"Mas, rumah kayu itu, ya!"
Dia menepikan mobilnya dan parkir di depan rumahku.
"Mari duduk dulu. Saya ambilkan sausnya," ucapku.
Sengaja aku persilahkan di teras rumah. Statusku yang janda ini harus hati-hati dalam bersikap. Jangan sampai menimbulkan dugaan yang tidak benar.
"Eh, ada tamu!"
Tiba-tiba nylonong Lela, temanku sekolah dulu sekaligus tetangga pas di sebelah rumah. Kami seumuran, bedanya dia masih single sedangkan aku sudah janda.
"Temannya Kartika, ya. Aduh cakep sekali, sudah putih, tinggi, ganteng lagi!" ucapnya dengan memberikan senyum termanisnya.
"Mas, punya teman yang seganteng Masnya? Kenalin dong! Kalau Masnya, aku tidak berani menggoda. Nanti aku dimakan sama dia," katanya sambil mengarahkan dagunya kepadaku.
"Apa-apaan sih, Lela. Sudah sana pergi!"
"Cie ... cie .... Yang tidak mau diganggu. Bener ya, Mas! Pesenanku yang tadi!" teriaknya sambil pulang ke rumah yang berada di balik tembok ini.
"Maaf, ya. Sebentar saya ke dalam."
Dia mengangguk tersenyum.
Aku bawa keranjang berisi botol-botol saus. Ada saus tomat dan saus tomat pedas, sementara ada dua varian itu saja.
"Diminum, Mas," ucapku sambil menyodorkan segelas air putih.
Dia langsung meminumnya sampai tandas. Benar-benar haus, sampai-sampai minum dengan terburu-buru dan sebagian air tumpah. Apalagi dari keliling pasar dengan membawa bawaan segitu banyak.
Kaosnya yang basah, tidak mampu lagi menyembunyikan otot yang berbayang dibaliknya.
Hus.... Mata janda memang jeli kalau melihat sesuatu yang bagus, walaupun tersembunyi.
"Yang ini testernya. Maaf, tidak ada roti untuk dioles," ucapku mengalihkan perhatianku dari pemandangan di depanku.
Biasanya kalau aku demo produk, pasti aku sajikan potongan kecil roti tawar. Jadi sausnya dioles di roti, baru di makan.
"Tinggal ini saja, stok yang saya punya. Mau ambil berapa? Setiap kemasan lima ratus gram dan harganya tiga puluh lima ribu," terangku sambil mengeluarkan lima botol saus tomat dan tiga botol saus tomat pedas.
"Ini Mbak Kartika sendiri yang membuat?" tanyanya sambil membaca label yang aku cantumkan di botol.
~
KARTIKA SAUCE HOMEMADE
Bahan dari tomat asli
~
"Bukan kemasan ulang, kan? Beli curah, terus dikemas ulang," tanyanya sambil menatapku curiga.
Aku mendengus kesal.
"Mas, kalau tidak percaya, bisa lihat langsung pembuatnya. Sebentar lagi saya akan masak. Mau nungguin?!" tanyaku kesal dengan melotot ke arahnya.
Berani-beraninya dia meragukan saus buatanku. Resep keluarga yang sudah aku modifikasi sesuai racikanku sendiri, dan disesuaikan dengan ilmu yang aku dapat dari kampus.
"Bercanda Mbak Kartika. Maaf," katanya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
Hih! Orang ini cakep tapi ngeselin!
"Jangan cepet marah. Nanti cepat tua!" ucapnya lagi sambil tertawa terbahak. Apa mungkin melihat mukaku yang cemberut, ya.
"Jadi ambil, kagak!" kataku kesal.
"Saus tomat lima dan saus pedas satu!" jawabnya dengan masih tersenyum geli.
Setelah dia bayar, aku taruh botol saus menjadi dua kantong kertas karton coklat dengan label Kartika Sauce.
Selain kualitas produk, aku juga memperhatikan kemasan. Karena dengan kemasan yang bagus, nilai produk akan naik dan costumer merasa dihargai.
"Terima kasih ya, Mbak. Sudah bantu saya belanja juga. Tasnya bagus!" ucapnya tersenyum sambil menunjukkan kedua tas isi botol saus belanjaannya.
"Iya. Sama-sama," ucapku langsung masuk rumah.
Biasanya kalau ada tamu, pasti aku antar sampai ke depan rumah. Berhubung kesal, aku biarkan saja orang itu.
"Mbak Kartika! Mbak!" teriaknya dari dalam mobil.
Langsung aku melongokkan kepalaku ke luar. Dia berteriak memanggilku.
Apa lagi, sih! Aku menghampirinya, sebelum para tetangga keluar karena teriakan orang ini.
"Apa lagi sih, Mas!" tanyaku kesal dengan muka berlipat.
"Mbak Kartika, tomatnya ketinggalan!" ujarnya sambil menunjukkan satu kresek tomat.
Dengan muka merah karena malu aku menerima kresek itu. Terlanjur pasang tampang seram, padahal aku yang salah karena pikun. Untung dia ingatkan, kalau tidak, bisa tidak jadi buat pesanan saus.
"Makanya Mbak. Jangan marah-marah dulu!" ucapnya sambil tersenyum mengejek. "Padahal kalau senyum cantik, lo!" teriaknya dan langsung tancap gas meninggalkanku.
Dasar laki-laki aneh! Eh, siapa nama orang itu, ya? Masa bodoh!
***
Setelah membersihkan diri, aku langsung ke rencana, membuat saus tomat.
Ada satu keranjang besar tomat yang sudah aku siapkan dari kemarin dan sekarang ditambah satu kresek tomat yang aku bawa tadi.
Membuat saus tomat, bukan hal yang baru bagi keluarga kami. Ibuku sering membuat untuk kami. Racikan yang cukup pas, yang sudah menjadi favorit kami.
Resep saus aku mantapkan lagi disesuaikan dengan keilmuan yang aku dapat dari kampus.
Aku mengambil Fakultas Pertanian, Jurusan Tehnologi Hasil Pertanian. Bahkan, skripsiku mengambil tema pengemasan saus homemade dengan tehnik pengawetan alami. Jadi, yang aku buat sekarang sudah teruji secara laboratorium.
"Kartika! Kartika!"
Suara ibu terdengar memanggilku. Aku meninggalkan rebusan tomat dan bergegas menghampiri ibu yang baru masuk rumah. Ibu pulang dari arisan kelurahan.
"Ada apa, Bu? Kok teriak-teriak."
Tanpa menjawab pertanyaanku ibu menarikku untuk duduk di kursi rotan. "Kartika! Kamu tadi pergi dengan siapa! Siapa laki-laki itu! Kenapa kamu tidak cerita dengan ibu!" tanya ibu memberondongku.
Aku menghela napas panjang. Imbas peristiwa tadi ternyata berbuntut panjang.
"Tidak hanya di arisan, sampai di pasar semua orang bertanya ke ibu. Kapan resepsinya. Resepsi apa!" teriak ibu sambil menatapku tajam. "Apa kamu punya pacar dan tidak cerita ke ibu?" tanyanya sambil menatapku curiga.
"Seluruh kampung tahu, kamu dibawa laki-laku pakai mobil. Hanya ibu yang tidak tahu! Maksud kamu apa!" teriak ibu.
"Ibu! Kapan Tika akan menjawab, kalau ibu tidak berhenti bertanya?!" teriakku menghentikannya.
Langsung mengambil tangan ibu dan aku genggam dengan lembut. Aku mengerti yang ibu rasakan, kondisiku yang sudah janda di usia muda pasti membuat beliau kepikiran. Apalagi di desa, yang apapun yang kita lakukan bisa menjadi bahan pembicaraan orang-orang.
"Tika tadi diantar pelanggan .... "
"Pelanggan?! Tika! Pelanggan apa?!?" teriak ibu marah.
"Ibu! Orang itu beli saus!" teriakku menyadarkan ibu yang sudah berfikir aneh-aneh.
Aku sodorkan segelas air putih ke ibu. "Ibu, minum ini dulu. Kalau sudah tenang, baru Tika akan cerita," kataku sambil memijit kaki ibu yang bersandar di kursi panjang ini.
Aku bercerita tentang semua kejadian tadi. Dari mulai di tempat Bulik Surti, belanja di pasar sampai di rumah mengambil saus. Kecuali adegan jatuh, ya.
"Kamu tidak tahu dia siapa?" tanya ibu dengan nada sudah merendah.
"Tidak tahu, Bu. Saya juga lupa tanya," jawabku.
"Kartika, menjadi janda itu harus hati-hati dan menjaga sikap. Apalagi kamu masih muda dan cantik, gampang jadi gunjingan orang."
"Iya iyalah cantik. Anak siapa?" kataku sambil menggelendot manja di lengannya.
"Tika ... Tika. Sudah janda kok masih manja," ucapnya sambil mengelus rambutku.
"Maafkan ibu, ya. Ibu sempat emosi dan tidak percaya dengan kamu," ucap ibu. "Tika, kamu tadi masak apa? Ibu lapar."
"Tomat! Tomat ... !" teriakku kaget. Aku langsung loncat berdiri dan lari secepat kilat ke dapur melihat rebusan tomatku.
Semoga tomatku terselamatkan.
******
Tring!Suara ponselku tanda ada pesan masuk.[Pagi! Jangan lupa senyum yang cantik]Entah dari siapa, mungkin orang iseng, dari nomor ponsel yang belakangnya angka tujuh dua. Aku abaikan saja, pesan tidak penting.Ponselku memang tidak berhenti ada pesan masuk, tetapi itu pesan dari marketplace tempat aku jualan saus. Ada tiga marketplace yang aku pakai.Alhamdulillah, orderan masuk dengan lancar. Stok selalu habis terjual, padahal aku setiap hari membuatnya. Sengaja tidak lebih dari satu panci besar, selain keterbatasan tenaga, aku lebih menekankan kualitas. Sebelum pengemasan, dipastikan rasa tetap sesuai standart yang aku tetapkan.Padahal baru dua bulan aku memulai usaha ini, aku sudah kewalahan. Menyesal aku membuang waktu empat bulan sebelumnya, setelah menikah. Di waktu itu kegiatanku hanya di dalam rumah saja, meratapi nasib berpisah dengan Mas Faiz. Berpacaran dalam waktu lama, tidak menjamin suatu pernikahan tidak gagal. Seperti aku ini, pacaran selama dua tahun, menikah cu
Hari ini hari minggu, waktunya libur.Sengaja setiap hari minggu pagi, jualanku di marketplace, aku off. Begitu juga produksi, hari minggu aku tidak membuat saus.Hari libur ini aku gunakan untuk olah raga, perawatan tubuh dan malas-malasan. Me Time.Sebutan keren jaman sekarang.Seperti sekarang ini, lari-lari kecil dengan tujuan Serabi Solo Mbok Darmi, sebelah pasar. Yang penting niat awalnya olah raga walaupun terdampar di tempat makanan.Rasa gurih serabi yang dikasih taburan potongan nangka di atasnya, dan bau santan kentalnya terbayang di memoriku. Menggerakkan kakiku untuk berlari dengan sendirinya.Awalnya, kegiatan pagiku ini terlihat aneh di mata para tetangga. Kalau di kota sudah biasa, setiap minggu jalan dipenuhi orang lari pagi, kalau di kampung mana ada. Pertama-tama mereka rajin bertanya kepadaku, kenapa dan mau kemana. Lama kelamaan mungkin sudah bosan.Hanya yang membuatku heran, semakin hari pengikut lariku semakin bertambah. Walaupun mayoritas mas-mas dan bapak-ba
