Bab 21. Dapur, Kasur, Sumur? No!
*****
“Embuuuun …. Embuuuun”
Aku memaksakan mata ini terbuka. Terasa perih, kepala berat, dan pikiran pun masih belum sepenuhnya sadar. Tetapi, aku harus bangkit. Kalau tidak, nenek sihir itu akan membakar rumah ini dengan teriakannya.
“Oh, di situ kau rupanya? Tidur di kamar tamu. Tega kau meninggalkan suamimu tidur sendirian di kamar itu? Kenapa kau tidur di kamar tamu itu? Kau sedang menunggu seorang tamu, iya? Mau tidur bareng tamu yang kau nanti itu?” tuduhnya menatapku tajam dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Denyut di kepala ini terasa kian mengganas saja. Ingin kulumat wanita ini hingga hancur berkeping-keping. Tapi, ah, aku belum sepenuhnya bertenaga. Lemas masih karena kurang tidur tadi malam.
“Jangan teriak-teriak, dong, Ma!? Orang-orang pada belum bangun, lho!” ger
Bab 22. Kejutan Buat Mama Tiriku*****Kedua wanita setengah baya itu cepat-cepat masuk kamar, lalu keluar lagi dengan menjinjing tas. Begitu juga dengan Rani yang terlihat pucat pasi. Apalagi Bik Anik dan Bil Las, tak henti menyalahkannya.Mereka kini berkumpul di ruang tamu, berdiri dengan menunduk di hadapan kami.“Lho, kok cuma tiga? Mana satu lagi? Bukannya kamu punya empat pembantu?” Mama menatap ketiganya bergantian. “Mana satu lagi!” teriaknya menghardik Bik Anik.“Di di di kamar anak-anak, Bu,” jawab Bik Anik tergagap. Wanita itu langsung pergi ke kamar anak-anak.“Jangan kasar, dong, Ma! Mereka asisten saya,” pintaku lalu menatap Papa dengan tenang.“Pa, tolong periksa mobil Embun, Pa! Sepertinya ada masalah, deh! Ini kuncinya! Tolong periksa ya!” pintaku mendorong tubuh
Bab 23. Ternyata Pil Perangsang Itu Ide Mama Tiriku*****Papa tertegun, sang istri gelisah.“Kau tunggu saja keputusan istriku! Sebentar lagi, akan dikembalikan ke Yayasanmu! Perempuan rendah!” makin Mas Ray lagi.“Bapak yang rendah! Bapak yang menyuruh saya untuk –““Diam!” Mas Ray langsung membekap mulutnya dengan tangan. “Kau diam!” perintahnya penuh ancaman.“Dasar pembantu sialan! Kau mau mengadu domba, iya! Jangan pernah mengadu yang tidak-tidak! Awas kalau kau bertingkah!” Sang tante ikut mengancam.Aku sebenarnya sudah tahu apa yang ingin disampaikan oleh Rani. Tanpa dia berbicara, bukti videonya sudah ada di ponselku. Namun, bukan sekarang saat yang tepat untuk membongkarnya. Ada waktu seminggu lagi. Hingga persiapanku mengelola perusahaan benar-benar
Bab 24. Korban Sakit HatiPOV LizaAku Liza, lengkapnya Nurhaliza. Baru saja lulus kuliah D3 jurusan sekretaris. Awalnya aku hanya seorang SPG di sebuah Mall terbesar di kota ini. Kuputuskan berhenti dan membenamkan diri di bangku kuliah, sejedar untuk melupakan kekasihku. Kekasih yang telah berkhianat.Mas Ray, calon direktur di sebuah perusahaan besar. Kabar yang kudnegar, saat ini dia tengah disiapkan untuk menduduki jabatn direktur di perusahaan mertuanya itu. Awalnya dia hanyalah seorang security di tempatku bekerja. Kesulitan ekonomi yang melanda keluarga, membuat dia terpaksa berhenti kuliah.Kami saling mencintai, bahkan telah berjanji akan segera mengarungi hidup berumah tangga. Dia memintaku berhenti bekerja bila sudah menikah nanti. Alasannya karena dia cemburu melihatku setiap hari harus berdandan cantik dan beramah-ramah terhadap custumer. Aku menyetujuinya.&nbs
Bab 25. Dendam Itu Masih Membara*****“Semoga kamu segera menemukan pengganti Ray, ya! Tante duluan, daaaah!” ucapnya sambil berlalu.Rombongan itu telah pergi, meninggalkanku yang masih termangu. Tiada sekalipun Mas Ray menoleh lagi ke arahku, hingga hilang dibalik pintu.Tak hendak hati menahan, lidah ini terasa kelu. Tiada kemampuan untuk bersuara, apalagi berteriak memanggil kekasih durjanaku, yang ada hanya diam, bisu, dan pilu..Tak lama, entah apa yang mereka kejar, pernikahan segera dilangsungkan. Kutahu kabar itu dari teman mas Ray. Panas darah ini menggelegak. Bagaimana mungkin, Mas Rayku bisa setega ini? Meninggalkanku tanpa sepatah kata jua. Tak ada kata putus, atau sekedar ucapan pisah. Tiba-tiba menikahi gadis lain, anak tiri tante kandungnya.Pernikahan itu harus kugagalkan. Sakit hati ini, harus mer
Bab 26. Menyatukan Dua Insan Yang Masih Saling Cinta*****“Ya, Pak! Maaf mengganggu, saya mengantar tugas yang kemarin, dan softcopy-nya sudah saya emailkan ke email Bapak. Permisi, Pak!” ucapnya buru-buru dan langsung hendak berbalik lagi.“Hay, Embun! Kamu kuliah lagi?” sapaku menghentikan langkahnya.“Kamu?” tanyanya, menoleh ke arahku.“Ya, aku. Senang bertemu denganmu. Apa kabar?” ucapku mengulurkan tangan menyalaminya.“Aku baik,” sahutnya menerima uluran tanganku. Tangan kurus ini, jemari kasar ini, Embuuun, kenapa kau jadi begini? Jeritku, dalam hati.“Bagaimana kabar Mas Ray? Kau sudah terima foto-foto yang aku kirim waktu itu, bukan? Kenapa kau tidak membalasnya? Sanggup, ya, kamu hidup dengan suami tukang selingkuh?” sergahku ingin tahu reaksin
Bab 27. Mertuaku Punya Mobil BaruPOV EmbunPerkuliahan sudah usai, setelah membicarakan tentang tugas-tugas baru dengan Dea, kami berpisah, untuk kembali pulang ke rumah masing-masing. Dea menyanggupi mengerjakan semua tugas. Gadis itu sangat baik dan pengertian.“Nanti biayanya, aku tanggung semua, termasuk biaya tugas kamu,” ucapku setelah mengucapkan terima kasih.“Gak usah! Aku masih sanggup kalau hanya segini, kalau biayanya besar, baru aku akan lapor,” tolaknya.“Makasih, Dea,” ucapku sekali lagi.“Ok, sampai jumpa lusa, ya! Besok gak ada kelas, jangan lupa!”“Ok,” sahutku langsung berjalan menuju mobil.Kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Hari ini aku tak perlu ke kantor. Dian bilang tidak ada masalah apa-apa yang mendesak di
Bab 28. Mertuaku Mulai Mengacau******Bagaimana mungkin aku membelikan mereka mobil baru? Mas Ray! Ini pasti kerjaannya Mas Ray.“Makasih, ya, Embun, kamu memang menantu yang sangat baik. Udah lama kami pengen memiliki mobil. Baru sekarang terlaksana. Makanya kami sangat takut kalau rumah tangga kalian kenapa-napa. Jangan sampai ada orang yang merusaknya, contohnya pengasuh anakmu tadi malam.”“Iya, Ma. Dia sudah dipecat, kok. Rika berbeda, dia tidak akan berbuat seperti itu,” ucapku pelan.“Terserah, tapi kami akan tetap di sini, memantau semuanya!”“Baik, maaf, saya mau ke kamar dulu, silahkan Mama dan Papa juga istirahat!” ucapku seraya berdiri.Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Darah menggelegak. Mas Ray berhasil membuatku stress sekarang. Setelah mengantarkan Radit kepada Rika, a
Bab 29. Kutangkap Basah******Dasar keluarga keturunan para biadap.Tetapi, ternyata malah aku duluan sampai di kantor dari pada Mas Ray, ke mana dulu dia singgah, coba? Oh, aku ngerti sekarang. Benar laporan Liza, Mas Ray tiap hari ngantar jemput perempuan itu. Enak, ya dia? Lebih-lebih seorang ratu.Ok, sepertinya ini moment yang sangat tepat untuk mencari info tentang hubungan mereka. Ponsel, yap. Aku harus berterima kasih kepada penemu benda pintar ini. Karena saat ini, aku sangat membutuhkannya untuk mengumpulkan barang bukti.Kuraih benda itu di dalam tas tanganku, mengusap layar, menurunkan volume suara hingga nol, lalu menekan tombol perekam video. Ok, sekarang aku harus berjingkat ke luar dari toilet ini, bersembunyi di balik lemari cabinet, di belakang meja Mas Ray. Ya, posisi yang sangat tepat. Rekaman di mulai.“Lagian, ngapain sih, d
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili