau di kampung mana ada. Pertama-tama mereka rajin bertanya kepadaku, kenapa dan mau kemana. Lama kelamaan mungkin sudah bosan.Hanya yang membuatku heran, semakin hari pengikut lariku semakin bertambah. Walaupun mayoritas mas-mas dan bapak-ba
"Mas, Lepaskan tanganku."Aku berusaha menarik lepas dari genggamannya. Dia berhenti dan berbalik menghadapku. Wajah mengeras dengan alis bertaut."Aku kan sudah bilang itu kerumunan tidak aman! Aku temani tidak mau! Dasar keras kepala!" ucapnya sambil mendengus kesal."Kenapa marah?" tanyaku dengan memberikan tatapan heran ke arahnya. "Kamu tidak bisa dibilangin!"Aku semakin heran, memang dia siapa. Kenalan saja baru, sudah sok ngatur.Namun, melihat wajahnya yang tegang membuatku tersenyum. Lucu saja, melihat orang kok tiba-tiba protektif tidak jelas gitu."Kenapa senyum-senyum!" "Enggak apa-apa. Aku naik angkot saja. Capek!"Aku berlari menuju angkutan umum yang berhenti di perempatan jalan, terserah dia ikut atau tidak. Sudut mataku menangkap dia berlari mengejarku sambil bergumam entah apa.Kemudian lelaki yang belum lam aku kenal ini, duduk di depanku. Bangku angkutan ini berhadap-hadapan."Tika, kamu pindah sini!" katanya, lebih tepatnya memerintah ketika ada penumpang lak
Dengan memegang ujung kaosnya, aku buka dengan perlahan. Kukompres luka memar yang selebar telapak tangan dengan perlahan. "Tika! Pelan-pelan, sakit!" teriaknya sambil mendesis menahan sakit."Mas, tahan sebentar, ini masih aku pegang. Saya tidak tekan, kok. Sabar, ya. Awalnya memang sakit, lama-lama akan hilang," ucapku dengan pelan dan tetap melanjutkan mengompres lukanya.."Auw ... ! ""Nanti enakkan, kok. Biar tidak bengkak dan darahnya tidak keluar."Sesekali dia meringis menahan sakit, terlihat tangannya yang terkepal erat memegang pinggiran kursi. "Iya, rasanya enak. Tidak sakit lagi. Loh, kok dilepas, Tik?" tanyanya sambil menoleh ke belakang."Sudah selesai, Mas."Sekarang tinggal aku oles anti septik di luka parutnya.BRAK...!Pintu kayu samping yang menghubungkan dengan rumah Lela, terbuka dengan tiba-tiba. Ada Lela, Bu Asih-ibunya Lela berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot. Mereka menatap kami dengan pandangan aneh.Aku dan Mas Ilham kaget dan menoleh ke arah m
Baru kali ini aku bertemu orang baru kenal, tetapi sok ngatur. Seperti kemarin, sebelum pulang dia sudah melarang ini dan itu. Laki-laki kok ada yang cerewet, ya?"Kamu harus hati-hati dengan Pak Bambang. Mulai sekarang jangan pernah pergi sendirian," ucapnya."Tidak apa-apa, kok. Di kampung ini aman. Memang di kota. Orang saling cuek dan tidak kenal.""Kartika! Dibilangin selalu ngeyel, ya! Di tempat ramai saja, dia berani nyolek kamu! Apalagi di tempat sepi. Ngerti enggak, sih. Iih, anak ini!" ucapnya dengan mengatupkan giginya dengan keras.Melihat dia marah, justru membuatku tertawa, walaupun aku tahan. Lucu saja, ada orang yang berani marah-marah tidak jelas begini. Seperti tersulut, dia melanjutkan omelannya."Laki-laki kalau ada maunya akan menghalalkan segala cara! Ada aja akal-akalannya yang tidak aku pernah kamu pikirkan. Tiba-tiba sudah masuk jebakannya. Apalagi seperti Bambang Playboy kampung itu!" teriaknya dengan nada mulai meninggi."Ngomongnya biasa aja. Tidak usah t
"Siapa tamunya, Tika?" teriak Ibu dari dapur."Kang Bejo dari Kelurahan, Bu!"“Suruh tunggu sebentar!” teriak Ibu lagi. Kemudian Ibu keluar menemui kami, ditangannya sudah menenteng tas kresek kecil. "Ini buat kamu, Jo. Buat sarapan.” Ibu menyerahkan bungkusan itu."Terima kasih, Bu, Mbak Tika. Saya pamit."Kami mengangguk dan mengantarkannya sampai teras rumah."Surat apa, Tika? Kenapa Pak Lurah kirim surat?" tanya Ibu setelah Kak Bejo pergi.Aku menyerahkan surat itu, kemudian Ibu membacanya."Ini bagus, lo. Berarti dari Kelurahan melihat usahamu itu bisa berkembang. Besuk datang saja, apalagi nanti akan bertemu orang Dinas. Siapa tahu ketemu jodoh pegawai negeri. Biar tidak kelamaan menjanda!" Ibu tersenyum menggodaku."Ibu! Jangan mulai lagi!""Ibu bercanda," ucapnya sambil tertawa."Sekarang waktunya menggunakan ilmu yang kamu dapat dari kampus. Sejak wisuda, kamu belum ada kesempatan untuk itu. Apalagi ini untuk desa kita. Itu pahalanya besar, karena ilmu kita bermanfaat untuk
"Pak Yanto, total timbangannya pas lima puluh kilo, ya. Harga perkilonya dua ribu empat ratus, jadi totalnya seratus dua puluh ribu ya, Pak."Aku memberikan catatan kertas kepadanya. Kertas itu akan di sodorkan ke Bulik Surti untuk di buatkan nota beserta pembayarannya.Harga yang di bulatkan. Di pengepul lain harga perkilonya dua ribu tiga ratus tujuh puluh. "Kenapa Pak Yanto?" tanyaku melihat Pak Yanto masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia membaca kertas yang aku berikan tadi sambil berguman lirih."Pak ... Pak Yanto!" teriakku.Dia kaget dan menatapku sambil tersenyum."E-endak, Mbak Tika. Saya cuma menghitung kebutuhan rumah. Mau bayar SPP anak saya," katanya lirih."Permisi, Mbak Tika. Saya ke Juragan dulu."Begitulah kehidupan petani. Kesuburan yang berlimpah tidak menular ke kehidupannya. Memang untuk makan sehari-hari bisa dipenuhi dengan hasil pertaniannya. Namun, untuk kebutuhan lainnya, sekolah, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari memerlukan biaya.Menaikkan har
"Kamu block nomor ponselku?" katanya sambil menunjukkan ponsel ke arahku. "Tidak. Aku saja tidak tahu nomor Mas Ilham. Bagaimana bisa ngeblock?" tanyaku heran."Masih saja tidak ngaku, ya. Dari tadi pagi aku coba kirim pesan, telpon, juga tidak bisa. Kamu tahu tidak, saya kawatir. Saya takut si Bambang itu ganggu kamu. Apalagi jalan di kampung ini sepi. Itu tidak aman, Kartika!" katanya kesal.Aku bengong melihatnya ngomel tanpa jeda. Aneh saja."Iiih! Dibilangin malah bengong! Ngerti tidak yang aku maksud. Ngeyel sekali!" ucapnya dengan mengibaskan tangannya depan wajahku."Sudah, ayo pulang saja!" Dia langsung menarik tanganku."Lepaskan tanganku!"Aku kibaskan tanganku tetapi tidak terlepas. Terpaksa aku mengikutinya dengan tangan masih tergenggam.Dia membukakan pintu mobil untukku. Mobilnya yang tinggi membuatku kesusahan naik dengan rok yang aku kenakan. Kami segera pergi setelah melambaikan tangan ke Bulik dan Mang Diman."Lain kali jangan pakai rok kalau ke pondok!" ucapnya
"Kartika, ini tomat nya di taruh mana?!" teriak Mas Ilham di depan pintu.Dia menjinjing keranjang yang penuh dengan tomat segar berwarna merah. Kemeja lengan panjangnya di singsingkan sampai siku. Warna kemeja merah bata terlihat kontras dengan kulitnya yang putih."Mas Ilham, biarkan saya yang angkat!" teriakku langsung menghampirinya. Meninggalkan Ibu yang masih menatap kami dengan bingung."Ini berat, biar laki-laki yang angkat!" katanya tanpa memedulikan aku, dia langsung bergegas ke dalam rumah.Memang tomat segitu biasanya aku angkat berdua bersama ibu, itupun bertahan dengan dipindah ke keranjang. Kalau aku sendiri, mana kuat. Terpaksa aku mengantar dia ke dapur, tempat kami membuat saus tomat. Cara bawanya terlihat keberatan, tidak seperti Mang Diman yang dipanggul di pundak.Aku sibak tirai pembatas ruangan, dan badan tingginya masuk dengan menunduk."Berat, lo. Tadi aku bertemu sama Mang Diman dan Bulik di depan," ucapnya setelah menaruh keranjang tomat di lantai. Tangan