Perhatian: mohon baca ulang bab 69 besok ya, karena ada revisi sedikit supaya tidak bingung. mohon maaf atas ketidaknyamanannya.
Nia memijat-mijat pelipisnya setelah Bik Jani berlalu, lengkap sudah persoalan hari ini. Lima belas juta dalam sehari, dia harus mencarinya di mana? Sedangkan waktu terus berjalan, Nia harus memeras otak untuk mendapatkan dana sebanyak itu. “Halo?” “Haris! Tolong bantu aku, Ris!” “Nia? Ada apa, kok tiba-tiba ....” “Aku butuh uang, tapi jangan bilang Mas Gio!” “Sebentar, sebentar!” Haris menginterupsi. “Kamu butuh uang, kenapa malah minta ke aku? Minta saja sama Pak Gio.” Nia mengacak-ngacak rambutnya. “Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, yang pasti aku tidak mungkin minta uang sama Mas Gio! Ini darurat, Ris! Tolong kamu pinjami aku, lima belas jutaan saja ....” “Lima belas juta?” Suara Haris terdengar kaget. “Kamu jangan bercanda, Nia! Uang sebanyak itu ... kenapa tidak minta Pak Gio saja?” “Kalau aku bisa minta Pak Gio mudah itu, aku tidak mungkin minta tolong kamu!” sentak Nia. “Bagaimana, kamu bisa kan pinjami aku? Aku pasti akan mengembalikan se
“Mas Gio tidak pernah main-main, bagaimana ini ...?” Nia meratap frustrasi. “Kenapa kamu ini? Seperti orang bingung begitu,” komentar ibu Nia yang melihat kelakuan anaknya. “Aku sedang Butuh banyak uang, Bu.” “Buat apa? Kenapa tidak minta sama suami kamu? Nia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa-apa. Sebentar lagi Haris akan ke sini dan dia belum menyiapkan jawaban satupun jika orang kepercayaan Gio itu menagih uangnya. “Apa itu tidak punya simpanan uang dua puluh juta?” tanya Nia berharap. “Ibu mana ada uang sebanyak itu?” “Ya siapa tahu saja, atau mungkin itu ada simpanan perhiasan yang bisa aku jual?” “Kamu mau jual perhiasan ibu? Enak saja!” “Ayolah Bu ...” “Memangnya mau buat apa sih?” “Mas Gio butuh modal, jadi sebagai istri yang pengen aku ingin meminjamkannya uang.” Ibu Nia melengos. “Ini saja kita masih kekurangan, tapi kamu malah sok-sokan meminjamkan modal ke suami kamu. Terus sekarang Ibu tidak percaya kalau dia sedang kekurangan
“... entah bagaimana caranya kamu harus bisa cetak rekening koran selama beberapa hari ini.” Gio menjelaskan tugas penting yang harus Haris lakukan ketika pria itu tiba di kantor. “Tapi Pak, itu mustahil karena saya butuh surat kuasa dari Bu Nia!” Gio menggeleng. “Nia jelas tidak akan mau memberi surat kuasa, aku yakin dia banyak berbohong kali ini.” Haris membisu, tidak berani mengutarakan pendapatnya karena tahu bahwa suasana hati Gio sedang sangat memburuk. “Tapi aku harus tahu ke mana saja uang itu dia transfer, sangat tidak masuk akal jika Nia meminjamkan uang sebanyak itu ke temannya.” “Anda merasa curiga, Pak?” “Tentu saja, ini bukan perkara uang sejuta dua juta, tapi lima puluh juta.” Haris yang memiliki kecurigaan serupa dengan Gio, ikut berpikir keras untuk memberikan solusi atas permasalahan ini. “Bagaimana kalau ponsel Bu Nia disadap saja, Pak?” “Apakah dengan menyadap ponsel, aku bisa tahu apa saja yang dia lakukan dengan aplikasi yang terinstal?
Gio menunduk menatap Noah, yang balas menatapnya seolah dia adalah orang asing yang tidak dikenal. “Ini ayah,” bisik Gio seolah memperkenalkan diri, pedih membayangkan jika Noah jauh lebih akrab dengan Arka dibandingkan dirinya. “Kerjaan lancar?” tanya Arka, membuyarkan lamunan Gio. “Lancar, aku bahkan mau buka coffee shop sebentar lagi.” “Serius? Itu keren sekali! Aku akan jadi pelanggan pertama yang datang kalau kafe itu sudah buka.” Gio mengangguk saja. “Mas!” Tiba-tiba pintu terbuka dan Nia menerobos masuk. “Itu kenapa anak Lila ada di sini?” Arka refleks menoleh ke arah Nia, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Anak Lila anakku juga,” kata Gio tegas. “Itu Sherin kenapa, katanya sakit?” Perhatian Nia seketika teralihkan kepada Sherin yang yang diam saja dalam gendongan ibunya. “Sudah lebih baik, aku bilang kalau ayahnya akan mengajaknya jalan-jalan akhir pekan nanti.” Gio tidak berkomentar apa-apa. “Berapa umur Sherin?” tanya Arka ingin tahu. “Satu
“Jadi dia sudah membohongiku?” Haris menelan ludah, dia merasa ngeri sendiri dengan perubahan ekspresi pada wajah Gio. “Saya rasa Anda sudah bisa menyimpulkannya sendiri, Pak ... Semua ini adalah bukti yang berhasil teman saya dapatkan dari hasil meretas ponsel Bu Nia, bahkan mutasi di mobile banking bisa diselidiki juga.” “Ya, ini sangat-sangat mengecewakan. Berani-beraninya istriku sendiri membohongiku sampai sejauh ini, saudaranya buat apa uang itu? Aku tidak yakin nominal sebesar tiga puluh juta dia pinjamkan begitu saja.” Haris mengangguk setuju. “Lalu selanjutnya apa yang akan Anda lakukan?” “Terus saja aku harus tahu siapa pemilik rekening yang sudah menerima transferan dari Nia,” jawab Gio tajam. “Aku juga harus tahu dengan siapa saja dia menelepon akhir-akhir ini, apakah temanmu itu juga bisa mencari tahu?” Harus mengangguk lagi. “Saya rasa bisa Pak, tapi ....” “Soal bayaran bilang padanya kalau aku berani membayar lebih.” “Ah, baiklah kalau begitu.” Beg
Astaga, apa lagi ini ... pikir Nia frustrasi. “Mas, ada tamu?” Nia mendatangi Gio, sebisa mungkin tidak memperlihatkan raut panik atau takut pada wajahnya. “Ya, takut istimewa.” Gio mengangguk singkat, lalu melirik pria yang sedari tadi berdiri bersamanya. “Apa kamu kenal dia?” “Tentu saja tidak,” sahut Nia tanpa menoleh sedikit pun, membuat pria itu sedikit tersentak. “Masuk kalian berdua,” perintah Gio, tidak ada lagi nada kasih dan perhatian yang dulu biasa dia lontarkan untuk istrinya. Nia masuk, dan tercengang melihat keberadaan Haris yang tampak sibuk dengan map di atas meja. “Ini ada apa, Mas? Kok ada Haris segala ... ada pertemuan bisnis?” Tentu saja Nia berharap demikian, bisa jadi pria itu ikut serta karena kebetulan dipertemukan dengan Gio dalam sebuah proyek bisnis. Semoga saja .... “Aku tidak perlu mempersilakan kalian untuk duduk,” kata Gio dingin, seraya menjatuhkan diri di sofa tunggal. Nia cepat-cepat duduk mengisi tempat yang tidak jauh dari Haris
“Sudah, diam kalian berdua!” Gio menengahi. “Ini rumahku, jadi sebaiknya jaga tingkah kalian.” Nia terperanjat kaget mendengar ucapan Gio, sedangkan Joey memalingkan wajahnya. “Aku akan melakukan tes DNA untuk membuktikan apakah Sherin adalah anak kandungku atau bukan,” sambung Gio.” “Apa? Tes DNA? Kamu tidak bisa melakukan ini, Mas!” “Siapa bilang tidak bisa?” “Itu sama saja dengan penghinaan terhadap diriku dan anak kita!” “Kalau memang dasarnya kamu yang menghinakan dirimu sendiri, aku bisa apa?” sinis Gio. Nia menggelengkan kepala, dia tidak akan membiarkan Gio melakukan tes DNA terhadap Sherin. Apa pun alasannya. “Dan kamu, Joey Pratama.” Selanjutnya Gio menoleh menatap pria itu. “Aku melarangmu pergi ke mana-mana sebelum kebenaran tentang siapa ayah biologis Sherin terungkap.” Joey mengangkat bahu tidak peduli, sama sekali dia tidak kelihatan panik atau khawatir. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nia, keringat sebesar jagung mulai menet
Bahkan tangan yang dulu dia anggap lemah tanpa daya, nyatanya tadi sanggup mendarat dengan begitu kuat di wajahnya. “Kalau kamu sudah tidak ada urusan lagi di sini, silakan pergi.” “Kamu mengusirku?’ “Menurut kamu?” Kalila menatap Gio dengan tajam. “Sombong sekali kamu sekarang, mentang-mentang kamu sudah berpenghasilan?” “Kalau iya, kenapa? Sombong di depan orang sombong adalah suatu keharusan, apalagi setelah kamu meragukan fakta kalau Noah adalah anak kandung kamu.” Gio berdecak pelan. “Aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya ingin memastikan ....” “Memastikan supaya apa? Supaya kamu yakin kalau Noah adalah anak kamu?” sindir Kalila. “Kamu pikir kenapa seseorang berusaha mencari keyakinan akan sesuatu hal?” Gio terdiam selama beberapa saat. “Itu karena dia merasa ragu, seperti yang kamu rasakan saat ini terhadap Noah.” Kalila meneruskan ucapannya. “Ya ampun, aku tidak menyangka kalau kamu punya pikiran semacam itu ... Aku tidak masalah seandainya kamu sudah t