Bab 2. Embun Istri Membosankan
*****
“Bapak juga ternyata hebat banget!” Dia balas memuji seraya menarik selimut tipis untuk menutup tubuh polosnya. Peluh membasahi kening dan lehernya. Sama sepertiku yang bermandikan peluh karena kelelahan setelah bertempur.
Aku tersenyum penuh kepuasan. Meski ada yang mengganjal di hati. Ternyata sekretarisku yang jelita ini tak seperti yang kubayangkan. Kukira dia perempuan lugu dan masih perawan, ternyata begitu jago di atas ranjang. Tak perlu kupikirkan dengan siapa dia pertama kali melakukan. Toh, akupun tak mencintainya. Apa peduliku. Dia meminta aku berikan, karena akupun membutuhkan, itu saja. Hubungan ini terjadi atas dasar suka sama suka.
“Kenapa Bu Embun selalu menolak, sih? Kalau Sandra jadi istri Bapak, gak akan sampai Bapak yang minta. Setiap hari Sandra yang nagih,” lanjutnya.
“Terima kasih, Sandra. Tidak pun jadi istriku, kamu mau, kan?” pancingku seraya menyenderkan tubuh di kepala ranjang. Kunyalakan sebatang rokok dan mulai menghisapnya pelan. Aku harus mengembalikan tenaga yang terkuras agar bisa pulang.
“Mau, dong! Bukannya dari dulu Sandra udah ngasi signal? Bapak aja yang tetap jual mahal! Aku ancam mau ngundurin diri, baru mau datang!” sahutnya manja.
Gadis ini bisa dimanfaatkan sepertinya. Selama Embun masih sibuk dengan dunianya, gak ada salahnya aku cari hiburan di luar saja.
“Bapak pulang?” Mata gadis itu membulat saat aku bangkit dan mengenakan pakaianku kembali satu persatu.
“Iya, masa nginap?” jawabku berseloro.
“Kirain? Katanya kesal sama Ibu? Kenapa enggak di sini aja sampai pagi, sih?” gerutunya dengan mata berkilat dan bibir mengerucut.
“Kesal, sih, kesal. Tapi kalau aku enggak pulang, apa yang akan terjadi, coba? Dia bakal nelpon papanya, lalu besok pagi bakal diceramahin lagi seharian di kantor seperti semalam. Suntuk enggak? Udah, ya, aku pulang!” Kuraih ponsel dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
“Kapan Bapak ke sini lagi?” tanyanya membuat langkahku terhenti.
“Enggak tentulah. Oh iya, jaga sikap, ya, kalau di kantor! Apalagi pas ada mertuaku. Rencananya beberapa bulan lagi, dia akan menyerahkan perusahaan itu utuh padaku. Dia mau pensiun. Jadi, menunggu itu, kita harus benar-benar jaga kepercayaannya. Kau paham?” tegasku membalikkan badan.
“Paham, Paaak,” ucapnya dengan nada kesal.
Sandra bangkit, melilitkan handuk di tubuh polosnya, kemudian memelukku lagi dari belakang.
“Tapi, Bapak mau janji, kan? Akan tetap menjadi pacar Sandra? Jangan nanti kalau udah jadi Bos Besar, lupa sama Sandra, cari sekretaris baru lagi, deh!”
“Tenang aja! Perempuan yang aku cintai di dunia ini tetap hanya satu, yaitu Embun. Kalau aku mau menjadikanmu pacar, itu hanya sekedar mencari kesenangan semata. Itu perjanjian kita dari awal, bukan? Jangan pernah meminta lebih! Selama kau masih bisa memuaskan aku, maka tak akan pernah ada niat mencari pacar baru. Kecuali kau sendiri yang telah bosan, kau boleh pergi. Aku tak akan menahanmu. Apalagi, jika kau mau menikah, tentu suamimu tak mau kami berbagi, iya, kan?”
“Sandra gak akan pernah bosan sama Bapak, apa lagi mau nikah. Kecuali calon suami Sandra itu, Bos Besar juga seperti Bapak.”
Aku terkekeh. Impian Sandra gila juga. Enggak sadar diri banget, nih, cewek. Tubuh diumbar, tapi bermimpi menjadi istri Bos. Mana ada Bos yang mau menikahi perempuan murahan.
“Kita, kan udah sah pacaran, nih. Boleh, dong, aku panggil Bapak dengan panggilan, ‘Mas’ atau ‘Yang’?” usulnya mengeratkan pelukan.
Hasrat liar kembali menyerang, saat merasakan daging kenyal di dadanya menempel lekat di punggungku. Tapi, aku harus pulang. Tak ingin membuat Embun curiga bila pulang pagi. Sandra memang luar biasa. Pintar benar menjerat mangsa. Entah berapa laki-laki yang pernah terjerat oleh perangkapnya. Semoga mulai sekarang, dia memberikan tubuhnya untukku seorang, sampai timbul rasa bosan. Agar areal sensitif di tubuhnya tetap terjamin tentu saja.
“Jangan terburu-buru! Nanti kamu enggak sadar manggil ‘Mas’ di kantor! Biasa ajalah!” Udah, ya! Aku pulang.” Kulepas remasan tangannya di lengan, lalu pergi tanpa beban.
***
Kubunyikan klakson mobil, masih sekali, tapi Embun sudah terlihat muncul sambil berlari. Huf! Aku lupa, harusnya tak usah menunggu dia membukakan gerbang. Bukankah ini tengah malam? Bukankah dia sudah tertidur saat aku menyelinap ke luar? Wah, ketahuan. Alasan apa, yang harus kuberi bila dia bertanya.
“Anak-anak masih tidur, Mas. Jadi aku bisa cepat membuka gerbang saat mendengar klakson mobil Mas,” ucapnya sambil membuka gerbang.
Kenapa wajahnya biasa saja? Tak ada rona amarah atau curiga. Padahal aku baru saja mencumbu perempuan lain. Wow, berarti perselingkuhan pertama ini, berjalan mulus, dong? Keren. Artinya, hubungan gelapku dengan Sandra bisa lanjut. Ok, selama Embun sibuk dengan anak-anak, aku bisa mencari pelampiasan dengan sekretarisku.
“Mas marah?” tanyanya saat aku berganti pakaian dengan piyama yang telah dia sediakan. Dipungutnya pakaian bekas kupakai ke rumah Sandra, membawanya ke kamar mandi.
“Marah kenapa?” tanyaku sembari membaringkan diri di kasur, di kamar besar kami. Sebuah notif masuk ke ponsel, pesan w******p dari Sandra. Perempuan ini jadi sedikit lebay, ngapain nanya-nanya aku udah sampai atau belum? Istriku marah atau tidak. Norak! Segera kunonaktifkan benda pipih itu, lalu meletakkannya di atas nakas.
“Tadi, Mas minta, kan? Tapi, aku malah ketiduran di meja makan. Maafin, ya, Mas?” Mata istriku mengembun, seperti namanya, gampang banget mengeluarkan air mata. Ngapain dia nangis, coba. Merasa bersalah banget? Padahal aku yang telah berkhianat.
“Mas! Aku siap-siap dulu, ya!” ucapnya lalu berlalu masuk ke kamar mandi. Mungkin dia membersihkan bagian tubuh tertentu lebih dahulu, seperti kebiasaannya, bila aku meminta. Tapi aku sudah capek. Tenagaku habis disedot permainan Sandra.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Ah, pura-pura ketiduran saja, itu lebih aman. Kubalikkan tubuh menghadap dinding menarik selimut menutup setengah badan, lalu mulai pura-pura tidur. Mudah-mudahan tidur beneran, asal jangan tidur selamanya.
“Mas,” tangannya menyentuh punggung dan mulai meraba dadaku.
Baru kini kusadari, ternyata telapak tangan istriku sudah sangat berubah. Entah hilang ke mana tangan lembut dulu. Kenapa sekarang begitu kasar, persis seperti parutan. Terasa kasar di kulit. Sangat berbeda dengan belaian tangan Sandra barusan.
“Jangan marah, dong, Mas! Tadi aku lelah banget, seharian Raya dan Radit bikin ulah. Radit sedang tumbuh gigi, badannya agak hangat, rewel gak henti-henti. Si Raya gak mau ngerti, minta ditemanin main, padahal adiknya rewel. Aku capek gendong Radit sambil masak. Saat dia tertidur sebentar, buru-buru nyuci, ngepel. Jadinya tadi ketiduran, deh. Maaf, ya, Mas.”
Sekarang aku bebar-benar ngantuk. Ocehannya seperti nyanyian yang meninabobokkan. Makin lama makin melenakan.
“Mas, sekarang aku udah siap, lho! Ayo, dong!” tangan kasarnya meraba tengkuk, leher, dan … aku tak tahu apa-apa lagi. Aku terlelap dengan belaian telapak tangan kasar itu.
*****
Bab 3. Foto Seorang pria di Bawah Bantal Embun*****Suara alarm membuatku terjaga. Cepat sekali waktu berjalan. Baru saja aku tertidur sudah pagi lagi. Aku harus bangun dan bersiap-siap ke kantor.Seketika kepala terasa sakit. Rutinitas ini sungguh menjemukan. Aku bosan setiap hari seperti ini. Aku lelah setiap hari berhadapan dengan papa mertua. Laki-laki paruh baya itu tiada henti menceramahiku. Ada saja pekerjaanku yang dia protes.Untung ada Sandra yang selalu tersenyum bila kutatap. Wajah cantik, body seksi, dan suara mendesah lembut itu kujadikan pelepas penat. Perempuan itu sangat berjasa sebagai pengusir jenuh, meski sedikitpun aku tak cinta. Ah, aku harus semangat. Hitung-hitung biar bisa bertemu Sandra.Tak perlu menunggu Embun membangunkan, dia pasti sudah sibuk berkutat di dapur. Kalau bukan mnegurus dapur, dia pasti me
Bab 4. Ancaman di Balik Senyuman Embun******“Begini, Sayang, kamu telpon yayasan itu lagi saja! Minta satu asisten saja, bantu-bantu kamu masak dan ngurus rumah, enggak usah sampai empat, ya! Untuk gajinya, kamu aturlah dari jatah bulanan yang aku kasih ke kamu, nanti aku subsidi lima ratus ribu sebulan, ok! Aku juga kasihan sama kamu, sampai-sampai mandi aja enggak sempat setiap hari,” usulku mencoba bernegosiasi.Lima ratus ribu subsidi dari aku, banyak kan? Aku sudah mau mengalah mengurangi jatahku. Enggak apa-apa. Mudah-mudahan dengan begitu istriku akan terlihat cantik setiap hari, pasti dia punya waktu untukku mulai sekarang. Aku untung, dia pun akan senang, kurang baik apa aku, coba?“Enggak bisa, Mas. Aku mau melepaskan semua urusan rumah ini semuanya mulai hari ini. Aku mau nyelesaikan kuliahku yang sempat terhenti karena menikah dulu.&
Bab 5. Siapa Sebenarnya Embun?******“Kenapa dengan Embun? Masa kamu ngeluh menghadapi istri penurut gitu? Kurang apa lagi dia menurutmu, Ray? Jangan nuntut yang macam-macam, deh! Waktunya bahkan kurang untuk mengurus anak-anak dan rumah, jangankan untuk berbuat macam-macam, mandi aja kadang dia enggak sempat.”“Itu kemarin, Tan. Mulai tadi pagi dia udah berubah.”“Berubah gimana?”“Pokoknya Tante datang ke kantor. Aku tunggu!”“Ya, udah! Nanti Tante singgah sebentar, sebelum pergi arisan.”Kututup telpon lalu menambah kecepatan mobil. Orang yang pertama sekali ingin kujumpai sekarang adalah Si Ramlan. Si Botak tua itu akan segera kupecat. Berani dia membongkar rahasia keuanganku pada Embun.Aku meminta security memarkirkan mobil begi
Bab 6. Embun Harus Hamil Lagi*****“Kok, kamu protes karena tanpa sepengetahuanmu manager diganti? Papa saja selaku direktur di perusahaan ini tidak tahu.”Kalimat Papa mertuaku sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin dia tak tahu ada pergantian manager di perusahaannya. Lantas, kalau dia sendiri tidak tahu, siapa yang tahu? Siapa yang mengganti manager keuangan itu? Yang paling membuatku bingung adalah sikap papa mertua terlihat tenang saja. Ada apa sebenarnya ini? “Papa tidak tahu? Maksud Papa?” selidikku.“Iya, Embun tidak ngomong apa-apa sama papa sebelumnya. Tiba-tiba dia pindahkan Pak Rahmad dan menunjuk Dian yang menggantikan,” jawabnya santai.“Embun? Maksud Papa, Embun yang melakukannya?” sergahku tak percaya.
Bab 7. Kejutan Dari Embun******“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita lancarkan tujuan kita.”“Ok, Tante, aku ngerti.”“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”Wanita itu berlalu. Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.***Pukul
Bab 8. Terjangan Embun Menolakku*****“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam bel
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili