yg suka komedi segar, baca juga Mantanku, Kakak Iparku
“Kalau aku jadi Arka, aku pasti sudah hilang rasa sama kamu alias ilfeel!” sungut Zia, lalu fokusnya kembali kepada Noah yang berada dalam gendongannya. “Hilang rasa ...? Aku tidak mengerti,” geleng Kalila, yang memutuskan untuk langsung memulai pekerjaannya membuat konten-konten menarik. “Lil, kelihatannya Arka menaruh hati sama kamu.” Zia masih mengusik Kalila yang sedang menyalakan laptopnya. “Kalau tidak, mana mungkin dia kasih bunga dan bingkisan?” “Itu hanya ucapan semangat dari seorang teman kepada temannya,” ralat Kalila. “Arka itu sepupu mantan suami, dan aku sudah lama mengenalnya. Dia juga yang bantu aku untuk belajar bekerja, berbisnis, dan mengenalkan aku kepada kamu dan Dea.” Zia mengangguk-angguk, meski dia memiliki firasat yang berbeda tentang bingkisan dan juga bunga yang diberikan Arka kepada Kalila. Di kantor lainnya, Gio dan Herdian sedang terlibat diskusi penting di ruangan rapat dengan Haris sebagai saksi. “Jadi karena kamu gagal mempertahankan r
Gio melihat interaksi antara mantan istrinya dan Arka, ada rasa tidak nyaman yang merambat di hatinya. Bisa-bisanya mereka ngobrol bebas seperti itu tanpa memerhatikan kami sama sekali, pikir Gio dalam hati. “Yuk, Mas?” ajak Nia sambil menggamit lengan Gio di sampingnya. Kalila tidak menunjukkan reaksi apa pun saat mantan suaminya duduk di seberang meja bersama Nia. “Minum?” Arka menawari. “Nanti kalau kurang, aku akan minta pelayan untuk menyeduh lagi.” “Ini saja dulu,” sahut Gio datar. Untuk sesaat, suasana berlangsung hening selain hanya denting cangkir yang beradu dengan sendok ketika Nia menyiapkan teh untuk suaminya. “Kira-kira berapa usia yang aman bagi bayi untuk belajar berenang ya?” tanya Kalila melanjutkan obrolannya dengan Arka. “Noah mau kamu ajari berenang?” “Bukan aku, tapi yang ahli di bidang ini. Aku suka saja melihat anak-anak bayi belajar renang ....” “Nanti aku coba cari informasi,” kata Arka antusias. “Pasti lucu kalau Noah berbaring d
“Siapa yang menelepon? Kok tidak kamu angkat?” tanya Gio tanpa memandang Nia. “Temanku, Mas! Biasa, dia kalau telepon selalu ajak ngobrol. Jadi harus tunggu sampai di rumah dulu,” jawab Nia buru-buru, sebisa mungkin dia tidak ingin memperlihatkan rasa gugupnya di depan Gio. “Aku mau di ruang kerja dulu beberapa jam, jangan ada yang ganggu.” Gio berpesan kepada Nia ketika mereka tiba di rumah. “Mau aku bikinkan kopi untuk menemani kamu kerja, Mas?” “Oke.” “Aku tidurkan Sherin dulu, kelihatannya dia sudah mengantuk.” Gio mengangguk dan meneruskan langkahnya menuju ruang kerja. “Cepat tidur ya, Sayang?” bisik Sherin sambil menimang-nimang Sherin dalam gendongannya, sementara benda pipih itu mulai berdering lagi. “Astaga ...!” Antara panik dan kesal, Nia menolak panggilan itu berkali-kali dan memasukkan ponsel itu ke laci lemari. “Ibu buatkan susu dulu, ya? Jangan ke mana-mana!” Nia meletakkan Sherin di dalam boks dan segera berlari turun ke dapur untuk membuat sebotol s
Tut! Kesal karena pembicaraan itu tidak ada habisnya, Nia langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Wajah yang semakin lama terlihat lebih kusam itu tampak keruh, dia paksa otaknya untuk berpikir ke mana lagi akan mencari uang. Meminta kepada Gio lagi? Mustahil, pikir Nia muram. “Apa sebaiknya aku batal pesta pernikahan saja ya?” gumam Nia sambil berjalan mondar-mandir di kamar Bik Jani. “Sebagai gantinya, aku minta uang saja untuk biaya masa depan Sherin. Toh ke depannya aku masih bisa minta uang lagi ....” Nia berhenti mondar-mandir, lalu menarik napas panjang. Setelah suasana hatinya sedikit membaik, dia keluar dari kamar Bik Jani dan sempat celingukan ke sana kemari. Meskipun mantap untuk membatalkan pesta pernikahan, tapi Nia tidak ingin buru-buru mengutarakan niatnya kepada Gio. Dia tahu situasi saat ini sedang tidak mendukung, karena itu jangan sampai dirinya bertindak ceroboh. Selama menunggu proses balik nama, Gio segera meminta Haris untuk m
“Aku sudah transfer tiga puluh juta, setelah ini enyahlah dari hidupku selamanya!” pekik Nia kepada seseorang melalui sambungan telepon. “Luar biasa, aku suka sekali dengan pengertian kamu ....” “Tidak usah basa-basi, itu uang terakhir yang aku transfer buat kamu! Pergilah sejauh mungkin dariku, jangan sekali-kali kontak aku lagi. Mengerti?” “Ck, ck, ck ... Sungguh kejam kata-katamu itu, apa kamu lupa kalau aku adalah ....” “Sudah, diamlah!” desis Nia sambil berkacak pinggang meskipun lawan bicaranya tidak dapat melihat. “Kalau sampai kamu mengusik hidupku lagi, aku tidak akan diam saja.” Lawan bicara Nia terkekeh. “Aku sedih kamu tidak merindukan aku, Sayang.” “Jangan bikin aku muak, apa yang terjadi di masa lalu adalah kesalahan fatal ....” “Apa itu berarti Sherin adalah kesalahan?” “Diam, cepat pergi hari ini juga!” usir Nia, dia putuskan pembicaraan mereka detik berikutnya. Kelihatannya aku harus ganti nomor, pikir Nia sambil berjalan mondar-mandir di
“Coba dulu, tapi bicaranya saat Tuan Gio sendirian. Jangan sampai Bu Nia tahu, Bik.” “Itu yang sulit, Nur ....” “Atau kamu berhenti kerja saja, Bik? Seram sih punya majikan seperti Bu Nia.” Bik Jani menarik napas. Saran dari Bik Nuri sebenarnya masuk akal, tapi mau kerja di mana lagi kalau Gio tidak mempercayai ucapannya dan berujung dipecat? “Tuan ...?” Bik Jani memberanikan diri mendekat ke meja saat Gio muncul di dapur tanpa Nia. “Ada apa, Bik?” “Anu ... Bu Nia tidak ikut sarapan?” “Sherin sedikit rewel, jadi Bu Nia sarapan nanti.” Bik Jani mengangguk, dia benar-benar harus menyiapkan mental sebelum melanjutkan ucapannya. “Maaf, Tuan ... Saya ... sampai sekarang saya belum mendapatkan separuh gaji saya ....” Gio menatap Bik Jani dengan heran. “Belum mendapatkan separuh gaji? Maksudnya?” Bik Jani lantas menceritakan duduk perkaranya kepada Gio, berharap jika majikannya ini mau mempercayai ucapannya. “Jadi gaji Bibik baru dibayar separuh?” Gio te
Nia memijat-mijat pelipisnya setelah Bik Jani berlalu, lengkap sudah persoalan hari ini. Lima belas juta dalam sehari, dia harus mencarinya di mana? Sedangkan waktu terus berjalan, Nia harus memeras otak untuk mendapatkan dana sebanyak itu. “Halo?” “Haris! Tolong bantu aku, Ris!” “Nia? Ada apa, kok tiba-tiba ....” “Aku butuh uang, tapi jangan bilang Mas Gio!” “Sebentar, sebentar!” Haris menginterupsi. “Kamu butuh uang, kenapa malah minta ke aku? Minta saja sama Pak Gio.” Nia mengacak-ngacak rambutnya. “Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, yang pasti aku tidak mungkin minta uang sama Mas Gio! Ini darurat, Ris! Tolong kamu pinjami aku, lima belas jutaan saja ....” “Lima belas juta?” Suara Haris terdengar kaget. “Kamu jangan bercanda, Nia! Uang sebanyak itu ... kenapa tidak minta Pak Gio saja?” “Kalau aku bisa minta Pak Gio mudah itu, aku tidak mungkin minta tolong kamu!” sentak Nia. “Bagaimana, kamu bisa kan pinjami aku? Aku pasti akan mengembalikan se
“Mas Gio tidak pernah main-main, bagaimana ini ...?” Nia meratap frustrasi. “Kenapa kamu ini? Seperti orang bingung begitu,” komentar ibu Nia yang melihat kelakuan anaknya. “Aku sedang Butuh banyak uang, Bu.” “Buat apa? Kenapa tidak minta sama suami kamu? Nia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa-apa. Sebentar lagi Haris akan ke sini dan dia belum menyiapkan jawaban satupun jika orang kepercayaan Gio itu menagih uangnya. “Apa itu tidak punya simpanan uang dua puluh juta?” tanya Nia berharap. “Ibu mana ada uang sebanyak itu?” “Ya siapa tahu saja, atau mungkin itu ada simpanan perhiasan yang bisa aku jual?” “Kamu mau jual perhiasan ibu? Enak saja!” “Ayolah Bu ...” “Memangnya mau buat apa sih?” “Mas Gio butuh modal, jadi sebagai istri yang pengen aku ingin meminjamkannya uang.” Ibu Nia melengos. “Ini saja kita masih kekurangan, tapi kamu malah sok-sokan meminjamkan modal ke suami kamu. Terus sekarang Ibu tidak percaya kalau dia sedang kekurangan