Lintang Khoirun Nisa gadis lugu sahabatku yang manis sekarang berubah menjadi wanita dewasa yang begitu anggun dan sangat cantik sekali. Ya Allah terima kasih setidaknya aku bisa melihat wajahnya walaupun hanya sebentar saja, wajah itu wajah yang selama ini sangat aku rindukan."Mas Haris?" tanyanya terkejut melihatku sama seperti diriku tentunya.Seperti lahan yang kekeringan disiram air hujan itulah ungkapan hatiku saat ini, begitu bahagia melihatnya kembali meskipun ia adalah Ibu dari Jingga muridku. Aku meninggalkannya sambil meminta nomor ponselnya."Jingga bisa bicara sebentar, ada yang mau Bapak tanyakan?" tanyaku pada Jingga sambil menyuruhnya duduk di depan kelas."Boleh pak, silahkan mau tanya apa," jawabnya padaku gugup."Lintang itu Mamamu Jingga?""Iya Pak, beliau Mama Jingga," jawabnya sedih."Kenapa sedih begitu.""Emm, sebenarnya Papa Jingga sudah lama meninggal, Pak. Beliau kecelakaan saat itu Mama sedang mengandung adik saya, dan sejak saat itu yang mencari nafkah M
Aku mencoba untuk tidak nervous, sedari dulu selalu begini saat aku janjian dengan Mas Haris, perasaan entah namun aku merasakannya begitu bahagia. Kupandangi cermin, wajahku yang kian menua masih pantaskan punya perasaan yang tidak dapat aku kendalikankendalikan? Entahlah.... Rasaku ini kenapa begitu hangat, aku begitu nyaman berada di dekatnya, tak bisa aku pungkiri jika dulu hari-hariku dengannya begitu menyenangkan. Apa lagi saat kami kejar-kejaran menarik layang-layang, dan kami selalu berantem dengan teman yang lain. Bayangkan saja aku selalu berani sama laki-laki yang menggodaku, al hasil mereka marah, namun aku tak pernah takut karena Mas Haris selalu ada di depanku.Mas Haris selalu marah jika ada lelaki yang menggangguku, kenangan itu begitu indah aku baru menyadarinya bahwa Mas Haris begitu berarti dalam hidupku. Kemana saja aku saat Bapak menjodohkanku saat itu juga hidupku serasa hancur berkeping-keping, inikah rencanamu Yaa Robb, Engkau mempertemukan aku dengannya dius
Entahlah, Aku nyaman dan sangat sangat bahagia saat bersamannya, lelaki yang disampingku ini adalah lelaki yang dirindukan oleh semua kaum hawa sepertiku, bagaimana tidak akupun dari dulu terpesona kepadanya.Sejenak aku menarik napas, menyesuaikan dengan udara di sekeliling. Sampai terasa sebuah jaket dipakaikan ke tubuh ini, menghalau dingin, juga menguarkan aroma wangi yang membawa damai dalam satu waktu."Dingin?" Mas Haris mencondongkan wajah, membuat kami begitu dekat.Apa yang dilakukannya ini lagi-lagi melemparku ke masa lalu. Saat itu, aku mengenakan jaketnya sepanjang malam. Tak hanya itu, Mas Haris juga memelukku sepanjang acara berlangsung. Ya ... kami memang semesra itu, dulu. Tak jarang, kemesraan itu kami tampakkan tanpa canggung. Yang aku tahu ya dulu kami hanya seorang sahabat. "Ini nggak terlalu tebal. Tapi lumayan buat melindungi badan kamu dari udara yang dingin." Kalimat Mas Haris menyentakku dari lamunan. Entah berapa kali kenangan itu melintasi pikiranku sehar
Dadaku bergemuruh, aku berusaha tegar dan tidak gugup ketika melihat Mas Haris, ia tahu jika aku begitu ketakutan, kami melaju melangkah pulang. Mas Haris hanya bisa diam, ia berkata Jika semuanya karena dirinya, karena rasa cintanya pada Mas Haris membuat Sekar menyakitiku.Ia membukakan pintu mobil aku masuk dan duduk dikursi sebelah Mas Haris. Kami terdiam hingga mobil melaju dengan kecepatan pelan. Aku hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. Terlihat lampu penetanhan jalan sudah mulai dinyalakan, lampu kelap-kelip pinghitan kota mulai terlihat. Mobil Mas Haris berhenti di rest area. Banyak kedai makanan-minuman dan taman mini dengan beberapa pohon cemara serta tempat duduk yang disediakan. "Mau minum kopi dulu. Tadi belom sempat aku minum, jadi belum ngopi, serasa ada yang kurang. Yuk, turun!"Aku mengangguk mengikutinya. "Oke, mau pesen kopi juga." Kami turun dari mobil dan berjalan ke salah satu kedai, lalu duduk di kursi kafe itu. "Maaf soal tadi, Lintang?""Lupakan,
Langit sedang menyembunyikan wajahnya dibalik awan, Aku bolak-balik meminum air mineral, tak kuasa menahan beban bahwa Mas Haris menjauhiku, sakit sungguh sangat sakit. Sahabat yang dulu perhatian kini berubah. Ah sudahlah yang penting anak-anak ku bahagia. Pemutaran film pertama dan kedua selesai, kami keluar gedung dan memesan makanan di resto mall, kami menikmati makanan siap saji yang sudaj diamtar oleh pramusaji di depan kami. Dimas membuat kami tersenyum dengan ceritanya, tiba-tiba Dimas memanggil nama seseorang."Kak Nisa ... ayo, gabung sini?" panggil Dimas pada Nisa."Dimas disini juga boleh kami gabung Dimas. Tante." Nisa menyapa kami mbuatku tersenyum. "Iya ... iya kak boleh, lah sini kak," ucap Dimas membuat Mas Haris dan Nisa bergabung dengan kami.Mataku tertuju pada lelaki itu Mas Haris, desiran di dalam tubuhku bertambah kencang. Terima kasih ya Allah kau menjaga pahlawanku Mas Haris sehat dan selamat hingga hari ini, aku melihatnya sehat dan baik-baik saja sudah m
Aku menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, lalu bangkit dan berjalan ke arah balkon atas sambil menatap jauh pepohonan yang tertiup angin. Hembusan angin membuat debaran di hatiku makin kuat. Perasaan ini membuatku semakin muak, aku membencinya menginginkan ia pergi menjauh dari kehidupanku. Aku masuk kamar dan berusaha memejamkan mata. Namun mataku enggan terpejam bayangan wajah Mas Haris membuat aku merasakan pusing yang tak tertahan. Terdengar suara motor di depan rumah. Aku mematikan lampu dan melihatnya, ternyata Mas Fajar lagi sudahlah aku pun kembali keranjang dan berusaha memejamkan mata.Sarapan sudah siap di atas meja, Aku turun memastikan mereka sarapan. Saat aku turun tangga terdengar Jingga dan Dimas sedang membicarakanku. Aku harus istirahat, badanku lagi tidak sehat, tidak bisa menemani kalian sarapan, maafkan Mama sayang. Aku sudah pesan sama Mang Jaja untuk hati-hati. "Bi tumben, Mama. Hari ini tidak ikut makan bareng kita?" tanya Jingga pada Bibi"Mama demam sayang,
Pov Eliana"Hey, ayolah sayang. Ini kan malam minggu besok juga libur kan? Bian mengajak kita lo." Pinta Mas Satria padaku. Aku menghentikan aktifitasku melihat wajah cantik putriku di foto yang sengaja kami besarkan ukurannya. Aku menoleh kearah suamiku itu, aku berpikir sebentar. Kemudian, menarik napas panjang, dan suamiku menatap serius. "Kita makan sebentar saja, please ... demi Bian sayang." Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada memohon. "Iya, baiklah, Mas."Dia tersenyum. "Oke biar, Bian yang pilih tempatnya, ya."Aku hanya mengangguk pelan. Tak juga ingin bertanya lebih lanjut. Tanpa banyak komentar aku hanya menurut saat dia memberiku jaket tebal dan menyuruhku mengikutinya. "Pakailah ini, hawanya mulai dingin," katanya sembari memberikan sebuah jaket padaku.Astaga, apa aku sedang bermimpi! Sadarlah Eliana kau masih belum bisa menemukan Asmara. Aku hanya tersenyum nyeri, Mas Satria menuntunku hingga ke dalam mobil. Kurasa aku tak bisa pura-pura bahagia sebelum
"Apa ...?" tanyaku tak percaya. Kepalaku mendadak pusing. Apa aku tak lagi berminpi. Daffa mencairkan suasana yang tadi tampak tegang. Aku terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Dan Daffa menceritakan semuanya. "Oh, jadi ini benar," ucapku penuh penekanan. "Em ... semoga saja, Ma." Jawaban yang lirih, tapi terasa menamparku keras.Hening beberapa saat. Aku masih setia menatap riuh pengunjung resto ini ke arah samping. Kami saling diam, menatap lekat kedua mataku. Bola matanya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Apa aku bahagia hari ini? Entahlah semua masih semu sebelum kami menemukannya. "Semoga benar, Daffa. Apa langkah kita?" tanya Mas Satria. "Apa aku selidiki dulu, Ayah. Takutnya Mama kecewa lagi. Lagian kotanya dekat dengan rumah, Daffa.""Mama ikut, Nak.""Ma plis. Daffa tak mau, Mama sakit lagi."Aku mendengus kesal. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah aku rasakan, kehilangan anak kandung, tetap saja kenangan indah dulu saat menggendong Asmara sema