Kalila menghela napas. “Kamu memang tidak pernah berubah, Mas. Kalau Nia tahu, dia pasti akan menuduhku ganggu suami orang.” Gio tidak menjawab dan tetap fokus mengemudi. “Kamu langsung pulang saja, Mas.” Kalila turun ketika mobil Gio menepi di depan rumahnya. “Kamu mengusirku? Setidaknya suruh aku masuk, beristirahat sebentar, baru setelah itu aku pulang.” Kalila memutar matanya dengan malas. “Aku hanya tidak mau kamu sama Nia jadi bertengkar hebat kalau dia tahu kamu mengantarku periksa.” “Tidak usah repot-repot memikirkan kami,” tukas Gio sambil menutup pintu mobilnya. “Terserah kamu, yang jelas aku tidak mau tanggung jawab kalau kalian bertengkar ....” “Kamu berharap kalau aku dan Nia bertengkar?” Kalila hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. “Bik Nuri, bikinkan saya mi instan telur iris cabai!” Kalila pergi ke dapur untuk melepas penat, disusul Gio yang berjalan di belakangnya. “Sudah selesai periksa, Nyonya? Bagaimana kandungannya, sehat?” “Alkh
“Pasti, Nek. Mas Gio juga sangat bertanggung jawab terhadap calon anaknya!” Mutia mengangguk dan meminta mereka berdua untuk minum teh bersama. “Di mana kakek?” tanya Arka ingin tahu. “Kamu seperti tidak paham kakekmu saja, dia masih sibuk dengan urusannya di luar.” “Kakek tetap aktif ya di usianya yang sekarang,” komentar Arka lagi. “Begitulah ....” Setelah mengobrol sambil minum teh, Kalila dan Arka berpamitan untuk pulang. “Lila, jaga cicit nenek.” “Baik, Nek. Aku akan menjaganya dengan baik,” angguk Kalila saat menerima perhatian Mutia. “Meskipun kamu bukan lagi istri Gio, tapi anak ini tetap penerus keluarga kami.” “Aku mengerti, Nek.” Arka tersenyum kepada Mutia. “Aku antar Lila pulang sebentar ya, Nek?” “Tunggu, Arka. Nenek ingin bicara sama kamu, tidak lama.” Mutia mengisyaratkan Kalila untuk jalan lebih dulu sementara Arka bertahan bersamanya. “Ada apa, Nek?” Mutia menatap Arka lurus-lurus. “Apakah dugaan nenek ini keliru?” “Maksudnya apa, Nek?”
Bik Jani sudah menduga jika suasana di rumah tidak akan setentram dulu. "Mas, apa kamu kecewa?" tanya Nia di malam itu. "Kecewa kenapa?" "Karena aku melahirkan anak perempuan," jawab Nia dengan wajah lesu. "Aku tidak pernah pilih-pilih, memang sudah takdirnya kalau anak kita perempuan. Jangan dijadikan beban," tegur Gio. "Tapi ... aku merasa sikap kamu tidak selayaknya seperti suami yang bahagia karena jadi seorang ayah." "Terus kamu mau aku bagaimana, teriak-teriak?" "Ya bukan begitu, tapi aku merasa kalau ... entahlah, Mas ...." Gio menarik napas. "Mungkin kamu lelah karena jadi ibu baru dan belum ada pengalaman. Lebih baik kamu fokus saja mengurus Sherin, tidak perlu berpikir macam-macam." "Aku mau kamu terus di sampingku." "Menurut kamu apa yang selama ini aku lakukan?" tanya Gio, lama-lama dia jengah juga menghadapi sikap manja Nia. "Aku bahkan rela menentang keluarga demi tetap mempertahankan kamu." Nia mengangguk lemah. "Maksudnya ... aku mau kamu mendampin
“Jadi jenis kelamin anak saya apa, Dok?” “Dari pantauan USG, diprediksi laki-laki. Bulan depan dan seterusnya bisa dipastikan kembali.” Kalila terpaku, baginya memang tidak masalah mau anak laki-laki ataupun perempuan. Yang terpenting adalah janinnya tumbuh dan berkembang sesuai usia. “Bagaimana, Lil?” Arka berdiri untuk menyambut Kalila yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan. “Lancar?” Kalila mengangguk. “Anakku diperkirakan laki-laki!” Arka dan Bik Nuri ikut berbinar-binar. “Saya ikut senang, Nyonya!” “Terima kasih, Bik!” “Itu apa?” tunjuk Arka. “Resep vitamin yang harus ditebus.” “Sini, biar aku yang tebus. Kamu sama Bik Nuri duduk saja di kursi tunggu.” Kalila mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, dia bahagia karena dikelilingi orang-orang baik seperti Arka dan Bik Nuri. *** Beberapa saat yang lalu di kediaman Gio .... “Dasar janda tidak tahu malu, berani-beraninya menggoda suami orang! Punya kaca tidak di rumah? Dasar kotoran kuda!” Selesa
“Apa kegiatan kamu akhir-akhir ini?” Gio balik bertanya, sekaligus ingin menguji sampai sejauh mana Arka akan menjawab jujur. “Kegiatan aku? Standar saja, seperti kamu.” “Oh ya?” Arka mengangguk. “Aku masih bekerja di kantor, bertemu teman-teman ... Standar saja.” Tanpa sadar, tangan Gio mengepal saat Arka tidak menyinggung nama Kalila sama sekali. “Kamu sendiri?” Kali ini Arka yang bertanya. “Aku? Sibuk kerja untuk menafkahi anak istri,” jawab Gio, sengaja memancing Arka. Saudara sepupu Gio itu hanya mengangguk pelan, sama sekali tidak ada celah untuk bisa membahas topik tentang Kalila. Jika Gio membahasnya lebih dulu, maka Arka akan tahu jika dia telah menyaksikan kebersamaan mereka di klinik ibu hamil. “Kamu tahu kalau aku sudah bercerai dari Lila, kan?” Gio tidak tahan jika tidak bertanya. “Aku tahu, dan aku ikut menyayangkan keputusan kalian. Tapi ... pasti kalian memiliki alasannya,” angguk Arka. “Kamu dan Lila berhak bahagia meski di jalan yang berb
“Masalahnya, aku tidak ingin ada konflik lagi di masa depan.” Kalila menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata, berharap jika Gio mengerti maksud dari kata-katanya. “Kalaupun Nia tahu, itu akan jadi urusanku. Kamu tidak perlu memikirkannya.” “Bagaimana aku tidak kepikiran? Istri kamu itu sampai kesetanan hanya karena aku meneleponmu, sekarang bayangkan saja seandainya dia tahu kalau kamu membelikan ponsel baru untukku. Mungkin dia sewaktu-waktu akan datang untuk menyerangku ....” “Itu terlalu berlebihan,” ujar Gio. “Nia belum lama melahirkan, jadi mungkin dia masih dalam pengaruh baby blues.” Kalila membuka matanya. “Kalau begitu, lebih baik kamu fokus mengurus istri dan anak kamu saja.” “Janin yang kamu kandung itu juga anakku,” tegas Gio. “Sudah kewajibanku untuk bisa membagi waktu ....” “Aku tidak sependapat,” tentang Kalila. “Anak ini bahkan belum lahir, jadi kamu tidak perlu repot-repot membagi waktu karena jelas seratus persen kehidupannya ada padaku. Kelak k
“Bu, sudahlah. Nia semalaman juga kurang tidur karena harus menyusui Sherin,” kata Gio membela. “Aku akan ambil anakku dulu sebentar.” Soraya berdecak dan segera turun dari lantai dua. “Apa kabar calon cucu ibu yang satunya, Dan?” Gio tidak segera menjawab. “Kalau dapat anak perempuan lagi, tidak usah kamu nafkahi.” Soraya melanjutkan. “Kenapa begitu, Bu?” “Kamu kan sudah ada Sherin.” “Mana bisa begitu, mau laki-laki atau perempuan tetap saja anak itu adalah darah dagingku.” Soraya berdecak. “Kamu bisa hilang begini karena tidak tahu apa yang direncanakan kakek kamu!” “Memangnya rencana apa?” “Aset yang diberikan ke kamu mau kamu jadikan usaha kan? Nah, kakek kamu berniat untuk kasih target minimal keuntungan jika usaha itu sudah kamu dirikan.” Gio menatap ibunya tak percaya. “Kenapa selalu saja ada syarat tambahan?” “Gara-gara kamu cerai sama Lila dan gagal mempertahankan rumah tangga kalian,” jawab Soraya geram. “Makanya kalau anak Lila lahir perem
"Iya, De." Entah kenapa, wajah Dea tiba-tiba terlihat tidak seperti biasanya. "Apa kalian tidak terlalu sering berinteraksi sementara status kalian sudah resmi jadi mantan?" "Dia selalu muncul dengan inisiatif sendiri, De." "Tapi orang yang tidak tahu, bisa salah paham. Kamu jangan marah ya, Lil? Aku seperti ini karena peduli sama kamu dan juga keberlanjutan bisnis kita," ujar Dea dengan wajah serius. "Aku tahu kamu tidak mungkin melanggar batasan, tapi tetap saja ... Kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang, apalagi kalau orang-orang sampai tahu bahwa kamu pernah jadi istri kedua, terlepas kamu dijebak atau tidak." Kalila termenung. Meskipun sedikit blak-blakan, tapi ucapan Dea ada benarnya. Apalagi jika mengingat respons Nia saat dia menelepon ponsel Gio yang seperti orang kesurupan, Kalila tahu jika mantan madunya itu bisa melakukan hal yang lebih nekat lagi. "Aku mengerti maksudmu, De. Terima kasih," ucap Kalila seraya menarik napas panjang. "Aku akan minta mantan