“Keras kepala!” Tanpa izin, Gio langsung membopong tubuh Kalila dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Tuan, itu Nyonya kenapa?” “Nyonya sakit?” Bik Jani dan Bik Nuri heboh sendiri ketika mereka menyaksikan Gio muncul bersama Kalila dalam gendongannya. “Nyonya hamil, Bik.” Gio memberi tahu. “Ya Allah, selamat untuk Tuan dan Nyonya!” “Saya ikut senang, Nyonya!” Kalila tidak menanggapi ucapan kedua asisten rumah tangga itu, pikirannya pusing, fisik dan mentalnya terlalu lelah karena aktivitas padat akhir-akhir ini. “Kamu tidak usah kerja dulu,” pesan Gio setelah dia membaringkan Kalila di tempat tidur mereka. “Aku tetap mau bercerai.” “Kamu sedang hamil, bisa tidak jangan egois?” Kalila tersenyum sinis di balik wajahnya yang pucat. “Selama ini kamu ngapain, Mas? Saat dengan sadar mengabaikan segenap perhatianku, lalu pergi bermalam di rumah Nia, itu tidak egois?” “Aku ingin memperbaiki semuanya, kenapa kamu tidak bisa menghargai niat baik aku?” “M
“Tolong ya, aku sudah sangat capek bolak-balik kantor pengadilan! Ceraikan aku dan kita jalani hidup kita masing-masing!” Kalila mulai terengah-engah tak terkendali. Suasana sidang semakin riuh. Baru kali ini Gio menerima serangan dan tekanan bertubi-tubi dari Kalila. Istri yang dulunya dia pandang rendah, lemah, dan tidak berharga. Kini Kalila seolah tampil dalam wujud yang baru, wanita hamil yang tengah gigih memperjuangkan kebebasan dari tangan suami yang dulu begitu dihormatinya. “Lila, jaga kehormatan suamimu!” Soraya berseru dari tempat duduk pengunjung. “Istri yang baik tidak akan membuka persoalan rumah tangganya!” Wajah Kalila mendadak berubah pias. Bukan karena rasa takut, melainkan amarah yang sudah dia tahan-tahan selama ini. “Harap tenang!” “Ibu tahu apa? Selama ini pernah Ibu paham apa yang aku rasakan selama jadi menantu dan istri? Tidak, kan?” “Saudara Lila, harap kendalikan diri Anda!” Kalila melempar pandangan sengit ke arah Soraya sekilas,
Gio menatap kedua asisten rumah tangganya bergantian. “Salah satu dari kalian pergilah ke rumah yang ditempati Lila, saya ingin kalian menjaga kehamilannya.” “Apa boleh, Tuan?” “Tentu saja, bilang Lila kalau saya yang suruh. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung anak saya.” Bik Jani dan Bik Nuri saling pandang. “Aku rasa Tuan mulai menyesali perceraiannya,” bisik Bik Nuri setelah Gio berlalu pergi ke kamarnya. “Entahlah, tapi aku merasa justru Nyonya terlihat bahagia setelah berpisah.” Bik Jani menyahut. “Terkadang cinta memang serumit itu, ini jadinya siapa yang pergi ke rumah Nyonya Lila?” “Biar aku saja ya, Bik? Tenaga Bibik kan sudah sangat terbatas, jadi lebih baik biar aku yang menemani Nyonya Lila yang sedang hamil.” Mau tak mau Bik Jani mengangguk. “Titip Nyonya Lila ya, Nur? Kasihan dia, apalagi kalau aku ingat apa saja yang dialami selama jadi istri Tuan ....” “Serahkan padaku, Bik. Aku pasti akan menjaga Nyonya Lila dan calon bayinya,” janji
Kalila menghela napas. “Kamu memang tidak pernah berubah, Mas. Kalau Nia tahu, dia pasti akan menuduhku ganggu suami orang.” Gio tidak menjawab dan tetap fokus mengemudi. “Kamu langsung pulang saja, Mas.” Kalila turun ketika mobil Gio menepi di depan rumahnya. “Kamu mengusirku? Setidaknya suruh aku masuk, beristirahat sebentar, baru setelah itu aku pulang.” Kalila memutar matanya dengan malas. “Aku hanya tidak mau kamu sama Nia jadi bertengkar hebat kalau dia tahu kamu mengantarku periksa.” “Tidak usah repot-repot memikirkan kami,” tukas Gio sambil menutup pintu mobilnya. “Terserah kamu, yang jelas aku tidak mau tanggung jawab kalau kalian bertengkar ....” “Kamu berharap kalau aku dan Nia bertengkar?” Kalila hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. “Bik Nuri, bikinkan saya mi instan telur iris cabai!” Kalila pergi ke dapur untuk melepas penat, disusul Gio yang berjalan di belakangnya. “Sudah selesai periksa, Nyonya? Bagaimana kandungannya, sehat?” “Alkh
“Pasti, Nek. Mas Gio juga sangat bertanggung jawab terhadap calon anaknya!” Mutia mengangguk dan meminta mereka berdua untuk minum teh bersama. “Di mana kakek?” tanya Arka ingin tahu. “Kamu seperti tidak paham kakekmu saja, dia masih sibuk dengan urusannya di luar.” “Kakek tetap aktif ya di usianya yang sekarang,” komentar Arka lagi. “Begitulah ....” Setelah mengobrol sambil minum teh, Kalila dan Arka berpamitan untuk pulang. “Lila, jaga cicit nenek.” “Baik, Nek. Aku akan menjaganya dengan baik,” angguk Kalila saat menerima perhatian Mutia. “Meskipun kamu bukan lagi istri Gio, tapi anak ini tetap penerus keluarga kami.” “Aku mengerti, Nek.” Arka tersenyum kepada Mutia. “Aku antar Lila pulang sebentar ya, Nek?” “Tunggu, Arka. Nenek ingin bicara sama kamu, tidak lama.” Mutia mengisyaratkan Kalila untuk jalan lebih dulu sementara Arka bertahan bersamanya. “Ada apa, Nek?” Mutia menatap Arka lurus-lurus. “Apakah dugaan nenek ini keliru?” “Maksudnya apa, Nek?”
