“Tapi, Mas ....” “Cukup, Nia. Sudah paling benar kalau kamu di rumah saja dan fokus untuk mengasuh Sherin,” tegas Gio dengan nada tidak ingin ditawar lagi. “Kalau begitu aku mau nafkah bulananku ditambah lagi,” pinta Nia setengah memaksa. “Sudah ada sherin, jadi kebutuhan juga semakin banyak. Belum lagi bayar gaji Bik Jani ....” “Soal gaji Bik Jani, biasanya juga aku yang bayar.” “Tapi aku mau mengelola keuangan di rumah ini, Mas! Aku kan istri kamu, wajar kan kalau aku punya hak untuk mengatur keuangan?” Gio sebetulnya paling tidak suka diusik ketika dirinya sedang makan seperti ini, Kalila saja sangat menghormati dirinya dengan tidak berani melontarkan sepatah kata pun saat makan. “Mas!” rengek Nia lagi. “Kenapa kamu jadi pelit seperti ini sih, pasti gara-gara Lila dan anaknya!” “Tidak usah bawa-bawa Lila,” tukas Gio. “Noah juga memiliki hak yang sama seperti Sherin.” “Tuh kan, betul dugaan aku. Pokoknya aku minta nafkah yang lebih besar dari Noah, dan Lila it
“Ya, ya, terserah. Yang penting saya ingin ikut terlibat dalam perkembangan Noah.” Setelah puas menimang sang putra, Gio terpaksa meninggalkan rumah Kalila dengan memendam kejengkelan. “Ini terakhir kalinya kita bertemu, terakhir kalinya pula kamu dapat uang!” Nia menjejalkan sebuah amplop cokelat ke tangan seorang pria yang berdiri di depannya. “Terima kasih ....” “Tidak usah basa-basi, cepat pergi dari hadapanku!” “Kasar sekali,” decih pria itu sembari tersenyum miring. “Senang bekerja sama dengan kamu, Nia ....” “Cepat pergi!” Pria itu melempar senyum terakhir sebelum akhirnya berbalik pergi dari hadapan Nia. Hanya berselang beberapa saat saja setelah pria itu pergi, mobil Gio terlihat melaju pelan memasuki halaman rumah. “Mas Gio!” Nia buru-buru merapikan rambutnya dan memasang senyum manis di sudut bibir. Gio turun dari mobilnya dan sedikit heran karena Nia berada di luar rumah. “Tumben kamu menyambutku?” Nia tersenyum salah tingkah. “Memangnya
“Bagaimana, apa cicit kakek bisa mampir ke sini?” tanya Herdian tidak sabar. “Bisa Kek, itu ...” Gio terdiam saat pintu ruangan terbuka, memperlihatkan seseorang yang sedang membawa Noah dalam dekapannya. “Arka!” Gio nyaris terbelalak melihat kedatangan putranya bersama sang sepupu. “Kok bisa Noah ada sama kamu?” Sebelum menjawab pertanyaan Gio, Arka lebih dulu tersenyum hormat kepada Herdian dan menyerahkan Noah kepadanya. “Tadi aku mampir ke toko Lila dan teman-temannya, kebetulan katanya Noah mau ke kantor kamu, jadi aku menawarkan diri untuk mengantarkannya ke sini.” Arka menjelaskan. “Kakek, apa kabar?” “Tentu bahagia sekali karena bisa bertemu cicit!” jawab Herdian sambil menimang-nimang Noah. Gio berdiri. “Aku bikin kopi dulu, Kek.” “Suruh saja Haris, bilang sama dia kalau kakek teh hangat saja.” Gio mengangguk dan dengan sengaja menarik bahu Arka supaya mengikutinya keluar. “Apa itu artinya Lila juga ikut sama kamu?” tanya Gio dalam bisikan rendah.
Setelah satu jam berlalu tanpa kabar, Kalila kembali menelepon Bik Nuri. “Halo, Bik? Kok Noah belum diantar pulang juga?” protes Kalila begitu panggilannya tersambung. “Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Noah,” sahut Gio yang menggunakan ponsel Bik Nuri. “Kamu ... ini sudah terlalu lama!” tegur Kalila. “Noah tidak bisa lama-lama jauh dari aku ....” “Buktinya Noah anteng-anteng saja di sini, kamu tidak perlu khawatir berlebihan. Aku pasti akan mengantar Noah pulang bersama Bik Nuri.” “Tolong jangan rusak jadwal yang sudah susah payah aku terapkan untuk Noah, kamu tidak akan paham!” “Kamu pikir Noah adalah satu-satunya anakku?” tanya Gio dingin. “Sebelum ini aku sudah punya anak dan aku sedikit tahu kalau jadwal tidur bayi tidak bisa diatur terlalu ketat.” Kalila terdiam. “Kamu hanya ibu baru yang belum lama berubah status, jadi jangan bersikap seolah kamu lebih tahu daripada Nia dan aku.” Gio menambahkan. “Kamu tunggu saja di rumah, Noah pasti akan aku pul
Nia memalingkan wajahnya dengan tidak terima. "Bik!" Panggilan Nia bercampur dengan suara gebrakan tangan di atas meja. "I—iya, Bu?" "Ngomong apa kamu sama Tuan?" tanya Nia dengan mata melotot tajam. "Sa—saya tidak ...." "Ngomong apa kamu sama Tuan, hah?" "Saya ... menanyakan gaji saja, Bu!" "Berani-beraninya ya kamu!" "Saya hanya menanyakan hak saya saja, Bu ... Biasanya sebelum ini Tuan tidak pernah telat membayarkan gaji saya ... Maaf, kalau itu salah ...." "Telat paling berapa hari sih, sudah ribut saja!" gerutu Nia seraya menggebrak meja kembali. Kali ini, Bik Jani memilih untuk tidak menjawab. Sejak berganti majikan, kehidupan pekerjaan di rumah Gio telah berubah tak ubahnya seperti neraka. "Nih!" Setelah puas meluapkan emosinya, Nia membanting setumpuk uang di atas meja. "Saya kasih setengahnya dulu!" Mata Bik Jani terbelalak lebar. "Kok hanya setengah, Bu?" "Itu akibatnya kalau bikin saya marah, sisanya akan saya kasih akhir bulan ini!" ketu
“Kalau aku jadi Arka, aku pasti sudah hilang rasa sama kamu alias ilfeel!” sungut Zia, lalu fokusnya kembali kepada Noah yang berada dalam gendongannya. “Hilang rasa ...? Aku tidak mengerti,” geleng Kalila, yang memutuskan untuk langsung memulai pekerjaannya membuat konten-konten menarik. “Lil, kelihatannya Arka menaruh hati sama kamu.” Zia masih mengusik Kalila yang sedang menyalakan laptopnya. “Kalau tidak, mana mungkin dia kasih bunga dan bingkisan?” “Itu hanya ucapan semangat dari seorang teman kepada temannya,” ralat Kalila. “Arka itu sepupu mantan suami, dan aku sudah lama mengenalnya. Dia juga yang bantu aku untuk belajar bekerja, berbisnis, dan mengenalkan aku kepada kamu dan Dea.” Zia mengangguk-angguk, meski dia memiliki firasat yang berbeda tentang bingkisan dan juga bunga yang diberikan Arka kepada Kalila. Di kantor lainnya, Gio dan Herdian sedang terlibat diskusi penting di ruangan rapat dengan Haris sebagai saksi. “Jadi karena kamu gagal mempertahankan r
Gio melihat interaksi antara mantan istrinya dan Arka, ada rasa tidak nyaman yang merambat di hatinya. Bisa-bisanya mereka ngobrol bebas seperti itu tanpa memerhatikan kami sama sekali, pikir Gio dalam hati. “Yuk, Mas?” ajak Nia sambil menggamit lengan Gio di sampingnya. Kalila tidak menunjukkan reaksi apa pun saat mantan suaminya duduk di seberang meja bersama Nia. “Minum?” Arka menawari. “Nanti kalau kurang, aku akan minta pelayan untuk menyeduh lagi.” “Ini saja dulu,” sahut Gio datar. Untuk sesaat, suasana berlangsung hening selain hanya denting cangkir yang beradu dengan sendok ketika Nia menyiapkan teh untuk suaminya. “Kira-kira berapa usia yang aman bagi bayi untuk belajar berenang ya?” tanya Kalila melanjutkan obrolannya dengan Arka. “Noah mau kamu ajari berenang?” “Bukan aku, tapi yang ahli di bidang ini. Aku suka saja melihat anak-anak bayi belajar renang ....” “Nanti aku coba cari informasi,” kata Arka antusias. “Pasti lucu kalau Noah berbaring d
“Siapa yang menelepon? Kok tidak kamu angkat?” tanya Gio tanpa memandang Nia. “Temanku, Mas! Biasa, dia kalau telepon selalu ajak ngobrol. Jadi harus tunggu sampai di rumah dulu,” jawab Nia buru-buru, sebisa mungkin dia tidak ingin memperlihatkan rasa gugupnya di depan Gio. “Aku mau di ruang kerja dulu beberapa jam, jangan ada yang ganggu.” Gio berpesan kepada Nia ketika mereka tiba di rumah. “Mau aku bikinkan kopi untuk menemani kamu kerja, Mas?” “Oke.” “Aku tidurkan Sherin dulu, kelihatannya dia sudah mengantuk.” Gio mengangguk dan meneruskan langkahnya menuju ruang kerja. “Cepat tidur ya, Sayang?” bisik Sherin sambil menimang-nimang Sherin dalam gendongannya, sementara benda pipih itu mulai berdering lagi. “Astaga ...!” Antara panik dan kesal, Nia menolak panggilan itu berkali-kali dan memasukkan ponsel itu ke laci lemari. “Ibu buatkan susu dulu, ya? Jangan ke mana-mana!” Nia meletakkan Sherin di dalam boks dan segera berlari turun ke dapur untuk membuat sebotol s
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?