Bab 7. Kejutan Dari Embun
******
“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”
“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”
“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita lancarkan tujuan kita.”
“Ok, Tante, aku ngerti.”
“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”
Wanita itu berlalu. Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.
***
Pukul lima tepat, aku sudah berada di depan gerbang. Aku harus berubah mulai sekarang, tak akan membunyikan klakson mobil seperti biasanya. Agar Embun tak kelelahan berlari lari membukakan pintu gerbang seperti biasanya. Semoga dengan begini dia bersimpati dan tak susah untuk kuajak nanti malam.
Tetapi, tanpa kuklakson pun ternyata pintu gerbang ada yang membukakan. Siapa perempuan setengah baya ini?
Bergegas aku masuk ke dalam rumah. Tidak ada suara tangis Radit dan rengekan Raya seperti biasa. Yang ada justru tawa cekikan putri kecilku sedang bermain dengan seorang perempuan berseragam. Sementara Radit sedang disuapi bubur oleh seorang baby sitter yang satunya. Mereka mengangguk hormat saat melihat aku masuk.
Kupindai seluruh ruangan rumah besarku. Terlihat bersih, rapi dan wangi.
“Papa … ini ada Tak Yika cama Tak Yana, ayo calim, duyu!” Raya menarik lenganku. Terpaksa kusalam kedua babysitter itu.
“Bapak sudah pulang? Kalau mau mandi pakai air hangat, akan saya sediakan.” Seorang perempuan setengah baya menyapaku. Bukan yang membuka gerbang tadi.
Kenapa keempat perempuan ini masih berada di rumahku? Bukankah Tante Siska sudah berjanji, akan mengusir mereka hari ini juga? Apakah Tante gagal? Wah, gawat kalau begini. Jalan satu-satunya hanyalah rencana kedua. Membuat Embun segera hamil. Tak bisa ditunda lagi.
Aku melangkah menuju kamar. Namun, perempuan itu tak kutemukan. Ke mana dia.
“Raya!” teriakku memanggil.
Putri kecilku berlari memenuhi panggilan diiringi pengasuhnya.
“Mana Mama?” tanyaku begitu dia muncul di hadapan.
“Mama cayon,” jawab Raya dengan mulut membulat. “Mama cayoon,” ulangnya sekali lagi.
“Ibu pergi ke luar, Pak. Katanya mau ke salon,” pengasuhnya membantu menjawab.
“Salon?” teriakku kaget.
Embun, istriku yang lugu, yang enggak kenal make up, hari ini ke salon? Kenapa dia ke salon? Ada apa dengan dia sebenarnya? Huh, panas dingin rasanya tubuh ini sekarang.
“Sudah, main lagi sana!” ucapku mengusir mereka.
Kulemparkan tubuh ke atas Kasur. Sakit kepala ini memikirkannya. Bayangan kemiskinan menari di pelupuk mata. Bagaimana kalau aku gagal menguasai perusahaan? Bagimana kalau Embun mendepak aku? Gawat! Tetapi Embun tak mungkin melakukannya, bukan? Tak ada alasan dia mendepakku. Embun istri yang penurut, selalu tersenyum, dan tak pernah membantah. Iya, istriku belum berubah, tak akan pernah berubah.
***
“Udah pulang, Mas? Maaf, aku telat, antri tadi di salon.” Embun meraih tanganku, lalu menciumnya seperti biasa.
“Kamu dari mana? Salon?” sergahku menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ke mana daster lusuhnya, rambut yang biasa digelung itu kini terurai cantik menghiasi kepala dan wajah. Aroma wangi lembut menguar dari tubuh semampai. Cantik sempurna. Iggatanku melayang ke masa tiga tahun silam, saat pertama kali aku jatuh hati padanya. Ternyata istri cantikku ini telah kembali.
“Iya, Mas. Aku tadi ambil paket khusus. Perawatan tubuh, wajah dan kulit. Udah tiga tahun, enggak pernah lagi, kan? Sekarang tubuhku rasanya fres banget. Untung salon langgananku itu masih mengenaliku. Namaku juga belum dicoret dari daftar pelanggan.
“Kamu bayar salon pakai apa?” tanyaku mengingat jatah bulanan yang kuberikan padanya tak akan cukup membayar biaya salon.
“Tenang, aku enggak akan meminta pada Mas.” Perempuan itu membuka lemari pakaian, mengeluarkan sehelai baju tidur, lalu masuk ke kamar mandi.
Aku semakin takjub saat dia keluar telah bertukar pakaian. Baju tidur berwarna pink soft melekat di tubuh, sumpah membuat naluri liarku mengawang.
“Tadi Mama ke sini,” ucapnya sambil mematut diri di depan cermin rias.
“O, ya. Ngapain?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Masa dia memaksa aku memulangkan semua asisten itu, kutolaklah,” jawabnya melirikku dari pantulan cermin.
Aku bergeming, bingung harus berkomentar apa sekarang.
“Darimana, ya, Mama tahu aku ambil asisten?”
“Oh, eng … enggak ngerti juga.”
“Kirain, Mas yang lapor.”
Aku menelan saliva.
Pintu kamar di ketuk. Embun bangkit, seorang babysitter mengantarkan Radit.
“Sebenarnya setelah Ibu susui, dia bisa tidur di kamar kami. Jadi, tidur Ibu tidak terganggu,” kata perempuan itu.
“Tidak usah, sekarang saya mulai beraktivitas di luar rumah bila siang hari. Biarlah dia bersama saya di malam hari. Tolong urus Raya saja, ya!” jawab Embun ramah.
“Baik, Bu, permisi!” Embun kembali menutup pintu.
“Minum dulu, ya, Sayang! Setelah itu bobok,” ucapnya sambil membuka kancing baju tidurnya beberapa buah bagian atas. Menempelkan mulut mungil Radit di dada montok itu.
Dengan sabar aku menunggu giliran. Setelah Radit puas menyusu, rencana akan kujalankan.
Tak menunggu lama, Radit tertidur. Embun meletakkannya di dalam box. Lalu membaringkan tubuh indahnya di sampingku.
“Mas enggak keluar malam ini?” tanyanya menatapku sekilas, lalu meraih ponselnya di atas nakas.
“Untuk apa aku keluar?” tanyaku mulai memeluk pinggangnya.
“Kasihan Sandra nungguin,” lirihnya sembari memainkan benda pipih di tangannya.
“Sandra?” Aku terkejut, kutatap lekat bola matanya.
“Iya, Sandra. Kenapa terkejut?” balasnya menatapku.
“Aku enggak ngerti ucapanmu, Sayang. Tapi sudahlah! Tak usah dibahas, aku mau kamu memenuhi janjimu tadi malam,” tuturku mulai mengelus bibir ranum dan menantang itu.
“Janjiku tadi malam? Bukankah sudah dituntaskan oleh Sandra?” sergahnya menahan elusan jemariku.
Embun membuatku terperangah. Ucapannya seperti bom yang meledak dasyat. Bom yang sebenarnya telah lama ada, aku sendiri yang menciptakannya. Sungguh tak disangka, remot control justru berada di tangannya. Suka hatinya kapanpun meledakkannya. Wajah cantik itu terlihat masih semringah, senyum tak lekang di bibir yang kian menggoda.
“Apa maksud perkataanmu? Kenapa dari tadi kamu nyebut nama Sandra?” tanyaku pura-pura tersinggung. Padahal sesungguhnya ketakutan semakin mendera.
“Jangan emosi, dong, Mas! Aku nyebut nama Sandra, karena memang nama itulah yang ada di hatimu, iya, kan? Oh, iya, gimana tadi di kantor?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan Embun! Kita bahas sekarang, kenapa kau sering menyebut nama Sandra?”
“Kan udah aku jawab. Karena hanya nama itu yang selalu melintas di otakmu, Mas. Sampai-sampai saat bekerja pun kamu enggak bisa lepas dari dia. Gimana serangan Sandra di sofa merah ruangan Mas tadi pagi?”
Aku tercekat. Kupandangi wajah yang tetap tersenyum itu. Apa maksudnya dengan serangan Sandra di sofa merah tadi pagi? Apakah dia tahu kalau aku dan Sandra tadi pagi …?
******
Mohon dukungannya untuk memberi ulasan agar bintangnya nyala, ya. Mohon sumbangannya gemnya, juga. terima kasih.
Bab 8. Terjangan Embun Menolakku*****“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam bel
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
***** Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini. “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung. “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar. “Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!” “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!” “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?” “Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 13. Mas Darry Tak MengenalkuPOV EmbunEntah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku.“Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku.“Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu.“Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya.“Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang.“Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat
Bab 14. Tatapan Sandra*****Aku tengah berdiri di depan gerbang kampus menunggu taksi online pesanan, ketika sebuah mobil menepi, berhenti tak jauh dariku. Semula kukira itu adalah Dea, yang sebelumnya menawarkan jasa untuk mengantarku tapi kutolak.Namun, dugaanku salah. Saat kaca mobil samping dia turunkan, terlihat lelaki sombong itu ada di dalam. Sedang apa dia di situ? Tak hendak hati menyapa, meski jarak kami hanya semeter saja. Dia bersikap sombong, aku harus lebih sombong tentu saja. Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion samping mobilnya. Kuhela napas lega, saat taksi pesananku telah tiba.Aku turun dari taksi, langsung menuju ruangan Papa. Sengaja memenuhi panggilannya siang tadi. Tidak biasanya dia menyuruhku datang ke kantor.Hampir semua karyawan kantor menundukkan kepala dengan sopan, saat melihatku. Syukurlah, mereka masih menghargaiku.
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku*****Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya.“Saya masih bicara dengan Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah.Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku. Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh.“Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi.“Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi.“Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang.“Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat.Kemar
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili