Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku
*****
Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya.
“Saya masih bicara dengan Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah.
Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku. Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh.
“Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi.
“Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi.
“Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang.
“Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat.
Kemar
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama*****Jam pulang kantor, aku dan Dian berpisah. Setelah dia membenahi pekerjaannya, kami berjalan bersama menuju lif. Kulirik ruangan Mas Ray, sepertinya dia belum pulang. Tas Sandar juga masih tergeletak di mejanya.“Kamu naik apa?” tanya Dian menekan tombol lift.“Taksi,” jawabku sekali lagi menatap ke arah ruangan suamiku.“Kenapa enggak bareng Pak Ray?” Dian menekan tombol lif lagi untuk menutup dan memilih lantai dasar.“Dia mungkin pulang malam, lembur. Aku enggak bisa nunggu,” jawabku asal. Jujur, semobil saja dengannya aku sudah tak niat.“Terus, kamu mau mengalah, ke mana-mana naik taksi? Calon direktur kok! Kamu harus nyetir sendiri, Embun. Apalagi kamu sibuk banget. Hari ini aku antar kamu pulang, yuk. Naik
Bab 17. Kurebut Mobil Mamaku*****Aku tak sabar lagi, gegas aku berjalan menuju kamar Papa. Menggenggam kasar handel pintu , lalu mendorongnya kuat. Sia-sia, ternyata pintu dikunci dari dalam. Kenapa Papa mengunci pintu kamarnya? Bukankah dia sendirian di dalam sana? Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya, siapa yang akan menolongnya, begitu pikirku.“Papa! Pa … buka pintunya! Papa baik-baik saja?” teriakku menggedor pintu berulang-ulang.“I-iya, Sayang. Sebentar!” Kutarik napas lega. Setidaknya Papa baik-baik saja. Aku bisa menanyakan tentang perempuan yang bernama Siska itu sekarang juga.Namun, kenyataan yang kulihat justru membuatku tak bisa berkata-kata. Saat pintu kamar terkuak, bukan Papa yang membuka. Perempuan dengan daster berantakan, rambut acak-acakan. Siska. Ya, kata Bik Iyan, perempuan ini bernama Siska. Ngapain di di kamar Papa? Malam-malam begin
Bab 18. Jangankan Masuk Surga, Mencium Baunya Saja, Haram Bagimu, Embun!****“Embun! Embuuuuun! Di mana kau, Embuuun!”Seisi rumah tersentak kaget. Suara menggelegar Mas Ray memekakkan gendang telinga. Raya berlari memeluk kakiku, sementara Radit mengoar di dalam box. Rika, sang babysitter langsung menenangkannya.“Jangan takut, Sayang! Sana sama Mbak Rani!” perintahku menyerahkan tangannya kepada Mbak pengasuhnya.Melangkah agak terburu, aku menyambut lelaki kesurupan itu ke arah pintu. Dia baru saja tiba di rumah, malam-malam begini, lho! Begitu sibukkah pekerjaan di kantor hingga harus lembur setiap hari?”“Embuuuun!” teriaknya sekali lagi sambil melemparkan tas kerjanya ke atas sofa di ruang tamu.“Aku di sini, Mas. Ini rumah, lho, bukan hutan? Penghuninya manusia, bukan binat
Bab 19. Bukti Pertama Untuk menjatuhkan Mas Ray*****Berbagai prasangkan berkecamuk di benak. Dugaanku tertuju pada Rika, babysitter yang sudah bertingkah menjengkelkan sejak awal masuk kerja. Pasti dia yang telah diam-diam mendekati Mas Ray. Karena hanya dia yang paling kepo tentang masalah rumah tanggaku. Apalagi sejak aku pisah ranjang dengan Mas Ray. Sepertinya dia sengaja memancing di air keruh.Jangan-jangan benar kata mama Siska, bahwa jaman sekarang ini banyak pembantu yang merayu majikan. Dia tahu mas Ray sedang kesepian, dia sengaja cari kesempatan. Tapi, masa iya, sih, mas Ray mau dengan Rika? Gadis itu tak ada menarik-menariknya. Mana mungkin mas Ray mau selingkuh dengannya.Kalau tidak, terus mereka ngapain? Apa yang sedang mereka bicarakan? Sepertinya serius banget.Segera aku bersembunyi di balik tiri jendela samping, ketika mas Ray berjalan meninggalkan si perempuan.
Bab 20. Rani Korban Obat Perangsang Suamiku*****Tanpa ragu, kutukar gelas yang disediakannya untukku dengan gelas miliknya. Untunglah dia berakting adegan nangis segala. Jadi, aku berkesempatan melancarkan aktingku juga.“Makanya saya memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ibu, maaf, ya, Bu.”Jangan-jangan anak ini memang pemain. Pasti dia mencuri perhatian Mas Ray pertama kali dengan cara seperti ini. Pura-pura bersedih untuk mencari simpati.“Terus, saya bisa bantu apa?” tanyaku merenggangkan pelukan.“Saya pinjam duit, Buk. Saya bayar tiap gajihan, potong aja separuh gaji saya. Boleh, ya, Bu?”“Ok, besok pagi saya transfer, ya.”“Benaran, Buk?”“He-em.”“Makasih, Buk, ayuk, kita minum dulu!”
Bab 21. Dapur, Kasur, Sumur? No!*****“Embuuuun …. Embuuuun”Aku memaksakan mata ini terbuka. Terasa perih, kepala berat, dan pikiran pun masih belum sepenuhnya sadar. Tetapi, aku harus bangkit. Kalau tidak, nenek sihir itu akan membakar rumah ini dengan teriakannya.“Oh, di situ kau rupanya? Tidur di kamar tamu. Tega kau meninggalkan suamimu tidur sendirian di kamar itu? Kenapa kau tidur di kamar tamu itu? Kau sedang menunggu seorang tamu, iya? Mau tidur bareng tamu yang kau nanti itu?” tuduhnya menatapku tajam dari ujung kaki hingga ujung kepala.Denyut di kepala ini terasa kian mengganas saja. Ingin kulumat wanita ini hingga hancur berkeping-keping. Tapi, ah, aku belum sepenuhnya bertenaga. Lemas masih karena kurang tidur tadi malam.“Jangan teriak-teriak, dong, Ma!? Orang-orang pada belum bangun, lho!” ger
Bab 22. Kejutan Buat Mama Tiriku*****Kedua wanita setengah baya itu cepat-cepat masuk kamar, lalu keluar lagi dengan menjinjing tas. Begitu juga dengan Rani yang terlihat pucat pasi. Apalagi Bik Anik dan Bil Las, tak henti menyalahkannya.Mereka kini berkumpul di ruang tamu, berdiri dengan menunduk di hadapan kami.“Lho, kok cuma tiga? Mana satu lagi? Bukannya kamu punya empat pembantu?” Mama menatap ketiganya bergantian. “Mana satu lagi!” teriaknya menghardik Bik Anik.“Di di di kamar anak-anak, Bu,” jawab Bik Anik tergagap. Wanita itu langsung pergi ke kamar anak-anak.“Jangan kasar, dong, Ma! Mereka asisten saya,” pintaku lalu menatap Papa dengan tenang.“Pa, tolong periksa mobil Embun, Pa! Sepertinya ada masalah, deh! Ini kuncinya! Tolong periksa ya!” pintaku mendorong tubuh
Bab 23. Ternyata Pil Perangsang Itu Ide Mama Tiriku*****Papa tertegun, sang istri gelisah.“Kau tunggu saja keputusan istriku! Sebentar lagi, akan dikembalikan ke Yayasanmu! Perempuan rendah!” makin Mas Ray lagi.“Bapak yang rendah! Bapak yang menyuruh saya untuk –““Diam!” Mas Ray langsung membekap mulutnya dengan tangan. “Kau diam!” perintahnya penuh ancaman.“Dasar pembantu sialan! Kau mau mengadu domba, iya! Jangan pernah mengadu yang tidak-tidak! Awas kalau kau bertingkah!” Sang tante ikut mengancam.Aku sebenarnya sudah tahu apa yang ingin disampaikan oleh Rani. Tanpa dia berbicara, bukti videonya sudah ada di ponselku. Namun, bukan sekarang saat yang tepat untuk membongkarnya. Ada waktu seminggu lagi. Hingga persiapanku mengelola perusahaan benar-benar