Tut! Kesal karena pembicaraan itu tidak ada habisnya, Nia langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Wajah yang semakin lama terlihat lebih kusam itu tampak keruh, dia paksa otaknya untuk berpikir ke mana lagi akan mencari uang. Meminta kepada Gio lagi? Mustahil, pikir Nia muram. “Apa sebaiknya aku batal pesta pernikahan saja ya?” gumam Nia sambil berjalan mondar-mandir di kamar Bik Jani. “Sebagai gantinya, aku minta uang saja untuk biaya masa depan Sherin. Toh ke depannya aku masih bisa minta uang lagi ....” Nia berhenti mondar-mandir, lalu menarik napas panjang. Setelah suasana hatinya sedikit membaik, dia keluar dari kamar Bik Jani dan sempat celingukan ke sana kemari. Meskipun mantap untuk membatalkan pesta pernikahan, tapi Nia tidak ingin buru-buru mengutarakan niatnya kepada Gio. Dia tahu situasi saat ini sedang tidak mendukung, karena itu jangan sampai dirinya bertindak ceroboh. Selama menunggu proses balik nama, Gio segera meminta Haris untuk m
“Aku sudah transfer tiga puluh juta, setelah ini enyahlah dari hidupku selamanya!” pekik Nia kepada seseorang melalui sambungan telepon. “Luar biasa, aku suka sekali dengan pengertian kamu ....” “Tidak usah basa-basi, itu uang terakhir yang aku transfer buat kamu! Pergilah sejauh mungkin dariku, jangan sekali-kali kontak aku lagi. Mengerti?” “Ck, ck, ck ... Sungguh kejam kata-katamu itu, apa kamu lupa kalau aku adalah ....” “Sudah, diamlah!” desis Nia sambil berkacak pinggang meskipun lawan bicaranya tidak dapat melihat. “Kalau sampai kamu mengusik hidupku lagi, aku tidak akan diam saja.” Lawan bicara Nia terkekeh. “Aku sedih kamu tidak merindukan aku, Sayang.” “Jangan bikin aku muak, apa yang terjadi di masa lalu adalah kesalahan fatal ....” “Apa itu berarti Sherin adalah kesalahan?” “Diam, cepat pergi hari ini juga!” usir Nia, dia putuskan pembicaraan mereka detik berikutnya. Kelihatannya aku harus ganti nomor, pikir Nia sambil berjalan mondar-mandir di
“Coba dulu, tapi bicaranya saat Tuan Gio sendirian. Jangan sampai Bu Nia tahu, Bik.” “Itu yang sulit, Nur ....” “Atau kamu berhenti kerja saja, Bik? Seram sih punya majikan seperti Bu Nia.” Bik Jani menarik napas. Saran dari Bik Nuri sebenarnya masuk akal, tapi mau kerja di mana lagi kalau Gio tidak mempercayai ucapannya dan berujung dipecat? “Tuan ...?” Bik Jani memberanikan diri mendekat ke meja saat Gio muncul di dapur tanpa Nia. “Ada apa, Bik?” “Anu ... Bu Nia tidak ikut sarapan?” “Sherin sedikit rewel, jadi Bu Nia sarapan nanti.” Bik Jani mengangguk, dia benar-benar harus menyiapkan mental sebelum melanjutkan ucapannya. “Maaf, Tuan ... Saya ... sampai sekarang saya belum mendapatkan separuh gaji saya ....” Gio menatap Bik Jani dengan heran. “Belum mendapatkan separuh gaji? Maksudnya?” Bik Jani lantas menceritakan duduk perkaranya kepada Gio, berharap jika majikannya ini mau mempercayai ucapannya. “Jadi gaji Bibik baru dibayar separuh?” Gio te
Nia memijat-mijat pelipisnya setelah Bik Jani berlalu, lengkap sudah persoalan hari ini. Lima belas juta dalam sehari, dia harus mencarinya di mana? Sedangkan waktu terus berjalan, Nia harus memeras otak untuk mendapatkan dana sebanyak itu. “Halo?” “Haris! Tolong bantu aku, Ris!” “Nia? Ada apa, kok tiba-tiba ....” “Aku butuh uang, tapi jangan bilang Mas Gio!” “Sebentar, sebentar!” Haris menginterupsi. “Kamu butuh uang, kenapa malah minta ke aku? Minta saja sama Pak Gio.” Nia mengacak-ngacak rambutnya. “Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, yang pasti aku tidak mungkin minta uang sama Mas Gio! Ini darurat, Ris! Tolong kamu pinjami aku, lima belas jutaan saja ....” “Lima belas juta?” Suara Haris terdengar kaget. “Kamu jangan bercanda, Nia! Uang sebanyak itu ... kenapa tidak minta Pak Gio saja?” “Kalau aku bisa minta Pak Gio mudah itu, aku tidak mungkin minta tolong kamu!” sentak Nia. “Bagaimana, kamu bisa kan pinjami aku? Aku pasti akan mengembalikan se
“Mas Gio tidak pernah main-main, bagaimana ini ...?” Nia meratap frustrasi. “Kenapa kamu ini? Seperti orang bingung begitu,” komentar ibu Nia yang melihat kelakuan anaknya. “Aku sedang Butuh banyak uang, Bu.” “Buat apa? Kenapa tidak minta sama suami kamu? Nia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa-apa. Sebentar lagi Haris akan ke sini dan dia belum menyiapkan jawaban satupun jika orang kepercayaan Gio itu menagih uangnya. “Apa itu tidak punya simpanan uang dua puluh juta?” tanya Nia berharap. “Ibu mana ada uang sebanyak itu?” “Ya siapa tahu saja, atau mungkin itu ada simpanan perhiasan yang bisa aku jual?” “Kamu mau jual perhiasan ibu? Enak saja!” “Ayolah Bu ...” “Memangnya mau buat apa sih?” “Mas Gio butuh modal, jadi sebagai istri yang pengen aku ingin meminjamkannya uang.” Ibu Nia melengos. “Ini saja kita masih kekurangan, tapi kamu malah sok-sokan meminjamkan modal ke suami kamu. Terus sekarang Ibu tidak percaya kalau dia sedang kekurangan
“... entah bagaimana caranya kamu harus bisa cetak rekening koran selama beberapa hari ini.” Gio menjelaskan tugas penting yang harus Haris lakukan ketika pria itu tiba di kantor. “Tapi Pak, itu mustahil karena saya butuh surat kuasa dari Bu Nia!” Gio menggeleng. “Nia jelas tidak akan mau memberi surat kuasa, aku yakin dia banyak berbohong kali ini.” Haris membisu, tidak berani mengutarakan pendapatnya karena tahu bahwa suasana hati Gio sedang sangat memburuk. “Tapi aku harus tahu ke mana saja uang itu dia transfer, sangat tidak masuk akal jika Nia meminjamkan uang sebanyak itu ke temannya.” “Anda merasa curiga, Pak?” “Tentu saja, ini bukan perkara uang sejuta dua juta, tapi lima puluh juta.” Haris yang memiliki kecurigaan serupa dengan Gio, ikut berpikir keras untuk memberikan solusi atas permasalahan ini. “Bagaimana kalau ponsel Bu Nia disadap saja, Pak?” “Apakah dengan menyadap ponsel, aku bisa tahu apa saja yang dia lakukan dengan aplikasi yang terinstal?
Gio menunduk menatap Noah, yang balas menatapnya seolah dia adalah orang asing yang tidak dikenal. “Ini ayah,” bisik Gio seolah memperkenalkan diri, pedih membayangkan jika Noah jauh lebih akrab dengan Arka dibandingkan dirinya. “Kerjaan lancar?” tanya Arka, membuyarkan lamunan Gio. “Lancar, aku bahkan mau buka coffee shop sebentar lagi.” “Serius? Itu keren sekali! Aku akan jadi pelanggan pertama yang datang kalau kafe itu sudah buka.” Gio mengangguk saja. “Mas!” Tiba-tiba pintu terbuka dan Nia menerobos masuk. “Itu kenapa anak Lila ada di sini?” Arka refleks menoleh ke arah Nia, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Anak Lila anakku juga,” kata Gio tegas. “Itu Sherin kenapa, katanya sakit?” Perhatian Nia seketika teralihkan kepada Sherin yang yang diam saja dalam gendongan ibunya. “Sudah lebih baik, aku bilang kalau ayahnya akan mengajaknya jalan-jalan akhir pekan nanti.” Gio tidak berkomentar apa-apa. “Berapa umur Sherin?” tanya Arka ingin tahu. “Satu
“Jadi dia sudah membohongiku?” Haris menelan ludah, dia merasa ngeri sendiri dengan perubahan ekspresi pada wajah Gio. “Saya rasa Anda sudah bisa menyimpulkannya sendiri, Pak ... Semua ini adalah bukti yang berhasil teman saya dapatkan dari hasil meretas ponsel Bu Nia, bahkan mutasi di mobile banking bisa diselidiki juga.” “Ya, ini sangat-sangat mengecewakan. Berani-beraninya istriku sendiri membohongiku sampai sejauh ini, saudaranya buat apa uang itu? Aku tidak yakin nominal sebesar tiga puluh juta dia pinjamkan begitu saja.” Haris mengangguk setuju. “Lalu selanjutnya apa yang akan Anda lakukan?” “Terus saja aku harus tahu siapa pemilik rekening yang sudah menerima transferan dari Nia,” jawab Gio tajam. “Aku juga harus tahu dengan siapa saja dia menelepon akhir-akhir ini, apakah temanmu itu juga bisa mencari tahu?” Harus mengangguk lagi. “Saya rasa bisa Pak, tapi ....” “Soal bayaran bilang padanya kalau aku berani membayar lebih.” “Ah, baiklah kalau begitu.” Beg