Bab 4. Ancaman di Balik Senyuman Embun
******
“Begini, Sayang, kamu telpon yayasan itu lagi saja! Minta satu asisten saja, bantu-bantu kamu masak dan ngurus rumah, enggak usah sampai empat, ya! Untuk gajinya, kamu aturlah dari jatah bulanan yang aku kasih ke kamu, nanti aku subsidi lima ratus ribu sebulan, ok! Aku juga kasihan sama kamu, sampai-sampai mandi aja enggak sempat setiap hari,” usulku mencoba bernegosiasi.
Lima ratus ribu subsidi dari aku, banyak kan? Aku sudah mau mengalah mengurangi jatahku. Enggak apa-apa. Mudah-mudahan dengan begitu istriku akan terlihat cantik setiap hari, pasti dia punya waktu untukku mulai sekarang. Aku untung, dia pun akan senang, kurang baik apa aku, coba?
“Enggak bisa, Mas. Aku mau melepaskan semua urusan rumah ini semuanya mulai hari ini. Aku mau nyelesaikan kuliahku yang sempat terhenti karena menikah dulu.”
“Apa! Jangan aneh-aneh, deh, Sayang! Kalau kamu kuliah, siapa yang ngurus anak-anak dan rumah ini?” pekikku makin kaget. Bisa-bisa kena serangan jantung aku karena perubahan istriku pagi ini.
“Kan ada pembantu,” sahutnya enteng.
“Yang memberikan Asi kepada Radit, juga pembantu?” cecarku mendelik tajam.
“Aku bisa mengatur waktu untuk memberi Radit ASI. Aku bisa sedot dan taruh di wadah, lalu dikirim ke rumah. Atau aku simpan di kulkas. Orang lain bisa, kenapa aku enggak bisa.”
“Tidak! Aku tidak setuju! Ini ide gila!”
“Maaf, kalau Mas enggak setuju, tapi ini sudah menjadi keputusanku.”
“Sejak kapan kau berani mengambil keputusan sendiri, Embun?”
“Mas, aku tidak berbuat yang macam-macam, kan? Aku hanya mau kuliah, nerusin pendidikan aku. Ingat janji Mas dan Papa dulu? Kalian udah janji, bahwa aku boleh lanjutin kuliah, asal aku mau nikah dengan Mas, ingat tidak?”
“Ada syaratnya, Embun, waktu itu aku bilang ada syaratnya!”
“Ya, Mas bilang syaratnya asal urusan rumah tidak terbengkalai. Makanya aku ambil empat orang pembantu, urusan rumah akan terjamin, juga anak-anak.”
“Kau mau gaji pakai apa?” teriakku geram. Ingin sekali kucekik dia sekarang. Kedua tanganku sudah mengepal.
“Sssst! Jangan teriak, Mas! Raya masih tidur! Radit juga kaget mendengar suaramu, lho,” katanya tetap dengan wajah tenang.
“Ok, sekarang aku tanya, kau mau gaji mereka pakai apa?’ kataku menurunkan volume suara.
“Kita patungan. Harusnya, sih, Mas semua yang nanggung. Tapi, enggak apa-apa deh, dua orang aku yang bayar, dua orang lagi, tanggung jawab, Mas,” jawabnya tersenyum manis.
“Patungan? Memangnya kau punya penghasilan?” geramku.
“Tenang! Yang penting, jatah belanja bulanan gak boleh Mas kurangin, tambahannya gaji dua orang pembantu, ok?”
“Enggak bisa! Aku hanya bisa subsidi lima ratus ribu! Terserah kau mau memakai seratus pembantu, aku gak peduli,” teriakku meninggalkannya.
“Aku akan telpon bagian keuangan kantor, agar langsung memotong gaji Mas, dan langsung transfer ke rekening aku setiap bulannya,” tuturnya tetap lembut.
“Embuuuuun!” Aku berbalik, menatap tajam wajah yang tiba-tiba kulihat sangat menyebalkan itu.
“Mamaaaa, emmaamaaa ….” Raya menjerit, sepertinya kaget dengan teriakanku. Radit juga mengoar di dadan perempuan yang kurasakan tiba-tiba berubah menjadi monster itu.
Dengan cekatan dia menenangkan keduanya. Raya dan Radit tergugu di dadanya.
“Papaaa … napa malah-malah cama Mama?” tanya putriku sambil mengucek mata. Aku tak peduli. Emosiku yang belum tersalur, membuatku malas melayaninya.
“Jangan pernah kau campuri urusan gajiku! Paham! Sekali saja kau berani nelpon keuangan kantor –“
Sengaja kugantung ancamanku, ingin sekali kulihat sorot ketakutan di matanya. Tapi sumpah, hari ni sepertinya dia salah makan obat. Perempaun itu malah tersenyum dengan manisnya. Apa makna senyuman itu, coba?
“Mas, justru Pak Ramlan yang tiap bulan nelpon aku? Mengirim laporan keuangan perusahaan dalam bentuk file ke hp aku, jangankan tentang gaji kamu, informasi mengenai sepertiganya yang rutin Mas suruh transfer ke rekening orang tua Mas pun aku tahu. Laporannya lengkap padaku, Mas.”
Aku lemas. Lutut tiba-tiba bergoyang, seolah sendinya ingin berlepasan. Embun mengetahui rahasia keuanganku selama ini? Dia tahu kalau jatah untuk belanja yang kuberikan padanya, sama besarnya dengan jatah untuk Papa dan Mama? Tapi dia diam saja? Bahkan dia mengatakannya padaku sekarang dengan tersenyum? Tapi, kenapa Pak Ramlan, mengatakan semua rahasia itu padanya? Kenapa si tua bangka itu mengirimkan file laporan keuangan setiap bulan pada Embun? Bukankah aku wakil bos di perusahaan itu? Kenapa si Ramlan botak itu berani membongkar rahasiaku? Awas saja, begitu sampai di kantor, aku pecat dia!
“Sekarang, berangkatlah, Mas! Ini udah siang, lho!” Embun berkata masih dengan begitu lembut.
Tidak ada amarah, tidak ada ekspresi kecewa, semua terlihat biasa. Tapi kenapa kalimat lembut itu kurasakan seperti ancaman? Senyumnya seperti belati tajam yang siap mengiris jantung. Aku ketakutan. Ada apa dengan Embun yang sebenarnya. Apakah noda lipstick di kemejaku masalahnya? Apakah dia cemburu? Ok, aku harus mengarang cerita untuk menutupinya.
“Sayang, mengenai noda lipstick di kemejaku itu--”
“Oh, nanti akan segera dibersihkan oleh asisiten baru kita, Mas. Kalau cuma noda lipstick, gak susah, kok, nyucinya,” selanya tetap tersenyum.
“Maksudku, itu, semalam di lif, tiba-tiba mati lampu, pegawai perempuan terjerembb jatuh dan menubruk punggungku, makanya –“
“Mas, udah siang banget! Entar terlambat, lho!” selanya memutus kalimatku sambil membawa ke dua anakku keluar kamar. Dia sama sekali tak menghiraukan alasan yang tengah kukarang.”
Mati aku! Embun benar-benar sedang mengajak perang rupanya. Senjatanya hanya senyum, senyum, dan senyum. Ok, aku juga punya senjata untuk menghadapi serangannya. Tante Siska, mama tirinya. Adik kandung Papaku itu pasti akan membantuku. Bukankah semua ini atas rencananya? Bukankah dia yang merayu suaminya, papa mertuaku itu untuk menjodohkan aku dengan Embun?
Tante Siska malah pernah punya niat untuk menyingkirkan anak tirinya itu, karena Embun adalah pewaris tunggal kekayaan keluarga. Sebab perusahaan itu adalah milik mama kandung Embun. Tante Siska dinikahi dengan satu perjanjian, tidak akan menuntut harta warisan.
Aku yang jatuh hati pada Embun sejak pertama kali bertemu, memohon agar dia membatalkan niatnya. Tante Siska setuju, asal aku mau membantunya menguasai seluruh harta keluarga Embun. Langkah pertama adalah aku harus bisa menjadi pimpinan utama di perusahaan itu. Namun, telah tiga tahun pernikahan, papa mertua belum juga menyerahkan jabatan Direktur.
Terlalu lambat. Hari ini, putrinya malah mulai berulah. Ini tak bisa dibiarkan. Tante harus tahu hal ini.
“Tan! Tante di mana?” tanyaku melalui telpon sambil menyetir. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Emosi kepada sikap Embun yang mulai melawan dengan cara elegan itu membuatku mati kutu. Hampir-hampir aku menyerah dibuatnya. Tak ada cara lain. Tante Siska harus turun tangan.
“Di rumah, tapi sebentar lagi mau pergi arisan, ada apa, Ray? Kok, suaramu terdengar panik, gitu?” jawab Tante Siska balik bertanya. Sepertinya kepanikanku tertangkap olehnya.
“Tante datang ke kantor, ya! Aku mau bicara, masalah Embun,” ujarku.
*****
Bab 5. Siapa Sebenarnya Embun?******“Kenapa dengan Embun? Masa kamu ngeluh menghadapi istri penurut gitu? Kurang apa lagi dia menurutmu, Ray? Jangan nuntut yang macam-macam, deh! Waktunya bahkan kurang untuk mengurus anak-anak dan rumah, jangankan untuk berbuat macam-macam, mandi aja kadang dia enggak sempat.”“Itu kemarin, Tan. Mulai tadi pagi dia udah berubah.”“Berubah gimana?”“Pokoknya Tante datang ke kantor. Aku tunggu!”“Ya, udah! Nanti Tante singgah sebentar, sebelum pergi arisan.”Kututup telpon lalu menambah kecepatan mobil. Orang yang pertama sekali ingin kujumpai sekarang adalah Si Ramlan. Si Botak tua itu akan segera kupecat. Berani dia membongkar rahasia keuanganku pada Embun.Aku meminta security memarkirkan mobil begi
Bab 6. Embun Harus Hamil Lagi*****“Kok, kamu protes karena tanpa sepengetahuanmu manager diganti? Papa saja selaku direktur di perusahaan ini tidak tahu.”Kalimat Papa mertuaku sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin dia tak tahu ada pergantian manager di perusahaannya. Lantas, kalau dia sendiri tidak tahu, siapa yang tahu? Siapa yang mengganti manager keuangan itu? Yang paling membuatku bingung adalah sikap papa mertua terlihat tenang saja. Ada apa sebenarnya ini? “Papa tidak tahu? Maksud Papa?” selidikku.“Iya, Embun tidak ngomong apa-apa sama papa sebelumnya. Tiba-tiba dia pindahkan Pak Rahmad dan menunjuk Dian yang menggantikan,” jawabnya santai.“Embun? Maksud Papa, Embun yang melakukannya?” sergahku tak percaya.
Bab 7. Kejutan Dari Embun******“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita lancarkan tujuan kita.”“Ok, Tante, aku ngerti.”“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”Wanita itu berlalu. Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.***Pukul
Bab 8. Terjangan Embun Menolakku*****“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam bel
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
***** Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini. “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung. “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar. “Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!” “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!” “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?” “Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili