“Huek!” Kalila merasakan mual itu lagi saat memaksakan diri untuk menelan nasi yang dia makan. “Sepertinya Mas Gio benar, aku sedang tidak enak badan.” Cepat-cepat Kalila meraih cangkir berisi teh hangat dan meminumnya. Setelah minum, rasa mual itu malah semakin menjadi-jadi. Hari itu Kalila tetap datang ke outlet Zideka dan mampir ke toko baju miliknya ketika sore tiba. Kenapa rasanya capek sekali? Kalila menyandarkan punggungnya saat perjalanan pulang menggunakan taksi. Dia teringat dengan merek suplemen yang Zia sarankan beberapa waktu yang dan tertarik untuk membelinya di apotek. Di saat yang bersamaan, mata-mata suruhan Gio mengambil potret saat Kalila memasuki pelataran apotek besar yang didatanginya. “Oke, teruskan pengintaian kamu. Biar saya sendiri yang akan memeriksa obat itu,” perintah Gio. “Baik, Pak!” Di kantor, pikiran Gio menjadi bercabang setelah mendengar informasi yang disampaikan mata-mata suruhannya. Dia tidak tahu persis obat apa yang akan dibeli i
Untuk sementara, Gio merasa kalah telak. Tanpa menunggu waktu lama, dia meluncur pergi mendatangi kediaman kakek dan neneknya. Gio harus melakukan sesuatu sebelum dia dan Lila resmi berpisah. “Apa katamu, balik nama segera?” Mutia menatap cucu laki-lakinya dengan heran. “Kenapa terkesan buru-buru sekali, Gio?” “Aku tidak buru-buru, Nek. Bukankah rencana Kakek sudah berjalan sejak beberapa bulan lalu, hanya saja Kakek terlalu sibuk untuk mengurus balik nama secara resmi.” Mutia berpikir sebentar. “Kenapa tidak percayakan saja semuanya kepada kakekmu?” “Maaf, Nek. Aku hanya ingin meringankan pekerjaan Kakek kalau memang dia sedang sibuk, aku juga ingin segera membuka lapangan pekerjaan untuk orang banyak.” Mutia masih diam, Gio sangat berharap jika harapannya untuk mengurus sendiri urusan balik nama itu dikabulkan. “Tunggulah kakekmu, mungkin sebentar lagi sampai rumah.” Gio menarik napas lega. “Ngomong-ngomong kenapa kamu datang sendirian, mana Lila?” “Dia agak ku
“Anda yakin tetap ingin bercerai, Bu? Kenapa tidak dipertimbangkan lagi?” “Saya tetap pada keputusan saya, Pak. Dia memang bertanggung jawab soal nafkah dan lain-lain, tapi kami tidak saling mencintai.” Dalam hati, Gio tertawa menang. Dia yakin jika alasan Kalila akan dinilai sangat lemah oleh hakim yang mempelajari kasus mereka. “Dan lagi, suami saya sudah berselingkuh, Pak.” Ekspresi wajah Gio langsung berubah ketika mendengar ucapan Kalila. “Ini bukti-bukti yang saya kumpulkan sebagai bahan pertimbangan.” Kalila meletakkan bukti cetak foto yang dia dapatkan. “Saya tahu kalau Pak Gio belum bercerai dari istri sebelumnya, saya diduakan!” Gio menoleh ke arah Kalila, bingung dari mana istrinya itu tahu jika dirinya dan Nia belum benar-benar bercerai. “Jadi Anda melakukan poligami, Pak?” Salah satu penengah menatap Gio, yang mau tak mau terpaksa mengakuinya. “Secara agama, bukankah seorang suami tidak memerlukan izin istri kalau ingin menikah lagi?” Gio mencoba mencari c
“Keras kepala!” Tanpa izin, Gio langsung membopong tubuh Kalila dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Tuan, itu Nyonya kenapa?” “Nyonya sakit?” Bik Jani dan Bik Nuri heboh sendiri ketika mereka menyaksikan Gio muncul bersama Kalila dalam gendongannya. “Nyonya hamil, Bik.” Gio memberi tahu. “Ya Allah, selamat untuk Tuan dan Nyonya!” “Saya ikut senang, Nyonya!” Kalila tidak menanggapi ucapan kedua asisten rumah tangga itu, pikirannya pusing, fisik dan mentalnya terlalu lelah karena aktivitas padat akhir-akhir ini. “Kamu tidak usah kerja dulu,” pesan Gio setelah dia membaringkan Kalila di tempat tidur mereka. “Aku tetap mau bercerai.” “Kamu sedang hamil, bisa tidak jangan egois?” Kalila tersenyum sinis di balik wajahnya yang pucat. “Selama ini kamu ngapain, Mas? Saat dengan sadar mengabaikan segenap perhatianku, lalu pergi bermalam di rumah Nia, itu tidak egois?” “Aku ingin memperbaiki semuanya, kenapa kamu tidak bisa menghargai niat baik aku?” “M
“Tolong ya, aku sudah sangat capek bolak-balik kantor pengadilan! Ceraikan aku dan kita jalani hidup kita masing-masing!” Kalila mulai terengah-engah tak terkendali. Suasana sidang semakin riuh. Baru kali ini Gio menerima serangan dan tekanan bertubi-tubi dari Kalila. Istri yang dulunya dia pandang rendah, lemah, dan tidak berharga. Kini Kalila seolah tampil dalam wujud yang baru, wanita hamil yang tengah gigih memperjuangkan kebebasan dari tangan suami yang dulu begitu dihormatinya. “Lila, jaga kehormatan suamimu!” Soraya berseru dari tempat duduk pengunjung. “Istri yang baik tidak akan membuka persoalan rumah tangganya!” Wajah Kalila mendadak berubah pias. Bukan karena rasa takut, melainkan amarah yang sudah dia tahan-tahan selama ini. “Harap tenang!” “Ibu tahu apa? Selama ini pernah Ibu paham apa yang aku rasakan selama jadi menantu dan istri? Tidak, kan?” “Saudara Lila, harap kendalikan diri Anda!” Kalila melempar pandangan sengit ke arah Soraya sekilas,
Gio menatap kedua asisten rumah tangganya bergantian. “Salah satu dari kalian pergilah ke rumah yang ditempati Lila, saya ingin kalian menjaga kehamilannya.” “Apa boleh, Tuan?” “Tentu saja, bilang Lila kalau saya yang suruh. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung anak saya.” Bik Jani dan Bik Nuri saling pandang. “Aku rasa Tuan mulai menyesali perceraiannya,” bisik Bik Nuri setelah Gio berlalu pergi ke kamarnya. “Entahlah, tapi aku merasa justru Nyonya terlihat bahagia setelah berpisah.” Bik Jani menyahut. “Terkadang cinta memang serumit itu, ini jadinya siapa yang pergi ke rumah Nyonya Lila?” “Biar aku saja ya, Bik? Tenaga Bibik kan sudah sangat terbatas, jadi lebih baik biar aku yang menemani Nyonya Lila yang sedang hamil.” Mau tak mau Bik Jani mengangguk. “Titip Nyonya Lila ya, Nur? Kasihan dia, apalagi kalau aku ingat apa saja yang dialami selama jadi istri Tuan ....” “Serahkan padaku, Bik. Aku pasti akan menjaga Nyonya Lila dan calon bayinya,” janji
Kalila menghela napas. “Kamu memang tidak pernah berubah, Mas. Kalau Nia tahu, dia pasti akan menuduhku ganggu suami orang.” Gio tidak menjawab dan tetap fokus mengemudi. “Kamu langsung pulang saja, Mas.” Kalila turun ketika mobil Gio menepi di depan rumahnya. “Kamu mengusirku? Setidaknya suruh aku masuk, beristirahat sebentar, baru setelah itu aku pulang.” Kalila memutar matanya dengan malas. “Aku hanya tidak mau kamu sama Nia jadi bertengkar hebat kalau dia tahu kamu mengantarku periksa.” “Tidak usah repot-repot memikirkan kami,” tukas Gio sambil menutup pintu mobilnya. “Terserah kamu, yang jelas aku tidak mau tanggung jawab kalau kalian bertengkar ....” “Kamu berharap kalau aku dan Nia bertengkar?” Kalila hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. “Bik Nuri, bikinkan saya mi instan telur iris cabai!” Kalila pergi ke dapur untuk melepas penat, disusul Gio yang berjalan di belakangnya. “Sudah selesai periksa, Nyonya? Bagaimana kandungannya, sehat?” “Alkh
“Pasti, Nek. Mas Gio juga sangat bertanggung jawab terhadap calon anaknya!” Mutia mengangguk dan meminta mereka berdua untuk minum teh bersama. “Di mana kakek?” tanya Arka ingin tahu. “Kamu seperti tidak paham kakekmu saja, dia masih sibuk dengan urusannya di luar.” “Kakek tetap aktif ya di usianya yang sekarang,” komentar Arka lagi. “Begitulah ....” Setelah mengobrol sambil minum teh, Kalila dan Arka berpamitan untuk pulang. “Lila, jaga cicit nenek.” “Baik, Nek. Aku akan menjaganya dengan baik,” angguk Kalila saat menerima perhatian Mutia. “Meskipun kamu bukan lagi istri Gio, tapi anak ini tetap penerus keluarga kami.” “Aku mengerti, Nek.” Arka tersenyum kepada Mutia. “Aku antar Lila pulang sebentar ya, Nek?” “Tunggu, Arka. Nenek ingin bicara sama kamu, tidak lama.” Mutia mengisyaratkan Kalila untuk jalan lebih dulu sementara Arka bertahan bersamanya. “Ada apa, Nek?” Mutia menatap Arka lurus-lurus. “Apakah dugaan nenek ini keliru?” “Maksudnya apa, Nek?”