Yang suka komedi romantis bisa baca Mantanku, Kakak Iparku
Gio menatap kedua asisten rumah tangganya bergantian. “Salah satu dari kalian pergilah ke rumah yang ditempati Lila, saya ingin kalian menjaga kehamilannya.” “Apa boleh, Tuan?” “Tentu saja, bilang Lila kalau saya yang suruh. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung anak saya.” Bik Jani dan Bik Nuri saling pandang. “Aku rasa Tuan mulai menyesali perceraiannya,” bisik Bik Nuri setelah Gio berlalu pergi ke kamarnya. “Entahlah, tapi aku merasa justru Nyonya terlihat bahagia setelah berpisah.” Bik Jani menyahut. “Terkadang cinta memang serumit itu, ini jadinya siapa yang pergi ke rumah Nyonya Lila?” “Biar aku saja ya, Bik? Tenaga Bibik kan sudah sangat terbatas, jadi lebih baik biar aku yang menemani Nyonya Lila yang sedang hamil.” Mau tak mau Bik Jani mengangguk. “Titip Nyonya Lila ya, Nur? Kasihan dia, apalagi kalau aku ingat apa saja yang dialami selama jadi istri Tuan ....” “Serahkan padaku, Bik. Aku pasti akan menjaga Nyonya Lila dan calon bayinya,” janji
Kalila menghela napas. “Kamu memang tidak pernah berubah, Mas. Kalau Nia tahu, dia pasti akan menuduhku ganggu suami orang.” Gio tidak menjawab dan tetap fokus mengemudi. “Kamu langsung pulang saja, Mas.” Kalila turun ketika mobil Gio menepi di depan rumahnya. “Kamu mengusirku? Setidaknya suruh aku masuk, beristirahat sebentar, baru setelah itu aku pulang.” Kalila memutar matanya dengan malas. “Aku hanya tidak mau kamu sama Nia jadi bertengkar hebat kalau dia tahu kamu mengantarku periksa.” “Tidak usah repot-repot memikirkan kami,” tukas Gio sambil menutup pintu mobilnya. “Terserah kamu, yang jelas aku tidak mau tanggung jawab kalau kalian bertengkar ....” “Kamu berharap kalau aku dan Nia bertengkar?” Kalila hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. “Bik Nuri, bikinkan saya mi instan telur iris cabai!” Kalila pergi ke dapur untuk melepas penat, disusul Gio yang berjalan di belakangnya. “Sudah selesai periksa, Nyonya? Bagaimana kandungannya, sehat?” “Alkh
“Pasti, Nek. Mas Gio juga sangat bertanggung jawab terhadap calon anaknya!” Mutia mengangguk dan meminta mereka berdua untuk minum teh bersama. “Di mana kakek?” tanya Arka ingin tahu. “Kamu seperti tidak paham kakekmu saja, dia masih sibuk dengan urusannya di luar.” “Kakek tetap aktif ya di usianya yang sekarang,” komentar Arka lagi. “Begitulah ....” Setelah mengobrol sambil minum teh, Kalila dan Arka berpamitan untuk pulang. “Lila, jaga cicit nenek.” “Baik, Nek. Aku akan menjaganya dengan baik,” angguk Kalila saat menerima perhatian Mutia. “Meskipun kamu bukan lagi istri Gio, tapi anak ini tetap penerus keluarga kami.” “Aku mengerti, Nek.” Arka tersenyum kepada Mutia. “Aku antar Lila pulang sebentar ya, Nek?” “Tunggu, Arka. Nenek ingin bicara sama kamu, tidak lama.” Mutia mengisyaratkan Kalila untuk jalan lebih dulu sementara Arka bertahan bersamanya. “Ada apa, Nek?” Mutia menatap Arka lurus-lurus. “Apakah dugaan nenek ini keliru?” “Maksudnya apa, Nek?”
