Bab 8. Terjangan Embun Menolakku
*****
“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.
“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”
“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”
“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”
“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam belati mengiris gendang telinga.
“Sayang, aku aku … sebenarnya, aku dan Sandra, tidak ada hubungan apa-apa. Sumpah, aku –“
“Sudahlah, Mas! Aku juga tidak pernah menanyakannya, kan? Aku enggak masalah kamu berhubungan atau tidak dengannya. Hanya saja, aku kok jijik ya, sama kamu, sekarang. Kalau kemarin, sih, aku masih memikirkan tugas dan kewajibanku sebagai istri. Makanya aku mau melayanimu. Tapi, sekarang, maaf, aku enggak bisa.”
“Aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan Sandra, Embun, kenapa kau curiga?”
“Aku enggak curiga, Mas! Aku memang melihat kenyataannya. Aku lihat bagaimana Mas menikmati bibir perempuan itu! Aku melihat bagaimana kalian …. Ah, sudahlah! Aku mual bila mengingatnya!”
“Cukup! Jangan ngarang kamu! Kau boleh cemburu, tapi, jangan langsung menuduh seperti itu!” teriakku emosi. Darah rasanya sudah naik ke ubun-ubun, menggelegak bukan karena tersinggung di tuduh seperti itu, tapi emosi kenapa dia tahu peristiwa tadi pagi. Dari mana dia tahu?
“Aku enggak ngarang! Buang waktuku aja, dong, ngarang tentang kebejatan kamu, tahu enggak! Tapi aku ngeliat sendiri! Jijik!”
“Kapan kau lihat!” teriakku tak sadar.
“Owaaaa … owaaaa ….” Radit terbangun.
“Kurang kencang, Mas, teriaknya! Biar seisi rumah ini terbangun,” ketusnya langsung bangkit, meraih Radit di dalam boxnya yang menangis karena terkejut.
“Lantas darimana kamu tahu tuduhanmu itu, kalau bukan ngarang!” tanyaku masih berteriak, meski tak sekencang tadi.
Embun tak menjawab, dia sibuk menenangkan Radit yang masih merengek. “Cep, Sayang, cep, ini … minum lagi, ya! Ayo hisap! Iya, pinter, anak Mama!” bujuknya menempelkan mulut Radit di dadanya.
Aku bangkit, menghenyakkan tubuh di bibir ranjang, tepat di sisinya.
Embun langsung bergeser, dan menghadap ke arah lain, menghalangi pandanganku ke dadanya. Sikapnya ini sangat menyiksa. Dulu dia tak peduli meski aku melihat dia menyusui Raya dan sekarang Radit. Tapi, kenapa mulai tadi pagi dia berubah, seolah aku adalah orang asing yang tak boleh melihat tubuhnya. Apa maksudnya?
“Sayang, sebaiknya kita jangan bertengkar, ya! Kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin,” usulku setelah menghela napas pelan. Sepertinya aku harus mengalah, bersikap lunak saja menghadapinya.
“Sebenarnya tak ada yang perlu dibicarakan, Mas, tidurlah! Aku nidurkan Radit dulu!” jawabnya masih membelakangiku.
Aku enggak enak kamu berperasangka buruk tentang hubunganku dengan Sandra, Sayang. Yang kau tuduhkan itu sama sekali tidak benar,” lirihku memeluk pinggangnya dari belakang. Tubuhku kini menempel di punggungnya.
“Maaf, Mas. Aku sedang nidurkan Radit, jangan peluk-peluk seperti ini! Tolong berhenti bahas Sandra. Tidurlah!”
Aku melepas pelukan. Menghentak napas kasar. Embun tak peduli. Percuma memaksakan diri. Sudahlah, sepertinya dia sedang marah meski bibirnya selalu tersenyum. Tak ada kata-kata kasar terucap, tapi, semakin halus ucapannya, semakin terasa tajamnya.
Beringsut aku ke tempat semula. Berbaring menatap langit-langit kamar penuh tanya. Esok, pasti akan kuselidiki, dari mana Embun tau hubunganku dengan Sandra. Dari mana dia tahu aku berciuman dengan sekretaris itu di sofa tadi pagi? Tante Siska? Tidak mungkin dia yang melaporkan? Jangan-jangan Embun punya mata-mata di kantor, tapi siapa? Bukankah sudah teramat sering aku bermesraan dengan Sandra di kantor? Sofa merah di ruanganku sebagai saksi bisu. Tak mungkin sofa itu yang mengadu pada Embun. Selama ini baik-baik saja, Embun juga tak perah curiga. Kenapa sekarang jadi runyam semua? Apakah manager baru itu? Ya, sepertinya dia sengaja ditugaskan Embun untuk mematai-matai aku. Besok akan kupastikan ini.
Embun meletakkan Radit kembali ke dalam box. Sepertinya putra tampanku sudah terlelap lagi. Kulihat, dada Embun menyembul sebelah. Air ASI masih menetes dari sana. Sepertinya Embun lupa menutupnya lagi karena fokus kepada Radit.
Wanita yang sangat menggiurkan itu kini berbaring di sampingku. Aku pura-pura memejam mata agar dia mengira aku telah lelap. Mungkin malam ini niatku tak bisa terlaksana. Akan kutunggu hingga hatinya dingin. Mungkin esok pagi saja, saat dia telah lupa dengan kemarahannya.
Tetapi, mata ini tak mau diajak kerja sama. Aku melirik kembali ke dada Embun yang masih terbuka. Aaargh … aku tak tahan lagi. Kepala terasa pening diserang hasrat yang kian membara. Harus dituntaskan sekarang juga.
Dengan sekali gerakan aku mulai menyerang. Embun tak berdaya dalam rengkuhanku. Sekuat apapun dia menolak, tenagaku tentu jauh lebih kuat. Bibirnya habis kulumat, wanitaku kini pasrah, diam tak bergerak. Namun, tiba-tiba pandanganku gelap, tubuhku terjugkal ke lantai, di sisi tempat tidur. Kepala berat, tak sanggup bergerak untuk sesaat.
Samar kulihat Embun bangkit, membenahi baju tidurnya yang berantakan, merapikan rambutnya yang acak-acakan. Menyeka bibirnya dengan kasar.
“Maaf, aku spontan menerjangmu, Mas. Tapi sebaiknya kamu bersihkan dulu tubuh kotormu itu, baru kau boleh lagi menyentuhku! Aku jijik karena ada bekas Sandra di situ. Mulai sekarang, kita pisah ranjang! Aku tidur di kamar tamu!” ucapnya dengan suara tetap lembut. Kini dia berjalan ke arah box bayi, meraih Radit, lalu menggendongnya keluar.
Aku masih diam tak bisa bergerak. Sakit di selangkagan membuatku kehilangan tenaga. Untunglah aku masih hidup. Tendangan Embun tepat sasaran. Embun … wanitaku yang lemah lembut, teryata begitu kuat. Embun … diammu ternyata menyimpan dendam. Darimana kau tahu aku telah berselingkuh? Darimana kau tahu ada bekas Sandra di tubuh ini? Nalurimukah? Bekas noda lipstick itukah? Atau apa?
Pelan aku bangkit, setelah rasa sakit dan kaget ini hilang. Berjalan terseok menuju kamar tamu. Mengetuk pelan, kupanggil namanya dengan penuh perasaan. Aku harus minta maaf. Aku harus bersimpuh di kakinya. Memohon ampun dan mengaku saja. Sumpah, aku tak mau kehilangannya. Bukan hanya karena takut kehilangan hartanya, tapi karena memang aku sangat mencintainya.
Tak ada sahutan. Berkali kuulang, tetap tak ada respon dari dalam. Kugenggam handle pintu, membukanya, berharap tak dikunci. Namun, harapanku zonk. Embun mengunci dari dalam. Terseok, aku kembali menuju kamar.
Kecewa dan sakit ini membuat jiwaku tergoncang. Penolakan Embun membuatku terhina. Kucoba meminta maaf, tak juga diberi kesempatan. Sakit, ini terlalu sakit. Ok, aku laki-laki. Tak akan kubiarkan dia menginjak harga diriku. Kalau kau menolak, seribu cara bisa kubuat. Tunggu saja, Embun. Jangan kau pikir aku suami yang bodoh! Kedudukanmu sebagai istri, harus nurut apa kata suami. Camkan itu! Tidak hari ini, besok pasti kau kudapat.
*****
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
***** Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini. “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung. “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar. “Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!” “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!” “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?” “Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 13. Mas Darry Tak MengenalkuPOV EmbunEntah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku.“Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku.“Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu.“Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya.“Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang.“Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat
Bab 14. Tatapan Sandra*****Aku tengah berdiri di depan gerbang kampus menunggu taksi online pesanan, ketika sebuah mobil menepi, berhenti tak jauh dariku. Semula kukira itu adalah Dea, yang sebelumnya menawarkan jasa untuk mengantarku tapi kutolak.Namun, dugaanku salah. Saat kaca mobil samping dia turunkan, terlihat lelaki sombong itu ada di dalam. Sedang apa dia di situ? Tak hendak hati menyapa, meski jarak kami hanya semeter saja. Dia bersikap sombong, aku harus lebih sombong tentu saja. Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion samping mobilnya. Kuhela napas lega, saat taksi pesananku telah tiba.Aku turun dari taksi, langsung menuju ruangan Papa. Sengaja memenuhi panggilannya siang tadi. Tidak biasanya dia menyuruhku datang ke kantor.Hampir semua karyawan kantor menundukkan kepala dengan sopan, saat melihatku. Syukurlah, mereka masih menghargaiku.
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku*****Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya.“Saya masih bicara dengan Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah.Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku. Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh.“Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi.“Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi.“Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang.“Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat.Kemar
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama*****Jam pulang kantor, aku dan Dian berpisah. Setelah dia membenahi pekerjaannya, kami berjalan bersama menuju lif. Kulirik ruangan Mas Ray, sepertinya dia belum pulang. Tas Sandar juga masih tergeletak di mejanya.“Kamu naik apa?” tanya Dian menekan tombol lift.“Taksi,” jawabku sekali lagi menatap ke arah ruangan suamiku.“Kenapa enggak bareng Pak Ray?” Dian menekan tombol lif lagi untuk menutup dan memilih lantai dasar.“Dia mungkin pulang malam, lembur. Aku enggak bisa nunggu,” jawabku asal. Jujur, semobil saja dengannya aku sudah tak niat.“Terus, kamu mau mengalah, ke mana-mana naik taksi? Calon direktur kok! Kamu harus nyetir sendiri, Embun. Apalagi kamu sibuk banget. Hari ini aku antar kamu pulang, yuk. Naik
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili