“Coba dulu, tapi bicaranya saat Tuan Gio sendirian. Jangan sampai Bu Nia tahu, Bik.” “Itu yang sulit, Nur ....” “Atau kamu berhenti kerja saja, Bik? Seram sih punya majikan seperti Bu Nia.” Bik Jani menarik napas. Saran dari Bik Nuri sebenarnya masuk akal, tapi mau kerja di mana lagi kalau Gio tidak mempercayai ucapannya dan berujung dipecat? “Tuan ...?” Bik Jani memberanikan diri mendekat ke meja saat Gio muncul di dapur tanpa Nia. “Ada apa, Bik?” “Anu ... Bu Nia tidak ikut sarapan?” “Sherin sedikit rewel, jadi Bu Nia sarapan nanti.” Bik Jani mengangguk, dia benar-benar harus menyiapkan mental sebelum melanjutkan ucapannya. “Maaf, Tuan ... Saya ... sampai sekarang saya belum mendapatkan separuh gaji saya ....” Gio menatap Bik Jani dengan heran. “Belum mendapatkan separuh gaji? Maksudnya?” Bik Jani lantas menceritakan duduk perkaranya kepada Gio, berharap jika majikannya ini mau mempercayai ucapannya. “Jadi gaji Bibik baru dibayar separuh?” Gio te
Nia memijat-mijat pelipisnya setelah Bik Jani berlalu, lengkap sudah persoalan hari ini. Lima belas juta dalam sehari, dia harus mencarinya di mana? Sedangkan waktu terus berjalan, Nia harus memeras otak untuk mendapatkan dana sebanyak itu. “Halo?” “Haris! Tolong bantu aku, Ris!” “Nia? Ada apa, kok tiba-tiba ....” “Aku butuh uang, tapi jangan bilang Mas Gio!” “Sebentar, sebentar!” Haris menginterupsi. “Kamu butuh uang, kenapa malah minta ke aku? Minta saja sama Pak Gio.” Nia mengacak-ngacak rambutnya. “Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, yang pasti aku tidak mungkin minta uang sama Mas Gio! Ini darurat, Ris! Tolong kamu pinjami aku, lima belas jutaan saja ....” “Lima belas juta?” Suara Haris terdengar kaget. “Kamu jangan bercanda, Nia! Uang sebanyak itu ... kenapa tidak minta Pak Gio saja?” “Kalau aku bisa minta Pak Gio mudah itu, aku tidak mungkin minta tolong kamu!” sentak Nia. “Bagaimana, kamu bisa kan pinjami aku? Aku pasti akan mengembalikan se
“Mas Gio tidak pernah main-main, bagaimana ini ...?” Nia meratap frustrasi. “Kenapa kamu ini? Seperti orang bingung begitu,” komentar ibu Nia yang melihat kelakuan anaknya. “Aku sedang Butuh banyak uang, Bu.” “Buat apa? Kenapa tidak minta sama suami kamu? Nia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa-apa. Sebentar lagi Haris akan ke sini dan dia belum menyiapkan jawaban satupun jika orang kepercayaan Gio itu menagih uangnya. “Apa itu tidak punya simpanan uang dua puluh juta?” tanya Nia berharap. “Ibu mana ada uang sebanyak itu?” “Ya siapa tahu saja, atau mungkin itu ada simpanan perhiasan yang bisa aku jual?” “Kamu mau jual perhiasan ibu? Enak saja!” “Ayolah Bu ...” “Memangnya mau buat apa sih?” “Mas Gio butuh modal, jadi sebagai istri yang pengen aku ingin meminjamkannya uang.” Ibu Nia melengos. “Ini saja kita masih kekurangan, tapi kamu malah sok-sokan meminjamkan modal ke suami kamu. Terus sekarang Ibu tidak percaya kalau dia sedang kekurangan
“... entah bagaimana caranya kamu harus bisa cetak rekening koran selama beberapa hari ini.” Gio menjelaskan tugas penting yang harus Haris lakukan ketika pria itu tiba di kantor. “Tapi Pak, itu mustahil karena saya butuh surat kuasa dari Bu Nia!” Gio menggeleng. “Nia jelas tidak akan mau memberi surat kuasa, aku yakin dia banyak berbohong kali ini.” Haris membisu, tidak berani mengutarakan pendapatnya karena tahu bahwa suasana hati Gio sedang sangat memburuk. “Tapi aku harus tahu ke mana saja uang itu dia transfer, sangat tidak masuk akal jika Nia meminjamkan uang sebanyak itu ke temannya.” “Anda merasa curiga, Pak?” “Tentu saja, ini bukan perkara uang sejuta dua juta, tapi lima puluh juta.” Haris yang memiliki kecurigaan serupa dengan Gio, ikut berpikir keras untuk memberikan solusi atas permasalahan ini. “Bagaimana kalau ponsel Bu Nia disadap saja, Pak?” “Apakah dengan menyadap ponsel, aku bisa tahu apa saja yang dia lakukan dengan aplikasi yang terinstal?
Gio menunduk menatap Noah, yang balas menatapnya seolah dia adalah orang asing yang tidak dikenal. “Ini ayah,” bisik Gio seolah memperkenalkan diri, pedih membayangkan jika Noah jauh lebih akrab dengan Arka dibandingkan dirinya. “Kerjaan lancar?” tanya Arka, membuyarkan lamunan Gio. “Lancar, aku bahkan mau buka coffee shop sebentar lagi.” “Serius? Itu keren sekali! Aku akan jadi pelanggan pertama yang datang kalau kafe itu sudah buka.” Gio mengangguk saja. “Mas!” Tiba-tiba pintu terbuka dan Nia menerobos masuk. “Itu kenapa anak Lila ada di sini?” Arka refleks menoleh ke arah Nia, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Anak Lila anakku juga,” kata Gio tegas. “Itu Sherin kenapa, katanya sakit?” Perhatian Nia seketika teralihkan kepada Sherin yang yang diam saja dalam gendongan ibunya. “Sudah lebih baik, aku bilang kalau ayahnya akan mengajaknya jalan-jalan akhir pekan nanti.” Gio tidak berkomentar apa-apa. “Berapa umur Sherin?” tanya Arka ingin tahu. “Satu
“Jadi dia sudah membohongiku?” Haris menelan ludah, dia merasa ngeri sendiri dengan perubahan ekspresi pada wajah Gio. “Saya rasa Anda sudah bisa menyimpulkannya sendiri, Pak ... Semua ini adalah bukti yang berhasil teman saya dapatkan dari hasil meretas ponsel Bu Nia, bahkan mutasi di mobile banking bisa diselidiki juga.” “Ya, ini sangat-sangat mengecewakan. Berani-beraninya istriku sendiri membohongiku sampai sejauh ini, saudaranya buat apa uang itu? Aku tidak yakin nominal sebesar tiga puluh juta dia pinjamkan begitu saja.” Haris mengangguk setuju. “Lalu selanjutnya apa yang akan Anda lakukan?” “Terus saja aku harus tahu siapa pemilik rekening yang sudah menerima transferan dari Nia,” jawab Gio tajam. “Aku juga harus tahu dengan siapa saja dia menelepon akhir-akhir ini, apakah temanmu itu juga bisa mencari tahu?” Harus mengangguk lagi. “Saya rasa bisa Pak, tapi ....” “Soal bayaran bilang padanya kalau aku berani membayar lebih.” “Ah, baiklah kalau begitu.” Beg
Astaga, apa lagi ini ... pikir Nia frustrasi. “Mas, ada tamu?” Nia mendatangi Gio, sebisa mungkin tidak memperlihatkan raut panik atau takut pada wajahnya. “Ya, tamu istimewa.” Gio mengangguk singkat, lalu melirik pria yang sedari tadi berdiri bersamanya. “Apa kamu kenal dia?” “Tentu saja tidak,” sahut Nia tanpa menoleh sedikit pun, membuat pria itu sedikit tersentak. “Masuk kalian berdua,” perintah Gio, tidak ada lagi nada kasih dan perhatian yang dulu biasa dia lontarkan untuk istrinya. Nia masuk, dan tercengang melihat keberadaan Haris yang tampak sibuk dengan map di atas meja. “Ini ada apa, Mas? Kok ada Haris segala ... ada pertemuan bisnis?” Tentu saja Nia berharap demikian, bisa jadi pria itu ikut serta karena kebetulan dipertemukan dengan Gio dalam sebuah proyek bisnis. Semoga saja .... “Aku tidak perlu mempersilakan kalian untuk duduk,” kata Gio dingin, seraya menjatuhkan diri di sofa tunggal. Nia cepat-cepat duduk mengisi tempat yang tidak jauh da
“Sudah, diam kalian berdua!” Gio menengahi. “Ini rumahku, jadi sebaiknya jaga tingkah kalian.” Nia terperanjat kaget mendengar ucapan Gio, sedangkan Joey memalingkan wajahnya. “Aku akan melakukan tes DNA untuk membuktikan apakah Sherin adalah anak kandungku atau bukan,” sambung Gio.” “Apa? Tes DNA? Kamu tidak bisa melakukan ini, Mas!” “Siapa bilang tidak bisa?” “Itu sama saja dengan penghinaan terhadap diriku dan anak kita!” “Kalau memang dasarnya kamu yang menghinakan dirimu sendiri, aku bisa apa?” sinis Gio. Nia menggelengkan kepala, dia tidak akan membiarkan Gio melakukan tes DNA terhadap Sherin. Apa pun alasannya. “Dan kamu, Joey Pratama.” Selanjutnya Gio menoleh menatap pria itu. “Aku melarangmu pergi ke mana-mana sebelum kebenaran tentang siapa ayah biologis Sherin terungkap.” Joey mengangkat bahu tidak peduli, sama sekali dia tidak kelihatan panik atau khawatir. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nia, keringat sebesar jagung mulai menet
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?