Bab 12. Darry Telah Kembali
*****
“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”
“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.
“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”
“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”
“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”
Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 13. Mas Darry Tak MengenalkuPOV EmbunEntah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku.“Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku.“Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu.“Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya.“Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang.“Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat
Bab 14. Tatapan Sandra*****Aku tengah berdiri di depan gerbang kampus menunggu taksi online pesanan, ketika sebuah mobil menepi, berhenti tak jauh dariku. Semula kukira itu adalah Dea, yang sebelumnya menawarkan jasa untuk mengantarku tapi kutolak.Namun, dugaanku salah. Saat kaca mobil samping dia turunkan, terlihat lelaki sombong itu ada di dalam. Sedang apa dia di situ? Tak hendak hati menyapa, meski jarak kami hanya semeter saja. Dia bersikap sombong, aku harus lebih sombong tentu saja. Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion samping mobilnya. Kuhela napas lega, saat taksi pesananku telah tiba.Aku turun dari taksi, langsung menuju ruangan Papa. Sengaja memenuhi panggilannya siang tadi. Tidak biasanya dia menyuruhku datang ke kantor.Hampir semua karyawan kantor menundukkan kepala dengan sopan, saat melihatku. Syukurlah, mereka masih menghargaiku.
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku*****Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya.“Saya masih bicara dengan Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah.Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku. Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh.“Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi.“Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi.“Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang.“Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat.Kemar
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama*****Jam pulang kantor, aku dan Dian berpisah. Setelah dia membenahi pekerjaannya, kami berjalan bersama menuju lif. Kulirik ruangan Mas Ray, sepertinya dia belum pulang. Tas Sandar juga masih tergeletak di mejanya.“Kamu naik apa?” tanya Dian menekan tombol lift.“Taksi,” jawabku sekali lagi menatap ke arah ruangan suamiku.“Kenapa enggak bareng Pak Ray?” Dian menekan tombol lif lagi untuk menutup dan memilih lantai dasar.“Dia mungkin pulang malam, lembur. Aku enggak bisa nunggu,” jawabku asal. Jujur, semobil saja dengannya aku sudah tak niat.“Terus, kamu mau mengalah, ke mana-mana naik taksi? Calon direktur kok! Kamu harus nyetir sendiri, Embun. Apalagi kamu sibuk banget. Hari ini aku antar kamu pulang, yuk. Naik
Bab 17. Kurebut Mobil Mamaku*****Aku tak sabar lagi, gegas aku berjalan menuju kamar Papa. Menggenggam kasar handel pintu , lalu mendorongnya kuat. Sia-sia, ternyata pintu dikunci dari dalam. Kenapa Papa mengunci pintu kamarnya? Bukankah dia sendirian di dalam sana? Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya, siapa yang akan menolongnya, begitu pikirku.“Papa! Pa … buka pintunya! Papa baik-baik saja?” teriakku menggedor pintu berulang-ulang.“I-iya, Sayang. Sebentar!” Kutarik napas lega. Setidaknya Papa baik-baik saja. Aku bisa menanyakan tentang perempuan yang bernama Siska itu sekarang juga.Namun, kenyataan yang kulihat justru membuatku tak bisa berkata-kata. Saat pintu kamar terkuak, bukan Papa yang membuka. Perempuan dengan daster berantakan, rambut acak-acakan. Siska. Ya, kata Bik Iyan, perempuan ini bernama Siska. Ngapain di di kamar Papa? Malam-malam begin
Bab 18. Jangankan Masuk Surga, Mencium Baunya Saja, Haram Bagimu, Embun!****“Embun! Embuuuuun! Di mana kau, Embuuun!”Seisi rumah tersentak kaget. Suara menggelegar Mas Ray memekakkan gendang telinga. Raya berlari memeluk kakiku, sementara Radit mengoar di dalam box. Rika, sang babysitter langsung menenangkannya.“Jangan takut, Sayang! Sana sama Mbak Rani!” perintahku menyerahkan tangannya kepada Mbak pengasuhnya.Melangkah agak terburu, aku menyambut lelaki kesurupan itu ke arah pintu. Dia baru saja tiba di rumah, malam-malam begini, lho! Begitu sibukkah pekerjaan di kantor hingga harus lembur setiap hari?”“Embuuuun!” teriaknya sekali lagi sambil melemparkan tas kerjanya ke atas sofa di ruang tamu.“Aku di sini, Mas. Ini rumah, lho, bukan hutan? Penghuninya manusia, bukan binat
Bab 19. Bukti Pertama Untuk menjatuhkan Mas Ray*****Berbagai prasangkan berkecamuk di benak. Dugaanku tertuju pada Rika, babysitter yang sudah bertingkah menjengkelkan sejak awal masuk kerja. Pasti dia yang telah diam-diam mendekati Mas Ray. Karena hanya dia yang paling kepo tentang masalah rumah tanggaku. Apalagi sejak aku pisah ranjang dengan Mas Ray. Sepertinya dia sengaja memancing di air keruh.Jangan-jangan benar kata mama Siska, bahwa jaman sekarang ini banyak pembantu yang merayu majikan. Dia tahu mas Ray sedang kesepian, dia sengaja cari kesempatan. Tapi, masa iya, sih, mas Ray mau dengan Rika? Gadis itu tak ada menarik-menariknya. Mana mungkin mas Ray mau selingkuh dengannya.Kalau tidak, terus mereka ngapain? Apa yang sedang mereka bicarakan? Sepertinya serius banget.Segera aku bersembunyi di balik tiri jendela samping, ketika mas Ray berjalan meninggalkan si perempuan.
Bab 20. Rani Korban Obat Perangsang Suamiku*****Tanpa ragu, kutukar gelas yang disediakannya untukku dengan gelas miliknya. Untunglah dia berakting adegan nangis segala. Jadi, aku berkesempatan melancarkan aktingku juga.“Makanya saya memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ibu, maaf, ya, Bu.”Jangan-jangan anak ini memang pemain. Pasti dia mencuri perhatian Mas Ray pertama kali dengan cara seperti ini. Pura-pura bersedih untuk mencari simpati.“Terus, saya bisa bantu apa?” tanyaku merenggangkan pelukan.“Saya pinjam duit, Buk. Saya bayar tiap gajihan, potong aja separuh gaji saya. Boleh, ya, Bu?”“Ok, besok pagi saya transfer, ya.”“Benaran, Buk?”“He-em.”“Makasih, Buk, ayuk, kita minum dulu!”
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili