Langit sedang menyembunyikan wajahnya dibalik awan, Aku bolak-balik meminum air mineral, tak kuasa menahan beban bahwa Mas Haris menjauhiku, sakit sungguh sangat sakit. Sahabat yang dulu perhatian kini berubah. Ah sudahlah yang penting anak-anak ku bahagia. Pemutaran film pertama dan kedua selesai, kami keluar gedung dan memesan makanan di resto mall, kami menikmati makanan siap saji yang sudaj diamtar oleh pramusaji di depan kami. Dimas membuat kami tersenyum dengan ceritanya, tiba-tiba Dimas memanggil nama seseorang."Kak Nisa ... ayo, gabung sini?" panggil Dimas pada Nisa."Dimas disini juga boleh kami gabung Dimas. Tante." Nisa menyapa kami mbuatku tersenyum. "Iya ... iya kak boleh, lah sini kak," ucap Dimas membuat Mas Haris dan Nisa bergabung dengan kami.Mataku tertuju pada lelaki itu Mas Haris, desiran di dalam tubuhku bertambah kencang. Terima kasih ya Allah kau menjaga pahlawanku Mas Haris sehat dan selamat hingga hari ini, aku melihatnya sehat dan baik-baik saja sudah m
Aku menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, lalu bangkit dan berjalan ke arah balkon atas sambil menatap jauh pepohonan yang tertiup angin. Hembusan angin membuat debaran di hatiku makin kuat. Perasaan ini membuatku semakin muak, aku membencinya menginginkan ia pergi menjauh dari kehidupanku. Aku masuk kamar dan berusaha memejamkan mata. Namun mataku enggan terpejam bayangan wajah Mas Haris membuat aku merasakan pusing yang tak tertahan. Terdengar suara motor di depan rumah. Aku mematikan lampu dan melihatnya, ternyata Mas Fajar lagi sudahlah aku pun kembali keranjang dan berusaha memejamkan mata.Sarapan sudah siap di atas meja, Aku turun memastikan mereka sarapan. Saat aku turun tangga terdengar Jingga dan Dimas sedang membicarakanku. Aku harus istirahat, badanku lagi tidak sehat, tidak bisa menemani kalian sarapan, maafkan Mama sayang. Aku sudah pesan sama Mang Jaja untuk hati-hati. "Bi tumben, Mama. Hari ini tidak ikut makan bareng kita?" tanya Jingga pada Bibi"Mama demam sayang,
Pov Eliana"Hey, ayolah sayang. Ini kan malam minggu besok juga libur kan? Bian mengajak kita lo." Pinta Mas Satria padaku. Aku menghentikan aktifitasku melihat wajah cantik putriku di foto yang sengaja kami besarkan ukurannya. Aku menoleh kearah suamiku itu, aku berpikir sebentar. Kemudian, menarik napas panjang, dan suamiku menatap serius. "Kita makan sebentar saja, please ... demi Bian sayang." Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada memohon. "Iya, baiklah, Mas."Dia tersenyum. "Oke biar, Bian yang pilih tempatnya, ya."Aku hanya mengangguk pelan. Tak juga ingin bertanya lebih lanjut. Tanpa banyak komentar aku hanya menurut saat dia memberiku jaket tebal dan menyuruhku mengikutinya. "Pakailah ini, hawanya mulai dingin," katanya sembari memberikan sebuah jaket padaku.Astaga, apa aku sedang bermimpi! Sadarlah Eliana kau masih belum bisa menemukan Asmara. Aku hanya tersenyum nyeri, Mas Satria menuntunku hingga ke dalam mobil. Kurasa aku tak bisa pura-pura bahagia sebelum
"Apa ...?" tanyaku tak percaya. Kepalaku mendadak pusing. Apa aku tak lagi berminpi. Daffa mencairkan suasana yang tadi tampak tegang. Aku terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Dan Daffa menceritakan semuanya. "Oh, jadi ini benar," ucapku penuh penekanan. "Em ... semoga saja, Ma." Jawaban yang lirih, tapi terasa menamparku keras.Hening beberapa saat. Aku masih setia menatap riuh pengunjung resto ini ke arah samping. Kami saling diam, menatap lekat kedua mataku. Bola matanya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Apa aku bahagia hari ini? Entahlah semua masih semu sebelum kami menemukannya. "Semoga benar, Daffa. Apa langkah kita?" tanya Mas Satria. "Apa aku selidiki dulu, Ayah. Takutnya Mama kecewa lagi. Lagian kotanya dekat dengan rumah, Daffa.""Mama ikut, Nak.""Ma plis. Daffa tak mau, Mama sakit lagi."Aku mendengus kesal. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah aku rasakan, kehilangan anak kandung, tetap saja kenangan indah dulu saat menggendong Asmara sema
Aku memasuki butik dengan kondisi tubuh yang agak kurang sehat, aku merasa sedikit mual. Mendadak aku ingin makan yang hangat-hangat dan yang pedas-pedas gitu yang begitu menggoda lidah. Sesaat aku menyuruh rekan kerjaku untuk membelikannya, tak berselang lama Fahmi sudah masuk lagi keruanganku. "Mbak Lintang, mie ayamnya ditaruh di mana?"Aku menoleh ke arah Fahmi. "Taruh situ saja, Fahmi. Makasih ya."Ia tersenyum kearahku. "Siap, Mbak."Ah, raaanya tak sabar aku untuk menikmatinya, seporsi mie ayam pedas sudah berada di hadapaku, tak berselang lama makanan di depanku sudah habis. Mungkin dengan begini pusing di kepalaku sedikit berkurang, selesai makan satu porsi mie ayam. Aku pun kembali meneliti file yang masuk, selesai aku pun tertidur di sofa butik, mungkin mereka curiga, biasanya aku tidak pernah seperti itu."Mbak Lintang tidak papa, kenapa sih Mbak Lintang?" tanya Elsa padaku seraya memegang keningku."Mbak tidak apa-apa, Elsa, sudah tenang saja," jawabku terbangun dan mula
Ayo saya antar pulang, Lintang?" ajaknya membuatku terus berjalan dan tak menghiraukannya."Lintang, aku mohon, maafkan, Mas aku tahu aku salah?" tanyanya lagi membuat aku malas.Aku berlalu berjalan meninggalkannya, tak ada gunanya berdebat dengan orang pintar seperti Mas Haris. Malas aku berfikir aku terus berjalan dan duduk sambil menunggu mobil jemputan, hari mulai petang lagi bagaimana ini? Aku ambil ponsel dan menelepon Mang Jaja namun hanya berdering saja tak ia jawab. "Lintang, Mas mohon ayo aku antarkan."Ajaknya lagi tak aku hiraukan.Dasar keras kepala, aku sudah malas mendengar orang yang pura-pura baik, biarkan saja aku hidup sendiri tanpa siapapun hanya aku Jingga dan Dimas."Lintang, aku memang salah maafkan, Mas.""Iya sudah aku maafkan, Mas. Tapi maaf jangan ganggu hidupku lagi," jawabku berlalu pergi kemobil jemputan Mang Jaja.Dadaku serasa sesak, aku tak sanggup lagi menahan beban ini, rasa sakitku benar-benar aku rasakan, sesakit ini ya Allah. Aku tidak mengerti
Untung saja aku belum, mentransfer ke rekening Bu Ratna. Lihatlah, Mas Haris meskipun kau menjauh dariku Sekar pasti akan menghancurkan ku kan? ini begitu menyakitkan Mas Haris.Aku lembur dengan Elsa sampai malam hari, aku menelepon Bibi agar menjaga Jingga Juga Dimas, aku harus menyelesaikannya. Aku menyuruh Elsa pulang, namun dia tak mau, akhirnya kami lembur mencari konfeksi baru yang mau bekerja sama dengan kita.Hari semakin petang, Elsa membelikanku makanan kami bekerja hingga malam namun tak juga menemukan yang cocok, akirnya kami memutuskan untuk pulang."Mbak Lintang jangan terlalu dipikirkan, stok kita juga masih banyak kan, Mbak Lintang. Lupa jika dua hari yang lalu kita kedatangan baju dari bu Ratna?" tanya Elsa menyadarkanku."Ya Allah Elsa kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak juga lupa, masih ada beberapa hari buat mencari," jawabku padanya."Saking bingungnya aku juga lupa, Mbak Lintang."Kami pulang, Elsa dijemput suaminya sedangkan aku dijemput Mang Jaja, saat aku mau
"Mama, sudah sembuh? Kata, Pak Haris. Mama sakit?" tanya Jingga padaku, membuat aku tak mengerti harus menjawab apa. Yang sejujurnya ja tungku mulai berdetak tak beraturan. "Iya sayang, Mama sakit," aku menjawab singkat takut jika aku salah menjawab pada Jingga."Pak Haris bilang, Mama, disuruh makan yang banyak, makanya itu tadi bubur ayam dari, Pak Haris. Ma."Aku sedikit terkejut. Alhamdulillah mereka tak tahu soal aku digendong sama Mas Haris semalam. "Lo memang kesini, Pak Haris?" tanyaku pada Jingga penasaran."Iya, Ma, makanya Jingga tahu kalau Mama sakit, ya pas, Pak Haris bawa bubur tadi pagi kesini.""Oh, begitu ... ya sudah makanlah, Nak."Aku pikir Jingga tahu jika semalam aku digendong sama Mas Haris, Alhamdulillah Jingfa tidak tahu. Jadi aman, aku kembali menikmati makanan pemberian Mas Haris. Ia selalu begitu jika aku marah dari dulu, ya Allah hatiku gundah saat ini, namun aku juga sangat senang.Anak-anak kembali siap-siap untuk berangkat ke sekolah, selesai sarapan
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y