Bik Jani sudah menduga jika suasana di rumah tidak akan setentram dulu. "Mas, apa kamu kecewa?" tanya Nia di malam itu. "Kecewa kenapa?" "Karena aku melahirkan anak perempuan," jawab Nia dengan wajah lesu. "Aku tidak pernah pilih-pilih, memang sudah takdirnya kalau anak kita perempuan. Jangan dijadikan beban," tegur Gio. "Tapi ... aku merasa sikap kamu tidak selayaknya seperti suami yang bahagia karena jadi seorang ayah." "Terus kamu mau aku bagaimana, teriak-teriak?" "Ya bukan begitu, tapi aku merasa kalau ... entahlah, Mas ...." Gio menarik napas. "Mungkin kamu lelah karena jadi ibu baru dan belum ada pengalaman. Lebih baik kamu fokus saja mengurus Sherin, tidak perlu berpikir macam-macam." "Aku mau kamu terus di sampingku." "Menurut kamu apa yang selama ini aku lakukan?" tanya Gio, lama-lama dia jengah juga menghadapi sikap manja Nia. "Aku bahkan rela menentang keluarga demi tetap mempertahankan kamu." Nia mengangguk lemah. "Maksudnya ... aku mau kamu mendampin
“Jadi jenis kelamin anak saya apa, Dok?” “Dari pantauan USG, diprediksi laki-laki. Bulan depan dan seterusnya bisa dipastikan kembali.” Kalila terpaku, baginya memang tidak masalah mau anak laki-laki ataupun perempuan. Yang terpenting adalah janinnya tumbuh dan berkembang sesuai usia. “Bagaimana, Lil?” Arka berdiri untuk menyambut Kalila yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan. “Lancar?” Kalila mengangguk. “Anakku diperkirakan laki-laki!” Arka dan Bik Nuri ikut berbinar-binar. “Saya ikut senang, Nyonya!” “Terima kasih, Bik!” “Itu apa?” tunjuk Arka. “Resep vitamin yang harus ditebus.” “Sini, biar aku yang tebus. Kamu sama Bik Nuri duduk saja di kursi tunggu.” Kalila mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, dia bahagia karena dikelilingi orang-orang baik seperti Arka dan Bik Nuri. *** Beberapa saat yang lalu di kediaman Gio .... “Dasar janda tidak tahu malu, berani-beraninya menggoda suami orang! Punya kaca tidak di rumah? Dasar kotoran kuda!” Selesa
“Apa kegiatan kamu akhir-akhir ini?” Gio balik bertanya, sekaligus ingin menguji sampai sejauh mana Arka akan menjawab jujur. “Kegiatan aku? Standar saja, seperti kamu.” “Oh ya?” Arka mengangguk. “Aku masih bekerja di kantor, bertemu teman-teman ... Standar saja.” Tanpa sadar, tangan Gio mengepal saat Arka tidak menyinggung nama Kalila sama sekali. “Kamu sendiri?” Kali ini Arka yang bertanya. “Aku? Sibuk kerja untuk menafkahi anak istri,” jawab Gio, sengaja memancing Arka. Saudara sepupu Gio itu hanya mengangguk pelan, sama sekali tidak ada celah untuk bisa membahas topik tentang Kalila. Jika Gio membahasnya lebih dulu, maka Arka akan tahu jika dia telah menyaksikan kebersamaan mereka di klinik ibu hamil. “Kamu tahu kalau aku sudah bercerai dari Lila, kan?” Gio tidak tahan jika tidak bertanya. “Aku tahu, dan aku ikut menyayangkan keputusan kalian. Tapi ... pasti kalian memiliki alasannya,” angguk Arka. “Kamu dan Lila berhak bahagia meski di jalan yang berb
“Masalahnya, aku tidak ingin ada konflik lagi di masa depan.” Kalila menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata, berharap jika Gio mengerti maksud dari kata-katanya. “Kalaupun Nia tahu, itu akan jadi urusanku. Kamu tidak perlu memikirkannya.” “Bagaimana aku tidak kepikiran? Istri kamu itu sampai kesetanan hanya karena aku meneleponmu, sekarang bayangkan saja seandainya dia tahu kalau kamu membelikan ponsel baru untukku. Mungkin dia sewaktu-waktu akan datang untuk menyerangku ....” “Itu terlalu berlebihan,” ujar Gio. “Nia belum lama melahirkan, jadi mungkin dia masih dalam pengaruh baby blues.” Kalila membuka matanya. “Kalau begitu, lebih baik kamu fokus mengurus istri dan anak kamu saja.” “Janin yang kamu kandung itu juga anakku,” tegas Gio. “Sudah kewajibanku untuk bisa membagi waktu ....” “Aku tidak sependapat,” tentang Kalila. “Anak ini bahkan belum lahir, jadi kamu tidak perlu repot-repot membagi waktu karena jelas seratus persen kehidupannya ada padaku. Kelak k
“Bu, sudahlah. Nia semalaman juga kurang tidur karena harus menyusui Sherin,” kata Gio membela. “Aku akan ambil anakku dulu sebentar.” Soraya berdecak dan segera turun dari lantai dua. “Apa kabar calon cucu ibu yang satunya, Dan?” Gio tidak segera menjawab. “Kalau dapat anak perempuan lagi, tidak usah kamu nafkahi.” Soraya melanjutkan. “Kenapa begitu, Bu?” “Kamu kan sudah ada Sherin.” “Mana bisa begitu, mau laki-laki atau perempuan tetap saja anak itu adalah darah dagingku.” Soraya berdecak. “Kamu bisa hilang begini karena tidak tahu apa yang direncanakan kakek kamu!” “Memangnya rencana apa?” “Aset yang diberikan ke kamu mau kamu jadikan usaha kan? Nah, kakek kamu berniat untuk kasih target minimal keuntungan jika usaha itu sudah kamu dirikan.” Gio menatap ibunya tak percaya. “Kenapa selalu saja ada syarat tambahan?” “Gara-gara kamu cerai sama Lila dan gagal mempertahankan rumah tangga kalian,” jawab Soraya geram. “Makanya kalau anak Lila lahir perem
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?