Bik Jani sudah menduga jika suasana di rumah tidak akan setentram dulu. "Mas, apa kamu kecewa?" tanya Nia di malam itu. "Kecewa kenapa?" "Karena aku melahirkan anak perempuan," jawab Nia dengan wajah lesu. "Aku tidak pernah pilih-pilih, memang sudah takdirnya kalau anak kita perempuan. Jangan dijadikan beban," tegur Gio. "Tapi ... aku merasa sikap kamu tidak selayaknya seperti suami yang bahagia karena jadi seorang ayah." "Terus kamu mau aku bagaimana, teriak-teriak?" "Ya bukan begitu, tapi aku merasa kalau ... entahlah, Mas ...." Gio menarik napas. "Mungkin kamu lelah karena jadi ibu baru dan belum ada pengalaman. Lebih baik kamu fokus saja mengurus Sherin, tidak perlu berpikir macam-macam." "Aku mau kamu terus di sampingku." "Menurut kamu apa yang selama ini aku lakukan?" tanya Gio, lama-lama dia jengah juga menghadapi sikap manja Nia. "Aku bahkan rela menentang keluarga demi tetap mempertahankan kamu." Nia mengangguk lemah. "Maksudnya ... aku mau kamu mendampin
“Jadi jenis kelamin anak saya apa, Dok?” “Dari pantauan USG, diprediksi laki-laki. Bulan depan dan seterusnya bisa dipastikan kembali.” Kalila terpaku, baginya memang tidak masalah mau anak laki-laki ataupun perempuan. Yang terpenting adalah janinnya tumbuh dan berkembang sesuai usia. “Bagaimana, Lil?” Arka berdiri untuk menyambut Kalila yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan. “Lancar?” Kalila mengangguk. “Anakku diperkirakan laki-laki!” Arka dan Bik Nuri ikut berbinar-binar. “Saya ikut senang, Nyonya!” “Terima kasih, Bik!” “Itu apa?” tunjuk Arka. “Resep vitamin yang harus ditebus.” “Sini, biar aku yang tebus. Kamu sama Bik Nuri duduk saja di kursi tunggu.” Kalila mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, dia bahagia karena dikelilingi orang-orang baik seperti Arka dan Bik Nuri. *** Beberapa saat yang lalu di kediaman Gio .... “Dasar janda tidak tahu malu, berani-beraninya menggoda suami orang! Punya kaca tidak di rumah? Dasar kotoran kuda!” Selesa
“Apa kegiatan kamu akhir-akhir ini?” Gio balik bertanya, sekaligus ingin menguji sampai sejauh mana Arka akan menjawab jujur. “Kegiatan aku? Standar saja, seperti kamu.” “Oh ya?” Arka mengangguk. “Aku masih bekerja di kantor, bertemu teman-teman ... Standar saja.” Tanpa sadar, tangan Gio mengepal saat Arka tidak menyinggung nama Kalila sama sekali. “Kamu sendiri?” Kali ini Arka yang bertanya. “Aku? Sibuk kerja untuk menafkahi anak istri,” jawab Gio, sengaja memancing Arka. Saudara sepupu Gio itu hanya mengangguk pelan, sama sekali tidak ada celah untuk bisa membahas topik tentang Kalila. Jika Gio membahasnya lebih dulu, maka Arka akan tahu jika dia telah menyaksikan kebersamaan mereka di klinik ibu hamil. “Kamu tahu kalau aku sudah bercerai dari Lila, kan?” Gio tidak tahan jika tidak bertanya. “Aku tahu, dan aku ikut menyayangkan keputusan kalian. Tapi ... pasti kalian memiliki alasannya,” angguk Arka. “Kamu dan Lila berhak bahagia meski di jalan yang berb