“Kenapa beberapa bulan sebelum melahirkan, kamu tidak bisa ditemui sama sekali?” Kalila berbalik sebelum pergi. “Seharusnya kamu berterima kasih padaku.” “Untuk apa?” “Karena aku sudah berlapang dada untuk menjaga perasaan istri kamu.” Gio terpaku. “Kamu sengaja menghindariku karena Nia?” “Tidak juga, tapi demi menjaga statusku yang sudah janda supaya orang-orang tidak berpikir kalau aku masih gatal dengan mantan suami.” Sebelum Gio sempat menanggapi, Kalila buru-buru menambahkan. “Bik Nuri akan segera mengantar Noah kemari, ke depannya kamu bisa langsung kontak Bibik kalau mau bertemu Noah.” “Tapi ....” “Kamu tidak perlu berkomunikasi dengan aku, karena aku tidak sepenting itu untuk kamu pikirkan.” Kalila menerbitkan senyum tipis di bibirnya, setelah itu dia pergi meninggalkan Gio sendirian di ruang tamu. “Bik, Noah ini masih kecil. Jadi hanya boleh menerima kunjungan sebentar, ajak dia ke kamar kalau sudah rewel atau mengantuk. Jangan dulu diajak bepergi
“Tapi, Mas ....” “Cukup, Nia. Sudah paling benar kalau kamu di rumah saja dan fokus untuk mengasuh Sherin,” tegas Gio dengan nada tidak ingin ditawar lagi. “Kalau begitu aku mau nafkah bulananku ditambah lagi,” pinta Nia setengah memaksa. “Sudah ada sherin, jadi kebutuhan juga semakin banyak. Belum lagi bayar gaji Bik Jani ....” “Soal gaji Bik Jani, biasanya juga aku yang bayar.” “Tapi aku mau mengelola keuangan di rumah ini, Mas! Aku kan istri kamu, wajar kan kalau aku punya hak untuk mengatur keuangan?” Gio sebetulnya paling tidak suka diusik ketika dirinya sedang makan seperti ini, Kalila saja sangat menghormati dirinya dengan tidak berani melontarkan sepatah kata pun saat makan. “Mas!” rengek Nia lagi. “Kenapa kamu jadi pelit seperti ini sih, pasti gara-gara Lila dan anaknya!” “Tidak usah bawa-bawa Lila,” tukas Gio. “Noah juga memiliki hak yang sama seperti Sherin.” “Tuh kan, betul dugaan aku. Pokoknya aku minta nafkah yang lebih besar dari Noah, dan Lila it
“Ya, ya, terserah. Yang penting saya ingin ikut terlibat dalam perkembangan Noah.” Setelah puas menimang sang putra, Gio terpaksa meninggalkan rumah Kalila dengan memendam kejengkelan. “Ini terakhir kalinya kita bertemu, terakhir kalinya pula kamu dapat uang!” Nia menjejalkan sebuah amplop cokelat ke tangan seorang pria yang berdiri di depannya. “Terima kasih ....” “Tidak usah basa-basi, cepat pergi dari hadapanku!” “Kasar sekali,” decih pria itu sembari tersenyum miring. “Senang bekerja sama dengan kamu, Nia ....” “Cepat pergi!” Pria itu melempar senyum terakhir sebelum akhirnya berbalik pergi dari hadapan Nia. Hanya berselang beberapa saat saja setelah pria itu pergi, mobil Gio terlihat melaju pelan memasuki halaman rumah. “Mas Gio!” Nia buru-buru merapikan rambutnya dan memasang senyum manis di sudut bibir. Gio turun dari mobilnya dan sedikit heran karena Nia berada di luar rumah. “Tumben kamu menyambutku?” Nia tersenyum salah tingkah. “Memangnya
“Bagaimana, apa cicit kakek bisa mampir ke sini?” tanya Herdian tidak sabar. “Bisa Kek, itu ...” Gio terdiam saat pintu ruangan terbuka, memperlihatkan seseorang yang sedang membawa Noah dalam dekapannya. “Arka!” Gio nyaris terbelalak melihat kedatangan putranya bersama sang sepupu. “Kok bisa Noah ada sama kamu?” Sebelum menjawab pertanyaan Gio, Arka lebih dulu tersenyum hormat kepada Herdian dan menyerahkan Noah kepadanya. “Tadi aku mampir ke toko Lila dan teman-temannya, kebetulan katanya Noah mau ke kantor kamu, jadi aku menawarkan diri untuk mengantarkannya ke sini.” Arka menjelaskan. “Kakek, apa kabar?” “Tentu bahagia sekali karena bisa bertemu cicit!” jawab Herdian sambil menimang-nimang Noah. Gio berdiri. “Aku bikin kopi dulu, Kek.” “Suruh saja Haris, bilang sama dia kalau kakek teh hangat saja.” Gio mengangguk dan dengan sengaja menarik bahu Arka supaya mengikutinya keluar. “Apa itu artinya Lila juga ikut sama kamu?” tanya Gio dalam bisikan rendah.
Setelah satu jam berlalu tanpa kabar, Kalila kembali menelepon Bik Nuri. “Halo, Bik? Kok Noah belum diantar pulang juga?” protes Kalila begitu panggilannya tersambung. “Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Noah,” sahut Gio yang menggunakan ponsel Bik Nuri. “Kamu ... ini sudah terlalu lama!” tegur Kalila. “Noah tidak bisa lama-lama jauh dari aku ....” “Buktinya Noah anteng-anteng saja di sini, kamu tidak perlu khawatir berlebihan. Aku pasti akan mengantar Noah pulang bersama Bik Nuri.” “Tolong jangan rusak jadwal yang sudah susah payah aku terapkan untuk Noah, kamu tidak akan paham!” “Kamu pikir Noah adalah satu-satunya anakku?” tanya Gio dingin. “Sebelum ini aku sudah punya anak dan aku sedikit tahu kalau jadwal tidur bayi tidak bisa diatur terlalu ketat.” Kalila terdiam. “Kamu hanya ibu baru yang belum lama berubah status, jadi jangan bersikap seolah kamu lebih tahu daripada Nia dan aku.” Gio menambahkan. “Kamu tunggu saja di rumah, Noah pasti akan aku pul
Nia memalingkan wajahnya dengan tidak terima. "Bik!" Panggilan Nia bercampur dengan suara gebrakan tangan di atas meja. "I—iya, Bu?" "Ngomong apa kamu sama Tuan?" tanya Nia dengan mata melotot tajam. "Sa—saya tidak ...." "Ngomong apa kamu sama Tuan, hah?" "Saya ... menanyakan gaji saja, Bu!" "Berani-beraninya ya kamu!" "Saya hanya menanyakan hak saya saja, Bu ... Biasanya sebelum ini Tuan tidak pernah telat membayarkan gaji saya ... Maaf, kalau itu salah ...." "Telat paling berapa hari sih, sudah ribut saja!" gerutu Nia seraya menggebrak meja kembali. Kali ini, Bik Jani memilih untuk tidak menjawab. Sejak berganti majikan, kehidupan pekerjaan di rumah Gio telah berubah tak ubahnya seperti neraka. "Nih!" Setelah puas meluapkan emosinya, Nia membanting setumpuk uang di atas meja. "Saya kasih setengahnya dulu!" Mata Bik Jani terbelalak lebar. "Kok hanya setengah, Bu?" "Itu akibatnya kalau bikin saya marah, sisanya akan saya kasih akhir bulan ini!" ketu
“Kalau aku jadi Arka, aku pasti sudah hilang rasa sama kamu alias ilfeel!” sungut Zia, lalu fokusnya kembali kepada Noah yang berada dalam gendongannya. “Hilang rasa ...? Aku tidak mengerti,” geleng Kalila, yang memutuskan untuk langsung memulai pekerjaannya membuat konten-konten menarik. “Lil, kelihatannya Arka menaruh hati sama kamu.” Zia masih mengusik Kalila yang sedang menyalakan laptopnya. “Kalau tidak, mana mungkin dia kasih bunga dan bingkisan?” “Itu hanya ucapan semangat dari seorang teman kepada temannya,” ralat Kalila. “Arka itu sepupu mantan suami, dan aku sudah lama mengenalnya. Dia juga yang bantu aku untuk belajar bekerja, berbisnis, dan mengenalkan aku kepada kamu dan Dea.” Zia mengangguk-angguk, meski dia memiliki firasat yang berbeda tentang bingkisan dan juga bunga yang diberikan Arka kepada Kalila. Di kantor lainnya, Gio dan Herdian sedang terlibat diskusi penting di ruangan rapat dengan Haris sebagai saksi. “Jadi karena kamu gagal mempertahankan r
Gio melihat interaksi antara mantan istrinya dan Arka, ada rasa tidak nyaman yang merambat di hatinya. Bisa-bisanya mereka ngobrol bebas seperti itu tanpa memerhatikan kami sama sekali, pikir Gio dalam hati. “Yuk, Mas?” ajak Nia sambil menggamit lengan Gio di sampingnya. Kalila tidak menunjukkan reaksi apa pun saat mantan suaminya duduk di seberang meja bersama Nia. “Minum?” Arka menawari. “Nanti kalau kurang, aku akan minta pelayan untuk menyeduh lagi.” “Ini saja dulu,” sahut Gio datar. Untuk sesaat, suasana berlangsung hening selain hanya denting cangkir yang beradu dengan sendok ketika Nia menyiapkan teh untuk suaminya. “Kira-kira berapa usia yang aman bagi bayi untuk belajar berenang ya?” tanya Kalila melanjutkan obrolannya dengan Arka. “Noah mau kamu ajari berenang?” “Bukan aku, tapi yang ahli di bidang ini. Aku suka saja melihat anak-anak bayi belajar renang ....” “Nanti aku coba cari informasi,” kata Arka antusias. “Pasti lucu kalau Noah berbaring d