“Jadi jenis kelamin anak saya apa, Dok?” “Dari pantauan USG, diprediksi laki-laki. Bulan depan dan seterusnya bisa dipastikan kembali.” Kalila terpaku, baginya memang tidak masalah mau anak laki-laki ataupun perempuan. Yang terpenting adalah janinnya tumbuh dan berkembang sesuai usia. “Bagaimana, Lil?” Arka berdiri untuk menyambut Kalila yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan. “Lancar?” Kalila mengangguk. “Anakku diperkirakan laki-laki!” Arka dan Bik Nuri ikut berbinar-binar. “Saya ikut senang, Nyonya!” “Terima kasih, Bik!” “Itu apa?” tunjuk Arka. “Resep vitamin yang harus ditebus.” “Sini, biar aku yang tebus. Kamu sama Bik Nuri duduk saja di kursi tunggu.” Kalila mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, dia bahagia karena dikelilingi orang-orang baik seperti Arka dan Bik Nuri. *** Beberapa saat yang lalu di kediaman Gio .... “Dasar janda tidak tahu malu, berani-beraninya menggoda suami orang! Punya kaca tidak di rumah? Dasar kotoran kuda!” Selesa
“Apa kegiatan kamu akhir-akhir ini?” Gio balik bertanya, sekaligus ingin menguji sampai sejauh mana Arka akan menjawab jujur. “Kegiatan aku? Standar saja, seperti kamu.” “Oh ya?” Arka mengangguk. “Aku masih bekerja di kantor, bertemu teman-teman ... Standar saja.” Tanpa sadar, tangan Gio mengepal saat Arka tidak menyinggung nama Kalila sama sekali. “Kamu sendiri?” Kali ini Arka yang bertanya. “Aku? Sibuk kerja untuk menafkahi anak istri,” jawab Gio, sengaja memancing Arka. Saudara sepupu Gio itu hanya mengangguk pelan, sama sekali tidak ada celah untuk bisa membahas topik tentang Kalila. Jika Gio membahasnya lebih dulu, maka Arka akan tahu jika dia telah menyaksikan kebersamaan mereka di klinik ibu hamil. “Kamu tahu kalau aku sudah bercerai dari Lila, kan?” Gio tidak tahan jika tidak bertanya. “Aku tahu, dan aku ikut menyayangkan keputusan kalian. Tapi ... pasti kalian memiliki alasannya,” angguk Arka. “Kamu dan Lila berhak bahagia meski di jalan yang berb
“Masalahnya, aku tidak ingin ada konflik lagi di masa depan.” Kalila menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata, berharap jika Gio mengerti maksud dari kata-katanya. “Kalaupun Nia tahu, itu akan jadi urusanku. Kamu tidak perlu memikirkannya.” “Bagaimana aku tidak kepikiran? Istri kamu itu sampai kesetanan hanya karena aku meneleponmu, sekarang bayangkan saja seandainya dia tahu kalau kamu membelikan ponsel baru untukku. Mungkin dia sewaktu-waktu akan datang untuk menyerangku ....” “Itu terlalu berlebihan,” ujar Gio. “Nia belum lama melahirkan, jadi mungkin dia masih dalam pengaruh baby blues.” Kalila membuka matanya. “Kalau begitu, lebih baik kamu fokus mengurus istri dan anak kamu saja.” “Janin yang kamu kandung itu juga anakku,” tegas Gio. “Sudah kewajibanku untuk bisa membagi waktu ....” “Aku tidak sependapat,” tentang Kalila. “Anak ini bahkan belum lahir, jadi kamu tidak perlu repot-repot membagi waktu karena jelas seratus persen kehidupannya ada padaku. Kelak k
“Bu, sudahlah. Nia semalaman juga kurang tidur karena harus menyusui Sherin,” kata Gio membela. “Aku akan ambil anakku dulu sebentar.” Soraya berdecak dan segera turun dari lantai dua. “Apa kabar calon cucu ibu yang satunya, Dan?” Gio tidak segera menjawab. “Kalau dapat anak perempuan lagi, tidak usah kamu nafkahi.” Soraya melanjutkan. “Kenapa begitu, Bu?” “Kamu kan sudah ada Sherin.” “Mana bisa begitu, mau laki-laki atau perempuan tetap saja anak itu adalah darah dagingku.” Soraya berdecak. “Kamu bisa hilang begini karena tidak tahu apa yang direncanakan kakek kamu!” “Memangnya rencana apa?” “Aset yang diberikan ke kamu mau kamu jadikan usaha kan? Nah, kakek kamu berniat untuk kasih target minimal keuntungan jika usaha itu sudah kamu dirikan.” Gio menatap ibunya tak percaya. “Kenapa selalu saja ada syarat tambahan?” “Gara-gara kamu cerai sama Lila dan gagal mempertahankan rumah tangga kalian,” jawab Soraya geram. “Makanya kalau anak Lila lahir perem
"Iya, De." Entah kenapa, wajah Dea tiba-tiba terlihat tidak seperti biasanya. "Apa kalian tidak terlalu sering berinteraksi sementara status kalian sudah resmi jadi mantan?" "Dia selalu muncul dengan inisiatif sendiri, De." "Tapi orang yang tidak tahu, bisa salah paham. Kamu jangan marah ya, Lil? Aku seperti ini karena peduli sama kamu dan juga keberlanjutan bisnis kita," ujar Dea dengan wajah serius. "Aku tahu kamu tidak mungkin melanggar batasan, tapi tetap saja ... Kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang, apalagi kalau orang-orang sampai tahu bahwa kamu pernah jadi istri kedua, terlepas kamu dijebak atau tidak." Kalila termenung. Meskipun sedikit blak-blakan, tapi ucapan Dea ada benarnya. Apalagi jika mengingat respons Nia saat dia menelepon ponsel Gio yang seperti orang kesurupan, Kalila tahu jika mantan madunya itu bisa melakukan hal yang lebih nekat lagi. "Aku mengerti maksudmu, De. Terima kasih," ucap Kalila seraya menarik napas panjang. "Aku akan minta mantan
Nia menatap Kalila dengan ekspresi dendam. “Kamu senang kan?” tanya Nia yang sedang menggendong putrinya. “Senang karena anak kamu terlahir laki-laki?” “Apa maksudmu? Bagiku laki-laki atau perempuan itu sama saja, yang penting bayinya sehat ....” “Jangan munafik kamu, aku tahu kelak anak kamu akan jadi penghalang bagi anak aku untuk mendapatkan hak-haknya. Sebelum hal itu terjadi, aku peringatkan kamu!” Kalila menatap Nia dengan tidak mengerti. “Kamu masih baby blues?” “Bukan urusan kamu.” “Baiklah, kalau begitu jangan sekali-kali mengusik anakku.” Kalila balik memperingatkan, meskipun sambil menahan sakit karena jahitan. “Kamu sudah menjadi istri satu-satunya Gio, jadi kurang apa lagi?” Nia mengembuskan napas keras. “Percuma jadi istri satu-satunya kalau kamu tetap berhubungan sama suami aku.” “Jangan fitnah kamu!” bantah Kalila. “Beberapa bulan sebelum melahirkan, aku sudah menjaga jarak sama suami kamu. Seharusnya kamu juga memperingatkan dia, karena aku t
“Kenapa beberapa bulan sebelum melahirkan, kamu tidak bisa ditemui sama sekali?” Kalila berbalik sebelum pergi. “Seharusnya kamu berterima kasih padaku.” “Untuk apa?” “Karena aku sudah berlapang dada untuk menjaga perasaan istri kamu.” Gio terpaku. “Kamu sengaja menghindariku karena Nia?” “Tidak juga, tapi demi menjaga statusku yang sudah janda supaya orang-orang tidak berpikir kalau aku masih gatal dengan mantan suami.” Sebelum Gio sempat menanggapi, Kalila buru-buru menambahkan. “Bik Nuri akan segera mengantar Noah kemari, ke depannya kamu bisa langsung kontak Bibik kalau mau bertemu Noah.” “Tapi ....” “Kamu tidak perlu berkomunikasi dengan aku, karena aku tidak sepenting itu untuk kamu pikirkan.” Kalila menerbitkan senyum tipis di bibirnya, setelah itu dia pergi meninggalkan Gio sendirian di ruang tamu. “Bik, Noah ini masih kecil. Jadi hanya boleh menerima kunjungan sebentar, ajak dia ke kamar kalau sudah rewel atau mengantuk. Jangan dulu diajak bepergi
“Tapi, Mas ....” “Cukup, Nia. Sudah paling benar kalau kamu di rumah saja dan fokus untuk mengasuh Sherin,” tegas Gio dengan nada tidak ingin ditawar lagi. “Kalau begitu aku mau nafkah bulananku ditambah lagi,” pinta Nia setengah memaksa. “Sudah ada sherin, jadi kebutuhan juga semakin banyak. Belum lagi bayar gaji Bik Jani ....” “Soal gaji Bik Jani, biasanya juga aku yang bayar.” “Tapi aku mau mengelola keuangan di rumah ini, Mas! Aku kan istri kamu, wajar kan kalau aku punya hak untuk mengatur keuangan?” Gio sebetulnya paling tidak suka diusik ketika dirinya sedang makan seperti ini, Kalila saja sangat menghormati dirinya dengan tidak berani melontarkan sepatah kata pun saat makan. “Mas!” rengek Nia lagi. “Kenapa kamu jadi pelit seperti ini sih, pasti gara-gara Lila dan anaknya!” “Tidak usah bawa-bawa Lila,” tukas Gio. “Noah juga memiliki hak yang sama seperti Sherin.” “Tuh kan, betul dugaan aku. Pokoknya aku minta nafkah yang lebih besar dari Noah, dan Lila it