"Mas, Lepaskan tanganku."Aku berusaha menarik lepas dari genggamannya. Dia berhenti dan berbalik menghadapku. Wajah mengeras dengan alis bertaut."Aku kan sudah bilang itu kerumunan tidak aman! Aku temani tidak mau! Dasar keras kepala!" ucapnya sambil mendengus kesal."Kenapa marah?" tanyaku dengan memberikan tatapan heran ke arahnya. "Kamu tidak bisa dibilangin!"Aku semakin heran, memang dia siapa. Kenalan saja baru, sudah sok ngatur.Namun, melihat wajahnya yang tegang membuatku tersenyum. Lucu saja, melihat orang kok tiba-tiba protektif tidak jelas gitu."Kenapa senyum-senyum!" "Enggak apa-apa. Aku naik angkot saja. Capek!"Aku berlari menuju angkutan umum yang berhenti di perempatan jalan, terserah dia ikut atau tidak. Sudut mataku menangkap dia berlari mengejarku sambil bergumam entah apa.Kemudian lelaki yang belum lam aku kenal ini, duduk di depanku. Bangku angkutan ini berhadap-hadapan."Tika, kamu pindah sini!" katanya, lebih tepatnya memerintah ketika ada penumpang lak
Dengan memegang ujung kaosnya, aku buka dengan perlahan. Kukompres luka memar yang selebar telapak tangan dengan perlahan. "Tika! Pelan-pelan, sakit!" teriaknya sambil mendesis menahan sakit."Mas, tahan sebentar, ini masih aku pegang. Saya tidak tekan, kok. Sabar, ya. Awalnya memang sakit, lama-lama akan hilang," ucapku dengan pelan dan tetap melanjutkan mengompres lukanya.."Auw ... ! ""Nanti enakkan, kok. Biar tidak bengkak dan darahnya tidak keluar."Sesekali dia meringis menahan sakit, terlihat tangannya yang terkepal erat memegang pinggiran kursi. "Iya, rasanya enak. Tidak sakit lagi. Loh, kok dilepas, Tik?" tanyanya sambil menoleh ke belakang."Sudah selesai, Mas."Sekarang tinggal aku oles anti septik di luka parutnya.BRAK...!Pintu kayu samping yang menghubungkan dengan rumah Lela, terbuka dengan tiba-tiba. Ada Lela, Bu Asih-ibunya Lela berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot. Mereka menatap kami dengan pandangan aneh.Aku dan Mas Ilham kaget dan menoleh ke arah m
Baru kali ini aku bertemu orang baru kenal, tetapi sok ngatur. Seperti kemarin, sebelum pulang dia sudah melarang ini dan itu. Laki-laki kok ada yang cerewet, ya?"Kamu harus hati-hati dengan Pak Bambang. Mulai sekarang jangan pernah pergi sendirian," ucapnya."Tidak apa-apa, kok. Di kampung ini aman. Memang di kota. Orang saling cuek dan tidak kenal.""Kartika! Dibilangin selalu ngeyel, ya! Di tempat ramai saja, dia berani nyolek kamu! Apalagi di tempat sepi. Ngerti enggak, sih. Iih, anak ini!" ucapnya dengan mengatupkan giginya dengan keras.Melihat dia marah, justru membuatku tertawa, walaupun aku tahan. Lucu saja, ada orang yang berani marah-marah tidak jelas begini. Seperti tersulut, dia melanjutkan omelannya."Laki-laki kalau ada maunya akan menghalalkan segala cara! Ada aja akal-akalannya yang tidak aku pernah kamu pikirkan. Tiba-tiba sudah masuk jebakannya. Apalagi seperti Bambang Playboy kampung itu!" teriaknya dengan nada mulai meninggi."Ngomongnya biasa aja. Tidak usah t
"Siapa tamunya, Tika?" teriak Ibu dari dapur."Kang Bejo dari Kelurahan, Bu!"“Suruh tunggu sebentar!” teriak Ibu lagi. Kemudian Ibu keluar menemui kami, ditangannya sudah menenteng tas kresek kecil. "Ini buat kamu, Jo. Buat sarapan.” Ibu menyerahkan bungkusan itu."Terima kasih, Bu, Mbak Tika. Saya pamit."Kami mengangguk dan mengantarkannya sampai teras rumah."Surat apa, Tika? Kenapa Pak Lurah kirim surat?" tanya Ibu setelah Kak Bejo pergi.Aku menyerahkan surat itu, kemudian Ibu membacanya."Ini bagus, lo. Berarti dari Kelurahan melihat usahamu itu bisa berkembang. Besuk datang saja, apalagi nanti akan bertemu orang Dinas. Siapa tahu ketemu jodoh pegawai negeri. Biar tidak kelamaan menjanda!" Ibu tersenyum menggodaku."Ibu! Jangan mulai lagi!""Ibu bercanda," ucapnya sambil tertawa."Sekarang waktunya menggunakan ilmu yang kamu dapat dari kampus. Sejak wisuda, kamu belum ada kesempatan untuk itu. Apalagi ini untuk desa kita. Itu pahalanya besar, karena ilmu kita bermanfaat untuk
"Pak Yanto, total timbangannya pas lima puluh kilo, ya. Harga perkilonya dua ribu empat ratus, jadi totalnya seratus dua puluh ribu ya, Pak."Aku memberikan catatan kertas kepadanya. Kertas itu akan di sodorkan ke Bulik Surti untuk di buatkan nota beserta pembayarannya.Harga yang di bulatkan. Di pengepul lain harga perkilonya dua ribu tiga ratus tujuh puluh. "Kenapa Pak Yanto?" tanyaku melihat Pak Yanto masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia membaca kertas yang aku berikan tadi sambil berguman lirih."Pak ... Pak Yanto!" teriakku.Dia kaget dan menatapku sambil tersenyum."E-endak, Mbak Tika. Saya cuma menghitung kebutuhan rumah. Mau bayar SPP anak saya," katanya lirih."Permisi, Mbak Tika. Saya ke Juragan dulu."Begitulah kehidupan petani. Kesuburan yang berlimpah tidak menular ke kehidupannya. Memang untuk makan sehari-hari bisa dipenuhi dengan hasil pertaniannya. Namun, untuk kebutuhan lainnya, sekolah, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari memerlukan biaya.Menaikkan har
"Kamu block nomor ponselku?" katanya sambil menunjukkan ponsel ke arahku. "Tidak. Aku saja tidak tahu nomor Mas Ilham. Bagaimana bisa ngeblock?" tanyaku heran."Masih saja tidak ngaku, ya. Dari tadi pagi aku coba kirim pesan, telpon, juga tidak bisa. Kamu tahu tidak, saya kawatir. Saya takut si Bambang itu ganggu kamu. Apalagi jalan di kampung ini sepi. Itu tidak aman, Kartika!" katanya kesal.Aku bengong melihatnya ngomel tanpa jeda. Aneh saja."Iiih! Dibilangin malah bengong! Ngerti tidak yang aku maksud. Ngeyel sekali!" ucapnya dengan mengibaskan tangannya depan wajahku."Sudah, ayo pulang saja!" Dia langsung menarik tanganku."Lepaskan tanganku!"Aku kibaskan tanganku tetapi tidak terlepas. Terpaksa aku mengikutinya dengan tangan masih tergenggam.Dia membukakan pintu mobil untukku. Mobilnya yang tinggi membuatku kesusahan naik dengan rok yang aku kenakan. Kami segera pergi setelah melambaikan tangan ke Bulik dan Mang Diman."Lain kali jangan pakai rok kalau ke pondok!" ucapnya