Hari ini hari minggu, waktunya libur.
Sengaja setiap hari minggu pagi, jualanku di marketplace, aku off. Begitu juga produksi, hari minggu aku tidak membuat saus.
Hari libur ini aku gunakan untuk olah raga, perawatan tubuh dan malas-malasan.
Me Time.
Sebutan keren jaman sekarang.
Seperti sekarang ini, lari-lari kecil dengan tujuan Serabi Solo Mbok Darmi, sebelah pasar. Yang penting niat awalnya olah raga walaupun terdampar di tempat makanan.
Rasa gurih serabi yang dikasih taburan potongan nangka di atasnya, dan bau santan kentalnya terbayang di memoriku. Menggerakkan kakiku untuk berlari dengan sendirinya.
Awalnya, kegiatan pagiku ini terlihat aneh di mata para tetangga. Kalau di kota sudah biasa, setiap minggu jalan dipenuhi orang lari pagi, kalau di kampung mana ada. Pertama-tama mereka rajin bertanya kepadaku, kenapa dan mau kemana. Lama kelamaan mungkin sudah bosan.
Hanya yang membuatku heran, semakin hari pengikut lariku semakin bertambah. Walaupun mayoritas mas-mas dan bapak-bapak dengan tujuan finish sama, serabi Mbok Darmi.
Ah, cuek saja!
Berbaju training warna biru dan sepatu lari warna putih. Aku menyusuri jalan kampung yang indah ini. Sesekali bertemu dan menyapa orang yang aku temui di jalan. Hampir semua orang di kampung ini aku kenal.
Di depan lapangan volli sebelah kantor desa, aku berhenti dulu. Disana ada pelataran yang sudah disemen. Aku latihan peregangan di sana dan senam sedikit untuk melemaskan otot.
"Sendirian, Mbak?"
Aku menoleh ke belakang kearah suara yang menyapaku itu.
Eh, ada mas yang kemarin. Dia tersenyum dan mendekat ke arahku.
"Mas, kok belum pulang ke kota?" tanyaku menghadap ke arahnya dan menghentikan gerakan senamku.
"Pulang ke kota? Ke rumah siapa, Mbak? Aku tinggal di kampung ini," katanya sambil duduk di tanah siap-siap sit-up.
"Oya?" tanyaku heran.
Seluruh orang penghuni kampung ini, saya kenal. Orang ini siapa, sih?
Dengan heran, aku melihat ke arahnya. Peluhnya membasahi kaos putihnya, pasti dia sudah lari keliling desa. Gerakan sit-up memperlihatkan perut sixpacknya yang berbayang dibalik kaos tipisnya.
Aku palingkan mukaku ke arah lain dan membuat gerakan-gerakan ringan.
"Mbak Tika, kita belum kenalan," katanya setelah menghentikan kegiatannya tadi.
"Aku Ilham. Mbak namanya Kartika, kan? Sama seperti label di saus?"
Dia mendekatiku dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
"Muhammad Ilham."
"Kartika Dewi."
"Sah, ya!" teriaknya sambil tertawa.
"Maksudnya?" tanyaku tidak mengerti. Seorang janda sepertiku sensitif kalau mendengar kata SAH.
"Sah kenalannya. Sebelumnya kita cuma panggil mbak atau mas. Iya, kan? Sah, yang lainnya menyusul!" ucapnya sambil tertawa.
Ternyata dia anak Bu Aisyah, adik Pak Lurah. Bu Aisyah orang asli kampung sini, tetapi lama merantau di Kalimantan mengikuti suami. Setelah suaminya meninggal, beliau ingin menghabiskan masa tuanya di kampung halamannya.
Dan orang di depanku ini, anak satu-satunya Bu Aisyah.
"Sekarang aku panggil Kartika saja, ya. Kalau panggil mbak, kok seperti aku muda banget," katanya setelah tahu kalau dia lebih muda dua tahun dariku.
"Memang kamu lebih muda, kan," kataku sambil beringsut menjauh darinya. Kalau ada yang melihat kami duduk berdua seperti ini, bisa gosip merebak.
"Selisih dua tahun saja. Pokoknya aku panggil Kartika, saja. Kalau kamu, tetep panggil aku Mas Ilham. Biar kelihatan mesra," ucapnya sambil tertawa.
"Jangan bercanda seperti itu! Kalau istrimu tahu, bisa jadi masalah!" kataku kesal.
"Istri? Siapa yang punya istri?"
"Lo, kamu, kan. Istrimu yang titip belanjaan yang banyak itu."
"Itu belanjaan mamaku. Jadi selama ini, kamu salah paham. Pantesan jutek!" teriaknya sambil tertawa.
"Aku masih singel, perjaka seratus persen. Kalau begitu, boleh dong mesra dikit," katanya menggodaku.
Anak ini lama-lama ngeselin, ya!
Aku langsung berdiri dan berlari meninggalkan dia menuju tujuan awal. Serabi Mbok Darmi.
Tidak kuhiraukan teriakannya memanggil namaku. Pesona serabi Mbok Darmi lebih menggoda daripada pesona Mas Ilham, eh, Ilham.
*
"Selamat pagi, Dek Tika."
"Eh, Pak Bambang. Selamat Pagi. Monggo, Pak," jawabku sambil terus berlari.
Dia itu guru olah raga SMP di kampung ini. Aku agak kurang nyaman kalau bersamanya. Selain genit, julukannya sebagai duda playboy sangat melekat di dia. Hampir semua perempuan di sini pernah di dekatinya. Bermodal badan atletis dan profesi pegawai negeri dengan mudahnya dia mendapatkan yang dia mau.
Huuh, kalau aku, ogah!
Aku percepat lariku ketika sadar dia berusaha mengejarku. Mantan juara lari ketika SMA akhirnya mengalahkan guru olah raga. Aku lari melesat dan belok mengambil jalan lain. Lega rasanya, keluar dari incaran buaya.
Aku menoleh ke belakang.
Aman.
Bruuk!
Aduh! Aku menabrak seseorang. Kami terjatuh bersama di tanah.
"Tika!"
"Mas Ilham!" teriakku kaget.
Aku terjatuh di atasnya, untung tanganku reflek berada di depan dadaku, sehingga ada sekat diantara kami. Aku secepatnya berdiri, beranjak dari tubuhnya. Terlalu dekat dengan laki-laki seperti tadi membuatku tidak nyaman. Bau keringat dan tatapan matanya mengobrak-abrik syarafku.
Kuulurkan tanganku kepadanya untuk berdiri.
"Ternyata kamu berat juga, ya," ucapnya sambil mengibas-ngibaskan tanah yang menempel di baju.
"Aduh!" teriaknya ketika aku membersihkan tanah di punggungnya.
"Sakit? Mungkin luka, Mas!" kataku cemas. Dia meringis menahan sakit. Mungkin ketika jatuh tadi terantuk batu.
"Tidak apa-apa. Ayo, kita lari lagi," ajaknya.
"Jalan saja, Mas. Sudah dekat."
Selain capek, tempat Mbok Darmi juga sudah dekat.
"Lo, memang mau kemana? Bukannya kita muter disana untuk balik, ya," tanyanya dengan langkah panjangnya. Aku berlari kecil untuk mensejajarinya.
"Mas, pelan! Aku mau beli serabi Mbok Darmi. Ayok, ikut. Aku traktir. Anggap saja obat sakit punggung," kataku sambil senyum berusaha mengusir rasa bersalahku.
Bagaimana tidak, karena kecerobohanku dia terluka.
"Okey, siapa takut. Tetapi jangan protes, ya. Kalau makanku banyak!" katanya sambil tertawa.
Dari jauh terlihat sudah banyak antrian di Mbok Darmi. Ibu bilang, Mbok Darmi ini generasi ketiga dan sudah terkenal dari dulu. Setiap hari, dia jualan, tetapi di hari minggu pembelinya membludak.
"Tunggu di sini, ya. Aku antri," kataku menunjuk kerumunan antrian.
"Aku temenin, ya. Kerumunan seperti itu. Aman?"
"Tenang saja, aman!" teriakku langsung meninggalkannya.
Banyak sekali yang antri, kalau hari minggu, biasanya orang dari desa sebelah juga ikutan ke sini. Nama besar serabi ini sudah terkenal dimana-mana.
"Dek Tika, tadi belok dimana? Mas, kejar kok ngilang."
Suara Pak Bambang mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang dan benar, Pak Bambang dengan tampang sok gantengnya tersenyum lebar.
Aduh!
Orang yang aku hindari malah bertemu disini. Pas dibelakangku, lagi.
"Dek Tika keringetan," katanya dengan tangan mengarah ke wajahku. Secepatnya aku tepis tangannya.
"Maaf, Pak!" kataku dengan mengerutkan kedua alisku. Aku tidak suka dengan sikapnya yang seperti ini.
"Dek Tika ini. Jangan sok jual mahal," katanya dengan mata berkedip genit.
Ih, begidik aku melihatnya.
Geli.
"Ada apa ini, ya?!"
Mas Ilham langsung menarik tanganku untuk mendekat ke arahnya. Aku langsung berdiri berlindung di belakangnya.
"Eh, Mas Ilham. A-apa kabar," kata Pak Bambang dengan menundukkan badannya sedikit.
"Jangan sekali-kali ganggu dia. Awas, ya!" ancamnya dengan mata mendelik.
"Ayok, kita pulang!"
Tanganku di tariknya keluar dari kerumunan antrian itu.
Beberapa orang berbisik melihat kejadian itu. Beberapa menyalahkan Pak Bambang, dan ada juga yang komentar tentang statusku yang janda.
Entah, kabar apa yang akan tersiar sebentar lagi.
Gawat!
*****
"Mas, Lepaskan tanganku."Aku berusaha menarik lepas dari genggamannya. Dia berhenti dan berbalik menghadapku. Wajah mengeras dengan alis bertaut."Aku kan sudah bilang itu kerumunan tidak aman! Aku temani tidak mau! Dasar keras kepala!" ucapnya sambil mendengus kesal."Kenapa marah?" tanyaku dengan memberikan tatapan heran ke arahnya. "Kamu tidak bisa dibilangin!"Aku semakin heran, memang dia siapa. Kenalan saja baru, sudah sok ngatur.Namun, melihat wajahnya yang tegang membuatku tersenyum. Lucu saja, melihat orang kok tiba-tiba protektif tidak jelas gitu."Kenapa senyum-senyum!" "Enggak apa-apa. Aku naik angkot saja. Capek!"Aku berlari menuju angkutan umum yang berhenti di perempatan jalan, terserah dia ikut atau tidak. Sudut mataku menangkap dia berlari mengejarku sambil bergumam entah apa.Kemudian lelaki yang belum lam aku kenal ini, duduk di depanku. Bangku angkutan ini berhadap-hadapan."Tika, kamu pindah sini!" katanya, lebih tepatnya memerintah ketika ada penumpang lak
Dengan memegang ujung kaosnya, aku buka dengan perlahan. Kukompres luka memar yang selebar telapak tangan dengan perlahan. "Tika! Pelan-pelan, sakit!" teriaknya sambil mendesis menahan sakit."Mas, tahan sebentar, ini masih aku pegang. Saya tidak tekan, kok. Sabar, ya. Awalnya memang sakit, lama-lama akan hilang," ucapku dengan pelan dan tetap melanjutkan mengompres lukanya.."Auw ... ! ""Nanti enakkan, kok. Biar tidak bengkak dan darahnya tidak keluar."Sesekali dia meringis menahan sakit, terlihat tangannya yang terkepal erat memegang pinggiran kursi. "Iya, rasanya enak. Tidak sakit lagi. Loh, kok dilepas, Tik?" tanyanya sambil menoleh ke belakang."Sudah selesai, Mas."Sekarang tinggal aku oles anti septik di luka parutnya.BRAK...!Pintu kayu samping yang menghubungkan dengan rumah Lela, terbuka dengan tiba-tiba. Ada Lela, Bu Asih-ibunya Lela berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot. Mereka menatap kami dengan pandangan aneh.Aku dan Mas Ilham kaget dan menoleh ke arah m
Baru kali ini aku bertemu orang baru kenal, tetapi sok ngatur. Seperti kemarin, sebelum pulang dia sudah melarang ini dan itu. Laki-laki kok ada yang cerewet, ya?"Kamu harus hati-hati dengan Pak Bambang. Mulai sekarang jangan pernah pergi sendirian," ucapnya."Tidak apa-apa, kok. Di kampung ini aman. Memang di kota. Orang saling cuek dan tidak kenal.""Kartika! Dibilangin selalu ngeyel, ya! Di tempat ramai saja, dia berani nyolek kamu! Apalagi di tempat sepi. Ngerti enggak, sih. Iih, anak ini!" ucapnya dengan mengatupkan giginya dengan keras.Melihat dia marah, justru membuatku tertawa, walaupun aku tahan. Lucu saja, ada orang yang berani marah-marah tidak jelas begini. Seperti tersulut, dia melanjutkan omelannya."Laki-laki kalau ada maunya akan menghalalkan segala cara! Ada aja akal-akalannya yang tidak aku pernah kamu pikirkan. Tiba-tiba sudah masuk jebakannya. Apalagi seperti Bambang Playboy kampung itu!" teriaknya dengan nada mulai meninggi."Ngomongnya biasa aja. Tidak usah t
"Siapa tamunya, Tika?" teriak Ibu dari dapur."Kang Bejo dari Kelurahan, Bu!"“Suruh tunggu sebentar!” teriak Ibu lagi. Kemudian Ibu keluar menemui kami, ditangannya sudah menenteng tas kresek kecil. "Ini buat kamu, Jo. Buat sarapan.” Ibu menyerahkan bungkusan itu."Terima kasih, Bu, Mbak Tika. Saya pamit."Kami mengangguk dan mengantarkannya sampai teras rumah."Surat apa, Tika? Kenapa Pak Lurah kirim surat?" tanya Ibu setelah Kak Bejo pergi.Aku menyerahkan surat itu, kemudian Ibu membacanya."Ini bagus, lo. Berarti dari Kelurahan melihat usahamu itu bisa berkembang. Besuk datang saja, apalagi nanti akan bertemu orang Dinas. Siapa tahu ketemu jodoh pegawai negeri. Biar tidak kelamaan menjanda!" Ibu tersenyum menggodaku."Ibu! Jangan mulai lagi!""Ibu bercanda," ucapnya sambil tertawa."Sekarang waktunya menggunakan ilmu yang kamu dapat dari kampus. Sejak wisuda, kamu belum ada kesempatan untuk itu. Apalagi ini untuk desa kita. Itu pahalanya besar, karena ilmu kita bermanfaat untuk
"Pak Yanto, total timbangannya pas lima puluh kilo, ya. Harga perkilonya dua ribu empat ratus, jadi totalnya seratus dua puluh ribu ya, Pak."Aku memberikan catatan kertas kepadanya. Kertas itu akan di sodorkan ke Bulik Surti untuk di buatkan nota beserta pembayarannya.Harga yang di bulatkan. Di pengepul lain harga perkilonya dua ribu tiga ratus tujuh puluh. "Kenapa Pak Yanto?" tanyaku melihat Pak Yanto masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia membaca kertas yang aku berikan tadi sambil berguman lirih."Pak ... Pak Yanto!" teriakku.Dia kaget dan menatapku sambil tersenyum."E-endak, Mbak Tika. Saya cuma menghitung kebutuhan rumah. Mau bayar SPP anak saya," katanya lirih."Permisi, Mbak Tika. Saya ke Juragan dulu."Begitulah kehidupan petani. Kesuburan yang berlimpah tidak menular ke kehidupannya. Memang untuk makan sehari-hari bisa dipenuhi dengan hasil pertaniannya. Namun, untuk kebutuhan lainnya, sekolah, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari memerlukan biaya.Menaikkan har
"Kamu block nomor ponselku?" katanya sambil menunjukkan ponsel ke arahku. "Tidak. Aku saja tidak tahu nomor Mas Ilham. Bagaimana bisa ngeblock?" tanyaku heran."Masih saja tidak ngaku, ya. Dari tadi pagi aku coba kirim pesan, telpon, juga tidak bisa. Kamu tahu tidak, saya kawatir. Saya takut si Bambang itu ganggu kamu. Apalagi jalan di kampung ini sepi. Itu tidak aman, Kartika!" katanya kesal.Aku bengong melihatnya ngomel tanpa jeda. Aneh saja."Iiih! Dibilangin malah bengong! Ngerti tidak yang aku maksud. Ngeyel sekali!" ucapnya dengan mengibaskan tangannya depan wajahku."Sudah, ayo pulang saja!" Dia langsung menarik tanganku."Lepaskan tanganku!"Aku kibaskan tanganku tetapi tidak terlepas. Terpaksa aku mengikutinya dengan tangan masih tergenggam.Dia membukakan pintu mobil untukku. Mobilnya yang tinggi membuatku kesusahan naik dengan rok yang aku kenakan. Kami segera pergi setelah melambaikan tangan ke Bulik dan Mang Diman."Lain kali jangan pakai rok kalau ke pondok!" ucapnya
"Kartika, ini tomat nya di taruh mana?!" teriak Mas Ilham di depan pintu.Dia menjinjing keranjang yang penuh dengan tomat segar berwarna merah. Kemeja lengan panjangnya di singsingkan sampai siku. Warna kemeja merah bata terlihat kontras dengan kulitnya yang putih."Mas Ilham, biarkan saya yang angkat!" teriakku langsung menghampirinya. Meninggalkan Ibu yang masih menatap kami dengan bingung."Ini berat, biar laki-laki yang angkat!" katanya tanpa memedulikan aku, dia langsung bergegas ke dalam rumah.Memang tomat segitu biasanya aku angkat berdua bersama ibu, itupun bertahan dengan dipindah ke keranjang. Kalau aku sendiri, mana kuat. Terpaksa aku mengantar dia ke dapur, tempat kami membuat saus tomat. Cara bawanya terlihat keberatan, tidak seperti Mang Diman yang dipanggul di pundak.Aku sibak tirai pembatas ruangan, dan badan tingginya masuk dengan menunduk."Berat, lo. Tadi aku bertemu sama Mang Diman dan Bulik di depan," ucapnya setelah menaruh keranjang tomat di lantai. Tangan
Dari balik tirai pembatas dapur aku mencoba mengintip apa yang terjadi di ruang tengah. Raut wajah Ibu menunjukkan keseriusan. Sedangkan lawan bicaranya terlihat mengangguk-anguk saja. Terlihat sesekali tangan Ibu menepuk lengan laki-laki yang baru aku kenal ini.Kudekatkan telinga, tetapi tidak aku tangkap percakapan mereka dengan jelas. Perubahan ekspresi Ibu yang menerbitkan senyuman lah, yang membuatku lega.Sekarang, aku bisa melanjutkan tugasku membuat minuman. Aku menilik isi di dalam kulkas, bahan yang aku butuhkan ada. Jeruk nipis, sere dan daun jeruk. Semua di cuci bersih. Jeruk nipis di peras dan beberapa diiris tipis, sere potong dan ada yang di geprek. Campur semua bahan dengan minuman bersoda tadi, tambahkan daun jeruk yang sudah di remas.Jadi deh. Minuman soda yang rasanya segar, manis, asam dan ada bau sere. Perpaduan yang menimbulkan sensasi berbeda. Aku sajikan di gelas tinggi termasuk slice buah jeruk, daun jeruk dan sere utuh. Terlihat menarik.Aku mengintip sek