Bab 1. Awal Aku Mendua
Berkali-kali klakson mobil kubunyikan. Perempuan itu tak muncul jua. Ke mana dia? Tak tahukah kalau aku sangat membutuhkannya saat ini?
Hal pertama yang ingin kulakukan adalah menatap mata indahnya, menikmati senyum manis di bibir ranumnya, lalu merasakan sentuhan lembut jemarinya. Setelah seharian berkutat dengan berbagai masalah di kantor, ingin kurenggangkan sejenak syaraf-syaraf di otak. Letih tak hanya di raga. Otakpun serasa terbakar. Masalah kantor yang menumpuk, bisa membuat aku gila.
Hanya satu penyemangat hidup, Embun. Wanita cantik luar biasa, yang pernah membuatku tergila-gila. Meski akhir-akhir ini, dia semakin membuatku murka. Semoga hari ini, dia tak seperti hari-hari yang lalu. Istriku tercinta, kuyakin bisa memahami apa yang kuminta.
Menekan tombol klakson mobil sekali lagi. Menghitung sampai tiga. Embun berlari dengan tergesa-gesa menuju pintu gerbang. Langkah yang terburu membuat gelungan rambutnya lepas. Rambut panjang itu seketika terurai, berkibar menutupi sebagian wajah.
Kenapa dia tidak berubah juga? Masih dengan daster lusuh, rambut digelung, wajah berminyak, dan huh! Aroma bau keringat dan asap dapur menguar dari tubuhnya. Pasti dia belum mandi juga.
“Maaf, Mas, si Radit rewel, gak bisa ditinggal. Raya sibuk minta diambilin boneka lama yang di atas lemari, tanganku gak sampai meraihnya. Raya nangis terus. Suaranya kenceng banget, gak dengar suara klakson mobil Mas, maaf, ya, Mas!”
Kembali kalimat membosankan itu yang harus kudengar. Raya yang lasak dan Radit yang rewel. Kapan dia berubah! Di kantor stress, di rumah lebih stress. Harapan menikmati senyum manis dan sentuhan lembut, malah ini yang kudapat. Bisa gila betulan kalau begini terus.
Aku melajukan mobil perlahan memasuki halaman, begitu dia membuka pintu gerbang. Kubiarkan dia berlari kecil, menuju rumah setelah kembali mengunci gerbang.
“Papa …!” Raya berlari memburu, begitu aku keluar dari mobil.
“Jangan lari-lari, Sayang! Awas jat –“ Kalimatku belum selesai, tapi yang kukhawatirkan sudah terjadi. Raya tersandung oleh bonekanya sendiri.
“Owww …! Atit! Papa …!”
“Ya, Allah, anak Mama! Sini, Sayang! Cep-cep, mananya yang sakit?” Embun berlari mendapatkan. Memeluk dan membujuk. Raya menyita seluruh perhatiannya lagi.
Aku menunggu, berdiri mematung di ambang pintu. Berharap dia menyalam dan mencium tanganku, lalu mengambil tas kerjaku. Sudah seharian dia di rumah, menghabiskan waktu utuh untuk anak-anak. Kapan waktu buatku? Dia tidak peduli sama sekali akan kehadiranku.
“Ini yang atit, Cayang? Ayo Mama oles minyak, ya? Gak apa-apa, bentar lagi juga sembuh,” bujuknya pada Raya.
Huh, sia-sia aku menunggu. Aku terpaksa mengurus diri sendiri. Melangkah gontai menuju ruang kerja, meletakan tas di sana, masuk kamar lalu membersihkan tubuh di kamar mandi.
Untung dia masih ingat menyediakan pakaian ganti untukku. Pakaian itu sangat bersih, rapi dan wangi. Lalu, kenapa pakaian untuk dirinya sendiri amburadul seperti itu? Penampilannya persis seperti bik Iyah, asisten rumah tangga Mama. Atau mungkin lebih wangi bik Iyah. Embun bau, sumpah. Mungkin dia belum mandi dari pagi. Ok, akan kutunggu sampai dia mandi nanti malam, mudah-mudahan masih menggiurkan seperti saat awal pernikahan.
**
“Anak-anak udah aman, Mas Mereka sudah tidur. Sekarang Mas makan, ya? Yuk, kita ke meja makan!” Embun menghampiriku.
Aku menoleh ke arahnya. Aroma asem menguar. “Kamu mandi dulu, deh!” ucapku dingin.
“Mas belum laper? Baik, aku mandi dulu, udah gerah banget dari tadi. Kirain, Mas udah laper,” sahutnya semringah.
Kuraih ponsel, memeriksa kembali laporan penjualan yang dipermasalahkan Papa mertuaku tadi. Kenapa orang tua itu makin lama makin cerewet. Kesalahan satu angka saja, bisa membuatnya ceramah seharian.
“Ray, perusahaan ini akan Papa serahkan padamu, tolonglah belajar sungguh-sungguh! Teliti dalam segala hal! Papa enggak bisa tenang kalau kamu ceroboh seperti ini terus!” omelnya tadi siang.
Hanya karena Sandra salah ketik satu angka. Satu angka, lho! Padahal ada ribuan bahkan jutaan angka yang harus diketik Sandra setiap hari. Masa, hanya karena silap satu angka, membuatnya seperti kebakaran jenggot.
Kasihan Sandra dibentak-bentak seperti tadi. Sakit hati, tentu saja. Gadis itu bahkan nekat mau mengundurkan diri. Minta maaf lewat pesan w******p mungkin akan menghiburnya. Begitu pikirku.
[Maafkan Papa mertuaku! Enggak jadi ngundurin diri, kan?] Kukirim pesan untuknya.
[Jadi, males banget kerja di situ lagi. Emangnya gak ada kerjaan lain apa?] balasnya tanpa menunggu lama.
[Jangan, dong! Aku bisa stres sendiri kalau kamu enggak ada. Jangan keluar, ya!] bujukku.
[Bapak juga sama! Gak pernah ngertiin aku.]
[lho, gimana mau ngerti, kamu minta kita ketemu di luar, sedang aku sudah punya anak istri, apa alasanku keluar, coba? Urusan kantor? Pemilik perusahaan itu Papa istriku, bisa gawat, kalau ketahuan bohong, iya, kan?]
“Mas! Yuk, kita makan!” Panggilan Embun mengagetkanku.
Segera kututup ponsel, meletakan di atas nakas, lalu menoleh ke arahnya. Embun terlihat cantik setelah mandi dan berganti daster. Aroma sabun dan sampho menyerang cuping hidung, melambungkan angan dan hasrat liarku.
“Makan dulu, ya? Setelah itu boleh?“ bisikku di telinganya sembari memeluk tubuh yang tetap indah itu. Padahal sudah dua kali bongkar mesin.
Mata cantiknya mengerjap, bibir ranum mengulum senyum. “Iya, Mas,” jawabnya, membuatku serasa terbang ke awang. Seketika dongkolku hilang.
Aku memeluk bahunya menuju meja makan. Embun membalas dengan memeluk pinggangku. Masakannya yang selalu kurindu, kini terhidang. Embun sanggup mengerjakan semuanya, tanpa asisten rumah tangga. Sengaja aku dan ibu tirinya melakukan itu. Agar Embun tidak memiliki waktu untuk ikut campur di perusahaan milik papanya.
“Mas, kata Mama, minggu depan asisten rumah tangga itu datang, udah tua, sih, tapi kalau sekedar masak dan bersih-bersih rumah , dia masih sanggup.” Embun menyendokkan nasi ke piringku.
“Syukurlah, mudah-mudahan cocok,” sahutku asal, sekedar membuatnya senang. Aku yakin itu hanya bualan ibu tirinya, agar Embun berhenti mengeluh.
Masih suapan ke sekian, nasi di piringnya belum habis separuh, tiba-tiba Embun meletakkan kepala di atas meja. Segera kuhabiskan makananku.
“Sayang! Mas udah, nih, makannya!” kupanggil lembut. Tak ada sahutan, justru dengkuran halus yang terdengar.
Astaga! Dia tidur! Lupa atau sengaja menghindar. Apa maksudnya? Bukankah tadi aku sudah meminta baik-baik? Aku minta jatah setelah makan malam? Sial!
Kubiarkan dia dengan sandiwaranya. Ini ke seratus kali dia menolak keinginanku. Cukup sudah! Aku tak tahan lagi. Sandra, aku datang.
***
“Terima kasih, Sandra!” ucapku melepaskan bagian tubuhku dari tubuhnya. Aku menjatuhkan diri di sampingnya. Semua pikiran ruwet lenyap untuk sesaat. Pelayanan yang gadis ini suguhkan benar-benar bisa mengahalau stres dan memuaskan dahaga. “Kamu hebat, Sayang!” pujiku sekali lagi menyambar bibirnya, lalu tergeletak kehabisan tenaga.
“Bapak juga ternyata hebat banget!” Dia balas memuji seraya menarik selimut tipis untuk menutup tubuh polosnya. Peluh membasahi kening dan lehernya. Sama sepertiku yang bermandikan peluh karena kelelahan setelah bertempur.
***
Bab 2. Embun Istri Membosankan*****“Bapak juga ternyata hebat banget!” Dia balas memuji seraya menarik selimut tipis untuk menutup tubuh polosnya. Peluh membasahi kening dan lehernya. Sama sepertiku yang bermandikan peluh karena kelelahan setelah bertempur.Aku tersenyum penuh kepuasan. Meski ada yang mengganjal di hati. Ternyata sekretarisku yang jelita ini tak seperti yang kubayangkan. Kukira dia perempuan lugu dan masih perawan, ternyata begitu jago di atas ranjang. Tak perlu kupikirkan dengan siapa dia pertama kali melakukan. Toh, akupun tak mencintainya. Apa peduliku. Dia meminta aku berikan, karena akupun membutuhkan, itu saja. Hubungan ini terjadi atas dasar suka sama suka.“Kenapa Bu Embun selalu menolak, sih? Kalau Sandra jadi istri Bapak, gak akan sampai Bapak yang minta. Setiap hari Sandra yang nagih,”
Bab 3. Foto Seorang pria di Bawah Bantal Embun*****Suara alarm membuatku terjaga. Cepat sekali waktu berjalan. Baru saja aku tertidur sudah pagi lagi. Aku harus bangun dan bersiap-siap ke kantor.Seketika kepala terasa sakit. Rutinitas ini sungguh menjemukan. Aku bosan setiap hari seperti ini. Aku lelah setiap hari berhadapan dengan papa mertua. Laki-laki paruh baya itu tiada henti menceramahiku. Ada saja pekerjaanku yang dia protes.Untung ada Sandra yang selalu tersenyum bila kutatap. Wajah cantik, body seksi, dan suara mendesah lembut itu kujadikan pelepas penat. Perempuan itu sangat berjasa sebagai pengusir jenuh, meski sedikitpun aku tak cinta. Ah, aku harus semangat. Hitung-hitung biar bisa bertemu Sandra.Tak perlu menunggu Embun membangunkan, dia pasti sudah sibuk berkutat di dapur. Kalau bukan mnegurus dapur, dia pasti me
Bab 4. Ancaman di Balik Senyuman Embun******“Begini, Sayang, kamu telpon yayasan itu lagi saja! Minta satu asisten saja, bantu-bantu kamu masak dan ngurus rumah, enggak usah sampai empat, ya! Untuk gajinya, kamu aturlah dari jatah bulanan yang aku kasih ke kamu, nanti aku subsidi lima ratus ribu sebulan, ok! Aku juga kasihan sama kamu, sampai-sampai mandi aja enggak sempat setiap hari,” usulku mencoba bernegosiasi.Lima ratus ribu subsidi dari aku, banyak kan? Aku sudah mau mengalah mengurangi jatahku. Enggak apa-apa. Mudah-mudahan dengan begitu istriku akan terlihat cantik setiap hari, pasti dia punya waktu untukku mulai sekarang. Aku untung, dia pun akan senang, kurang baik apa aku, coba?“Enggak bisa, Mas. Aku mau melepaskan semua urusan rumah ini semuanya mulai hari ini. Aku mau nyelesaikan kuliahku yang sempat terhenti karena menikah dulu.&
Bab 5. Siapa Sebenarnya Embun?******“Kenapa dengan Embun? Masa kamu ngeluh menghadapi istri penurut gitu? Kurang apa lagi dia menurutmu, Ray? Jangan nuntut yang macam-macam, deh! Waktunya bahkan kurang untuk mengurus anak-anak dan rumah, jangankan untuk berbuat macam-macam, mandi aja kadang dia enggak sempat.”“Itu kemarin, Tan. Mulai tadi pagi dia udah berubah.”“Berubah gimana?”“Pokoknya Tante datang ke kantor. Aku tunggu!”“Ya, udah! Nanti Tante singgah sebentar, sebelum pergi arisan.”Kututup telpon lalu menambah kecepatan mobil. Orang yang pertama sekali ingin kujumpai sekarang adalah Si Ramlan. Si Botak tua itu akan segera kupecat. Berani dia membongkar rahasia keuanganku pada Embun.Aku meminta security memarkirkan mobil begi
Bab 6. Embun Harus Hamil Lagi*****“Kok, kamu protes karena tanpa sepengetahuanmu manager diganti? Papa saja selaku direktur di perusahaan ini tidak tahu.”Kalimat Papa mertuaku sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin dia tak tahu ada pergantian manager di perusahaannya. Lantas, kalau dia sendiri tidak tahu, siapa yang tahu? Siapa yang mengganti manager keuangan itu? Yang paling membuatku bingung adalah sikap papa mertua terlihat tenang saja. Ada apa sebenarnya ini? “Papa tidak tahu? Maksud Papa?” selidikku.“Iya, Embun tidak ngomong apa-apa sama papa sebelumnya. Tiba-tiba dia pindahkan Pak Rahmad dan menunjuk Dian yang menggantikan,” jawabnya santai.“Embun? Maksud Papa, Embun yang melakukannya?” sergahku tak percaya.
Bab 7. Kejutan Dari Embun******“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita lancarkan tujuan kita.”“Ok, Tante, aku ngerti.”“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”Wanita itu berlalu. Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.***Pukul
Bab 8. Terjangan Embun Menolakku*****“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam bel
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili