Bab 9. Kuusir Mama Tiriku
POV Embun
“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.
Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.
“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.
“Dian ada?” tanyaku lagi.
“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”
“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.
“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.
“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian menggantikan posisi Om di kantor pusat. Saya akan hubungi Bu Ning bagian administrasi. Segera, ya, Om, sebelum Mas Ray sampai di kantor!”
“Baik, Bu. Akan kami laksanakan segera. Tapi, Dian belum ada pengalaman tentang keuangan perusahaan kita, Bu?”
“Om bantulah dia! Tetap Om yang saya andalkan, tapi sementara Om pindah dulu!” titahku lagi.
“Ok, baik, Bu.”
“Terima kasih, Om.”
Mobil yayasan penyalur tenaga kerja khusus asisten rumah tangga dan babysitter memasuki halaman yang memang sengaja tak kututup lagi, setelah Mas Ray berangkat ke kantor tadi. Empat orang wanita turun dan melangkah menuju teras. Sebuah map dan tas berisi pakaian mereka tenteng, lalu masuk ke dalam rumah setelah kupersilahkan.
“Bik Anik bertugas mengurus dapur, cuci pakaian dan setrika, ya! Kalau Mas Ray suami saya pulang kantor, kebetulan saya tidak di rumah, Bibik tanya apakah dia mau mandi air hangat. Kalau iya, Bibik sediakan, Bibik paham?” tanyaku kepada Wanita yang paling dewasa. Usianya sebaya dengan Mama kandungku, yang telah tiada, empat tahun lalu.
“Baik, Bu,” jawabnya patuh.
“Bik Las, tugasya bersih-bersih rumah, ngepel, bersih-bersih taman, halaman, juga buka tutup gerbang. Sesekali, kalau Mas Ray minta cucikan mobilnya, Bibik bersedia, kan? Kadang dia malas nyuci mobil di doorsmeer,” kataku kepada wanita yang lebih muda. Tubuhnya tinggi tegap, sepertinya kuat berlari di halaman bila Mas Ray pulang kantor.
“Baik, Buk, saya bisa kok, nyuci mobil, motor, enggak masalah sama saya, mah udah biasa,” jawabnya tersenyum meyakinkan.
“Dan kalian berdua, khusus ngurus anak-anak, ya. Si Raya ini hiper aktif anaknya. Harus diawasi dua puluh empat jam. Gak ada diamnya. Sedang di Radit, masih Asi, tapi kalau misal saya sibuk banget, gak sempat nyusuin dia, kalian buat gantinya dengan susu formula, jam untuk makannya sudah saya tempelkan di dinding kamar anak-anak, kalian bisa, ya?” tanyaku menatap kedua baby sitter. Mereka serempak mengangguk.
Keduanya gadis muda, semoga saja Mas Ray tidak tergoda. Tapi, aku tidak ragu, toh ada Bik Adik dan Bik Las yang mengawasi mereka.
“Silahkan, kamar kalian di belakang, ya! Istirahat, dulu, sarapan juga sudah saya siapkan tadi. Selanjutnya urusan rumah ini saya serahkan pada kalian berempat, ya. Saya mau ke luar, ada urusan.”
“Baik, Bu.”
Kampusku yang dulu, itulah tujuan pertamaku. Semoga cuti kuliah yang kuajukan tiga tahun lalu masih berlaku, dan semoga kini bisa kusambung kembali. Aku harus mengambil alih perusahaan. Mas Ray yang kuharap telah mengkhianati kepercayaanku.
Tiga tahun aku sudah memberinya kesempatan, rencanaku akan meminta Papa mengangkatnya menjadi direktur bulan depan. Tidak masalah aku mengabdi sebagai ibu rumah tangga saja, mengurus rumah sambil membesarkan anak-anak.
Tetapi, dia telah berkhianat. Jika cintanya saja rela dia bagi buat perempuan serendah Sandra, konon lagi perusahaan yang jelas bukan miliknya. Mama telah bersusah payah mengembangkannya dari nol, hingga sebesar sekarang. Bahkan Papa saja tak bisa diharap menjaganya, apalagi Mas Ray, yang jelas-jelas bukan siapa-siapa. Kebetulan saja dia orang yang dijodohkan Papa padaku, karena bujukan istri mudanya, Tante Siska.
Awalnya aku setuju saja. Memberikan kepercayaan utuh pada nya. Tak kupersoalkan meski dia tak jujur dari awal masalah gajinya. Jatah bulanan bagianku untuk segala keperluan rumah, dan anak-anak, hanya mencukupi setengahnya saja. Selalu kututupi dengan uang pribadiku. Mungkin orang tuanya memang lebih membutuhkan, begitu pikirku. Tapi, setelah malam itu, tak ada lagi kepercayaan yang tersisa. Luruh sudah dengan pengkhinatannya.
Aku baru saja bersiap-siap hendak berangkat. Taksi online yang kupesan lewat aplikasi belum datang. Tiba-tiba Mama tiriku datang. Seperti biasa, senyum penuh kepalsuan tersungging di bibirnya.
“Cantik banget, mau ke mana, Sayang?” tanyanya begitu keluar dari mobil.
“Mau ke kampus, Ma,” jawabku memeluk setelah mencium tangannya seperti biasa.
“Ke kampus? Ngapain emak-emak ke kampus? Enggak malu? Liat dandananmu, liat rambutmu, pakaianmu, ih, ini mah cocoknya di dapur aja, masak! Entar di kira mahasiswa sana , kamu itu tukang catering, deh! Udah, ah! Jangan ngawur! Masuk, yuk, mama kangen sama cucu-cucu mama.” Ditariknya tanganku dengan paksa kembali masuk ke rumah.
Wanita ini mulai lagi, kan? Kalimat sindiran dari mulutnya membuat darahku mendidih. Tapi, aku harus sabar, kukulum senyum manis, seperti biasa. Sebuah rencana baru tiba-tiba timbul di benak. Pulang dari kampus, aku akan segera ke salon. Salon langgananku dulu, pasti masih mengingatku.
“Buatkan Mama jus, dong! Aus, nih. Pagi-pagi udah gerah aja, nih, cuacanya,” perintahnya langsung menghenyakan tubuh di sofa, di ruang tamu.
“Bik Anik!” teriakku memanggil pembantu baruku.
“Iya, Bu?” Bik Anik muncul tergopoh-gopoh.
“Buatkan jus buah buat Mama, ya? Ini Mamaku, kalau dia sering datang ke sini nanti, kalian harus sudah tahu kebiasaannya. Dia gak suka makanan pedas, ya,Bik,” tuturku.
“Baik, Bu.” Bik Anik berlalu. Mama melotot ke arahku.
“Kamu udah punya pembantu?”
“Udah, Ma. Empat, hehehe ….”
“Kamu ngawur!”
“Kenapa?”
“Enggak takut kalau Ray selingkuh? Sekarang lagi viral pembantu merayu majikan?”
“Mas Ray type suami setia, Ma. Saya percayaaaaa banget sama dia. Seratus persen! Dia sangat mencintai saya. Tiga tahun kami sudah berumah tangga, saya udah hapal watak ponakan Mama itu luar dalam. Jangan khawatir, Ma! Dijamin pokoknya.”
“Tapi, Embun, kamu enggak tahu dia seperti apa? Di kantor aja tadi, ya, mama pergokin dia lagi ciuman di sofa, di ruangannya.”
“Oh, ya? Mama salah liat kali? Mas Ray, enggak mungkin kek gitu.”
Panas hati dan telinga mendengarnya. Dia membuka aib ponakannya sendiri, Tante macam apa dia coba?
“Serius! Mama gak salah liat.”
“Iya kah, Ma? Siapa ceweknya?” tanyaku.
“Si Sandra. Si Sandra itu, ya, ternyata ganas banget, Mama liat dia yang nyerang Ray dengan penuh napsu.”
“Terus terus!” kataku menyemangati agar dia membongkar semuanya.
“Mama marah, dong. Eh, katanya cuman iseng.”
*****
Mohon dukungannya untuk memberi ulasan agar bintangnya nyala, ya. Mohon sumbangannya gemnya, juga. terima kasih.
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
***** Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini. “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung. “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar. “Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!” “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!” “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?” “Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 13. Mas Darry Tak MengenalkuPOV EmbunEntah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku.“Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku.“Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu.“Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya.“Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang.“Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat
Bab 14. Tatapan Sandra*****Aku tengah berdiri di depan gerbang kampus menunggu taksi online pesanan, ketika sebuah mobil menepi, berhenti tak jauh dariku. Semula kukira itu adalah Dea, yang sebelumnya menawarkan jasa untuk mengantarku tapi kutolak.Namun, dugaanku salah. Saat kaca mobil samping dia turunkan, terlihat lelaki sombong itu ada di dalam. Sedang apa dia di situ? Tak hendak hati menyapa, meski jarak kami hanya semeter saja. Dia bersikap sombong, aku harus lebih sombong tentu saja. Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion samping mobilnya. Kuhela napas lega, saat taksi pesananku telah tiba.Aku turun dari taksi, langsung menuju ruangan Papa. Sengaja memenuhi panggilannya siang tadi. Tidak biasanya dia menyuruhku datang ke kantor.Hampir semua karyawan kantor menundukkan kepala dengan sopan, saat melihatku. Syukurlah, mereka masih menghargaiku.
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku*****Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya.“Saya masih bicara dengan Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah.Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku. Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh.“Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi.“Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi.“Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang.“Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat.Kemar
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama*****Jam pulang kantor, aku dan Dian berpisah. Setelah dia membenahi pekerjaannya, kami berjalan bersama menuju lif. Kulirik ruangan Mas Ray, sepertinya dia belum pulang. Tas Sandar juga masih tergeletak di mejanya.“Kamu naik apa?” tanya Dian menekan tombol lift.“Taksi,” jawabku sekali lagi menatap ke arah ruangan suamiku.“Kenapa enggak bareng Pak Ray?” Dian menekan tombol lif lagi untuk menutup dan memilih lantai dasar.“Dia mungkin pulang malam, lembur. Aku enggak bisa nunggu,” jawabku asal. Jujur, semobil saja dengannya aku sudah tak niat.“Terus, kamu mau mengalah, ke mana-mana naik taksi? Calon direktur kok! Kamu harus nyetir sendiri, Embun. Apalagi kamu sibuk banget. Hari ini aku antar kamu pulang, yuk. Naik
Bab 17. Kurebut Mobil Mamaku*****Aku tak sabar lagi, gegas aku berjalan menuju kamar Papa. Menggenggam kasar handel pintu , lalu mendorongnya kuat. Sia-sia, ternyata pintu dikunci dari dalam. Kenapa Papa mengunci pintu kamarnya? Bukankah dia sendirian di dalam sana? Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya, siapa yang akan menolongnya, begitu pikirku.“Papa! Pa … buka pintunya! Papa baik-baik saja?” teriakku menggedor pintu berulang-ulang.“I-iya, Sayang. Sebentar!” Kutarik napas lega. Setidaknya Papa baik-baik saja. Aku bisa menanyakan tentang perempuan yang bernama Siska itu sekarang juga.Namun, kenyataan yang kulihat justru membuatku tak bisa berkata-kata. Saat pintu kamar terkuak, bukan Papa yang membuka. Perempuan dengan daster berantakan, rambut acak-acakan. Siska. Ya, kata Bik Iyan, perempuan ini bernama Siska. Ngapain di di kamar Papa? Malam-malam begin
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili