Bab 3. Foto Seorang pria di Bawah Bantal Embun
*****
Suara alarm membuatku terjaga. Cepat sekali waktu berjalan. Baru saja aku tertidur sudah pagi lagi. Aku harus bangun dan bersiap-siap ke kantor.
Seketika kepala terasa sakit. Rutinitas ini sungguh menjemukan. Aku bosan setiap hari seperti ini. Aku lelah setiap hari berhadapan dengan papa mertua. Laki-laki paruh baya itu tiada henti menceramahiku. Ada saja pekerjaanku yang dia protes.
Untung ada Sandra yang selalu tersenyum bila kutatap. Wajah cantik, body seksi, dan suara mendesah lembut itu kujadikan pelepas penat. Perempuan itu sangat berjasa sebagai pengusir jenuh, meski sedikitpun aku tak cinta. Ah, aku harus semangat. Hitung-hitung biar bisa bertemu Sandra.
Tak perlu menunggu Embun membangunkan, dia pasti sudah sibuk berkutat di dapur. Kalau bukan mnegurus dapur, dia pasti mengurusi si Radit yang katanya sedang tumbuh gigi. Ada saja kesibukannya tanpa peduli untuk melayaniku. Meskipun dia tak lupa menyediakan setelan pakaian ke kantor yang dia letak rapi di atas kursi meja rias.
“Punya istri rasa duda,” gerutuku kesal.
Aku bangkit perlahan, kurenggangkan tangan, lalu memutar kepala ke kiri dan ke kanan. Tetapi, Kepala tak mau diperintahkan untuk berbalik saat mata menangkap sebuah benda yang tersembul dari balik bantal. Bekas bantal Embun yang hanya tidur-tidur ayam, karena sibuk mengurusi kerewelan Radit tadi malam.
Kugeser bantal pelan, aroma sampo bekas rambut Embun tercium cuping hidung. Dada rasanya tak karuan, kuraih selembar foto dari sana. Siapa laki-laki ini? Kenapa Embun menyimpannya di bawah bantal? Fotoku saat masih lajang dulukah?
Ops! Kenapa aku jadi tidak waras begini? Masa aku tidak mengenal fotoku sendiri? Ya, jelas bukanlah! Pemuda di foto ini teramat tampan. Mirip artis Korea. Dibandingkan aku? Jauh. Tapi, untuk apa Embun menyimpan foto ini? Sejak kapan dia menaruh foto laki-laki di bawah bantalnya?
Kenyataan ini membuatku lemas. Lunglai terasa badan ini. Tak pernah terpikir sedikitpun kalau istriku ternyata memiliki waktu untuk memikirkan laki-laki lain. Dia bahkan menyimpan fotonya di bawah bantal. Persis seperti anak ABG yang yang sedang kasmaran. Tetapi, tak mungkin istriku sedang kasmaran, bukan.
Lalu kenapa? Ada apa? Atau, dia sebenarnya tahu tadi malam aku ke mana? Dia tahu aku telah mendua? Kemudian mengadu pada pemuda di foto itu? Siapa laki-laki ini? Aku harus cari tahu. Ponsel. Ya, aku harus mencari informasi di ponselnya. Pasti dia menyimpan nomor laki-laki ini. Atau dia malah chatingan tadi malam, saat aku tertidur.
Kukembalikan foto ke balik bantal, meraih ponsel milik Embun yang tergeletak di atas meja lemari rias, di samping alat make up sederhana miliknya.
Aku mulai memeriksa seluruh isi ponsel, dari daftar kontak, pesan w******p, f******k, dan semuanya. Tak ada yang mencurigakan. Bagaimana caraku membongkar rahasia besar ini. Istri luguku berhasil membuat kepala serasa pecah.
“Mas! Segera mandi! Sarapannya udah siap, nih!” Terdengar suara lembutnya mengingatkan dari luar kamar. Masih seperti pagi kemarin, tak ada yang berubah.
Ok, aku tak boleh telat ke kantor, kalau tak ingin di sembur mertua galak. Nanti saja lanjutkan penyelidikan ini. Gegas aku melangkah ke kamar mandi.
Ops! Apa ini? Gila! Ini kemeja yang aku pakai ke rumah Sandra tadi malam? Kenapa banyak noda lipstick di bagian kerah dan punggungnya? Astaga! Embun pasti sudah melihatnya. Embun telah tahu apa yang aku lakukan tadi malam, tapi, kenapa dia diam seolah tak ada apa-apa. Hanya foto lelaki itu yang tersembul dari balik bantal. Apa maksudnya? Mati aku!
***
“Iya, Bu, kirim sekarang juga, ya? Dua asisten rumah tangga dan dua baby sitter. Tolong pilihkan yang usianya paling muda! Gadis boleh, janda muda juga boleh, deh!”
Aku terperanjat saat memasuki ruangan makan. Embun sedang menelepon siapa?
“Iya, bu, mengenai gaji, enggak masalah bagi saya. Asal mereka kompeten, dan bisa diandalkan,” sambungnya lalu mematikan ponselnya.
“Sayang, kamu … lagi nelpon siapa?” tanyaku menyelidik. Kupindai seluruh tubuh dan penampilannya. Daster lusuh masih melekat, basah bagian perut ke bawah, sepertinya kecipratan air saat mencuci piring.
Rambut panjangnya juga masih digelung saja seperti biasa, bahkan sebagian lepas, menjuntai-juntai menutupi sebagian wajah berminyak itu, karena tertiup angin yang berembus dari pintu dapur. Masih sama seperti kemarin. Bedanya, kalau di pagi hari seperti ini, aroma asem dan asap dapur belum menguar dair tubuhnya. Itu saja, yang lainnya masih sama.
Tapi, kenapa dia berani-beraninya menelepon yang entah siapa, meminta dikirimkan asisten dan babysitter ke rumah ini? Empat lagi? Dia pikir aku mau menggajinya? Enak aja! Gajiku sudah pas takarannya. Sepertiga jatah dia untuk belanja, listrik, air dan sebangainya, sepertiga untuk kebutuhan Papa dan Mamaku, sepertiga lagi untuk modalku merayu Sandra.
Enak aja mau masukin pembantu, mau dia gaji pakai apa? Gak mikir perempuan ini. Apa dia pikir, karena ada bekas noda lipstick di kemejaku itu, maka dia bisa memerasku? Huh, jangan harap! Jatah bulanan untuk orang tuaku, tak mungkin dikurangi, jatahku juga enggak akan kukurangi. Kalau dia berkeras juga, maka dia harus meminta jatah pada Papanya. Terserah.
“Ini, Mas. Aku nelpon yayasan penyalur asisten rumah tangga. Aku minta dikirimi pembantu. Mama udah janjii, sih, tapi janji-janji melulu. Udah tiga tahun, lho. Aku udah gak sanggup, Mas. Enggak apa-apa, kan?” jawabnya sambil mengulum senyum, seperti biasa. Tangan kasar itu bergerak lincah merapikan dasiku, yang mungkin memang kurang rapi karena terburu-buru.
Istriku yang cantik tapi rada bodoh ini tak tahu, kalau mama tirinya itu sengaja menunda-nunda memasukkan asisten di rumah ini. Lumayan, jatah untuk menggaji asisten bisa kugunakan untuk modal foya-foya Papa dan Mama. Orang tuaku baru kali ini merasakan hidup enak. Mereka sudah bosan hidup miskin. Berbeda dengan Embun, dari masih di dalam perut ibunya pun sudah merasakan hidup mewah. Tidak apa-apa sesekali merasakan hidup susah.
“Lho, sabar, dong! Kan Tante bilang minggu depan, kenapa kamu jadi gak sabaran, gini, sih?” sergahku.
“Mama enggak benar-benar mencarikan aku pembantu, Mas. Kalau memang dia niat, pasti udah dari dulu dia dapat,” bantahnya seraya berlari menuju kamar. Radit terdengar menangis karena terbangun.
“Lalu kenapa sampai empat?” tanyaku mengikutinya.
“Iyalah, Mas. Pekerjaan sehari-hari yang aku kerjakan selama ini, wajarnya dikerjakan oleh empat orang pembantu. Satu khusus masak, nyuci piring, pakaian dan setrika. Satu lagi khusus bersih-bersih rumah, halaman, dan buka tutup gerbang, saat Mas pergi dan pulang kantor. Dua baby sitter, untuk Raya dan Radit. Empat, kan?” jawabnya enteng, sambil meraih Radit dari dalam box bayi.
Dihenyakkannya tubuh di kasur, membuka blusnya bagian atas lalu menempelkan mulut Radit di dadanya. Jujur, dadaku berdesir saat melihat putraku mengulum dan menghisap daging kenyal yang mengantung di dada istriku itu.
“Maaf, Mas!” katanya langsung menggeser posisi duduk.
Untuk kesekian kalinya aku terkejut. Kenapa sikap Embun berubah? Sepertinya dia tak ingin aku melihat pemandangan indah itu. Ini, aneh! Aku suaminya, lho. Masa aku tak boleh melihatnya?
*****
Bab 4. Ancaman di Balik Senyuman Embun******“Begini, Sayang, kamu telpon yayasan itu lagi saja! Minta satu asisten saja, bantu-bantu kamu masak dan ngurus rumah, enggak usah sampai empat, ya! Untuk gajinya, kamu aturlah dari jatah bulanan yang aku kasih ke kamu, nanti aku subsidi lima ratus ribu sebulan, ok! Aku juga kasihan sama kamu, sampai-sampai mandi aja enggak sempat setiap hari,” usulku mencoba bernegosiasi.Lima ratus ribu subsidi dari aku, banyak kan? Aku sudah mau mengalah mengurangi jatahku. Enggak apa-apa. Mudah-mudahan dengan begitu istriku akan terlihat cantik setiap hari, pasti dia punya waktu untukku mulai sekarang. Aku untung, dia pun akan senang, kurang baik apa aku, coba?“Enggak bisa, Mas. Aku mau melepaskan semua urusan rumah ini semuanya mulai hari ini. Aku mau nyelesaikan kuliahku yang sempat terhenti karena menikah dulu.&
Bab 5. Siapa Sebenarnya Embun?******“Kenapa dengan Embun? Masa kamu ngeluh menghadapi istri penurut gitu? Kurang apa lagi dia menurutmu, Ray? Jangan nuntut yang macam-macam, deh! Waktunya bahkan kurang untuk mengurus anak-anak dan rumah, jangankan untuk berbuat macam-macam, mandi aja kadang dia enggak sempat.”“Itu kemarin, Tan. Mulai tadi pagi dia udah berubah.”“Berubah gimana?”“Pokoknya Tante datang ke kantor. Aku tunggu!”“Ya, udah! Nanti Tante singgah sebentar, sebelum pergi arisan.”Kututup telpon lalu menambah kecepatan mobil. Orang yang pertama sekali ingin kujumpai sekarang adalah Si Ramlan. Si Botak tua itu akan segera kupecat. Berani dia membongkar rahasia keuanganku pada Embun.Aku meminta security memarkirkan mobil begi
Bab 6. Embun Harus Hamil Lagi*****“Kok, kamu protes karena tanpa sepengetahuanmu manager diganti? Papa saja selaku direktur di perusahaan ini tidak tahu.”Kalimat Papa mertuaku sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin dia tak tahu ada pergantian manager di perusahaannya. Lantas, kalau dia sendiri tidak tahu, siapa yang tahu? Siapa yang mengganti manager keuangan itu? Yang paling membuatku bingung adalah sikap papa mertua terlihat tenang saja. Ada apa sebenarnya ini? “Papa tidak tahu? Maksud Papa?” selidikku.“Iya, Embun tidak ngomong apa-apa sama papa sebelumnya. Tiba-tiba dia pindahkan Pak Rahmad dan menunjuk Dian yang menggantikan,” jawabnya santai.“Embun? Maksud Papa, Embun yang melakukannya?” sergahku tak percaya.
Bab 7. Kejutan Dari Embun******“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita lancarkan tujuan kita.”“Ok, Tante, aku ngerti.”“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”Wanita itu berlalu. Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.***Pukul
Bab 8. Terjangan Embun Menolakku*****“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam bel
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
***** Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini. “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung. “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar. “Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!” “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!” “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?” “Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili