Dadaku bergemuruh, aku berusaha tegar dan tidak gugup ketika melihat Mas Haris, ia tahu jika aku begitu ketakutan, kami melaju melangkah pulang. Mas Haris hanya bisa diam, ia berkata Jika semuanya karena dirinya, karena rasa cintanya pada Mas Haris membuat Sekar menyakitiku.Ia membukakan pintu mobil aku masuk dan duduk dikursi sebelah Mas Haris. Kami terdiam hingga mobil melaju dengan kecepatan pelan. Aku hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. Terlihat lampu penetanhan jalan sudah mulai dinyalakan, lampu kelap-kelip pinghitan kota mulai terlihat. Mobil Mas Haris berhenti di rest area. Banyak kedai makanan-minuman dan taman mini dengan beberapa pohon cemara serta tempat duduk yang disediakan. "Mau minum kopi dulu. Tadi belom sempat aku minum, jadi belum ngopi, serasa ada yang kurang. Yuk, turun!"Aku mengangguk mengikutinya. "Oke, mau pesen kopi juga." Kami turun dari mobil dan berjalan ke salah satu kedai, lalu duduk di kursi kafe itu. "Maaf soal tadi, Lintang?""Lupakan,
Langit sedang menyembunyikan wajahnya dibalik awan, Aku bolak-balik meminum air mineral, tak kuasa menahan beban bahwa Mas Haris menjauhiku, sakit sungguh sangat sakit. Sahabat yang dulu perhatian kini berubah. Ah sudahlah yang penting anak-anak ku bahagia. Pemutaran film pertama dan kedua selesai, kami keluar gedung dan memesan makanan di resto mall, kami menikmati makanan siap saji yang sudaj diamtar oleh pramusaji di depan kami. Dimas membuat kami tersenyum dengan ceritanya, tiba-tiba Dimas memanggil nama seseorang."Kak Nisa ... ayo, gabung sini?" panggil Dimas pada Nisa."Dimas disini juga boleh kami gabung Dimas. Tante." Nisa menyapa kami mbuatku tersenyum. "Iya ... iya kak boleh, lah sini kak," ucap Dimas membuat Mas Haris dan Nisa bergabung dengan kami.Mataku tertuju pada lelaki itu Mas Haris, desiran di dalam tubuhku bertambah kencang. Terima kasih ya Allah kau menjaga pahlawanku Mas Haris sehat dan selamat hingga hari ini, aku melihatnya sehat dan baik-baik saja sudah m
Aku menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, lalu bangkit dan berjalan ke arah balkon atas sambil menatap jauh pepohonan yang tertiup angin. Hembusan angin membuat debaran di hatiku makin kuat. Perasaan ini membuatku semakin muak, aku membencinya menginginkan ia pergi menjauh dari kehidupanku. Aku masuk kamar dan berusaha memejamkan mata. Namun mataku enggan terpejam bayangan wajah Mas Haris membuat aku merasakan pusing yang tak tertahan. Terdengar suara motor di depan rumah. Aku mematikan lampu dan melihatnya, ternyata Mas Fajar lagi sudahlah aku pun kembali keranjang dan berusaha memejamkan mata.Sarapan sudah siap di atas meja, Aku turun memastikan mereka sarapan. Saat aku turun tangga terdengar Jingga dan Dimas sedang membicarakanku. Aku harus istirahat, badanku lagi tidak sehat, tidak bisa menemani kalian sarapan, maafkan Mama sayang. Aku sudah pesan sama Mang Jaja untuk hati-hati. "Bi tumben, Mama. Hari ini tidak ikut makan bareng kita?" tanya Jingga pada Bibi"Mama demam sayang,
Pov Eliana"Hey, ayolah sayang. Ini kan malam minggu besok juga libur kan? Bian mengajak kita lo." Pinta Mas Satria padaku. Aku menghentikan aktifitasku melihat wajah cantik putriku di foto yang sengaja kami besarkan ukurannya. Aku menoleh kearah suamiku itu, aku berpikir sebentar. Kemudian, menarik napas panjang, dan suamiku menatap serius. "Kita makan sebentar saja, please ... demi Bian sayang." Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada memohon. "Iya, baiklah, Mas."Dia tersenyum. "Oke biar, Bian yang pilih tempatnya, ya."Aku hanya mengangguk pelan. Tak juga ingin bertanya lebih lanjut. Tanpa banyak komentar aku hanya menurut saat dia memberiku jaket tebal dan menyuruhku mengikutinya. "Pakailah ini, hawanya mulai dingin," katanya sembari memberikan sebuah jaket padaku.Astaga, apa aku sedang bermimpi! Sadarlah Eliana kau masih belum bisa menemukan Asmara. Aku hanya tersenyum nyeri, Mas Satria menuntunku hingga ke dalam mobil. Kurasa aku tak bisa pura-pura bahagia sebelum
"Apa ...?" tanyaku tak percaya. Kepalaku mendadak pusing. Apa aku tak lagi berminpi. Daffa mencairkan suasana yang tadi tampak tegang. Aku terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Dan Daffa menceritakan semuanya. "Oh, jadi ini benar," ucapku penuh penekanan. "Em ... semoga saja, Ma." Jawaban yang lirih, tapi terasa menamparku keras.Hening beberapa saat. Aku masih setia menatap riuh pengunjung resto ini ke arah samping. Kami saling diam, menatap lekat kedua mataku. Bola matanya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Apa aku bahagia hari ini? Entahlah semua masih semu sebelum kami menemukannya. "Semoga benar, Daffa. Apa langkah kita?" tanya Mas Satria. "Apa aku selidiki dulu, Ayah. Takutnya Mama kecewa lagi. Lagian kotanya dekat dengan rumah, Daffa.""Mama ikut, Nak.""Ma plis. Daffa tak mau, Mama sakit lagi."Aku mendengus kesal. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah aku rasakan, kehilangan anak kandung, tetap saja kenangan indah dulu saat menggendong Asmara sema
Aku memasuki butik dengan kondisi tubuh yang agak kurang sehat, aku merasa sedikit mual. Mendadak aku ingin makan yang hangat-hangat dan yang pedas-pedas gitu yang begitu menggoda lidah. Sesaat aku menyuruh rekan kerjaku untuk membelikannya, tak berselang lama Fahmi sudah masuk lagi keruanganku. "Mbak Lintang, mie ayamnya ditaruh di mana?"Aku menoleh ke arah Fahmi. "Taruh situ saja, Fahmi. Makasih ya."Ia tersenyum kearahku. "Siap, Mbak."Ah, raaanya tak sabar aku untuk menikmatinya, seporsi mie ayam pedas sudah berada di hadapaku, tak berselang lama makanan di depanku sudah habis. Mungkin dengan begini pusing di kepalaku sedikit berkurang, selesai makan satu porsi mie ayam. Aku pun kembali meneliti file yang masuk, selesai aku pun tertidur di sofa butik, mungkin mereka curiga, biasanya aku tidak pernah seperti itu."Mbak Lintang tidak papa, kenapa sih Mbak Lintang?" tanya Elsa padaku seraya memegang keningku."Mbak tidak apa-apa, Elsa, sudah tenang saja," jawabku terbangun dan mula
Ayo saya antar pulang, Lintang?" ajaknya membuatku terus berjalan dan tak menghiraukannya."Lintang, aku mohon, maafkan, Mas aku tahu aku salah?" tanyanya lagi membuat aku malas.Aku berlalu berjalan meninggalkannya, tak ada gunanya berdebat dengan orang pintar seperti Mas Haris. Malas aku berfikir aku terus berjalan dan duduk sambil menunggu mobil jemputan, hari mulai petang lagi bagaimana ini? Aku ambil ponsel dan menelepon Mang Jaja namun hanya berdering saja tak ia jawab. "Lintang, Mas mohon ayo aku antarkan."Ajaknya lagi tak aku hiraukan.Dasar keras kepala, aku sudah malas mendengar orang yang pura-pura baik, biarkan saja aku hidup sendiri tanpa siapapun hanya aku Jingga dan Dimas."Lintang, aku memang salah maafkan, Mas.""Iya sudah aku maafkan, Mas. Tapi maaf jangan ganggu hidupku lagi," jawabku berlalu pergi kemobil jemputan Mang Jaja.Dadaku serasa sesak, aku tak sanggup lagi menahan beban ini, rasa sakitku benar-benar aku rasakan, sesakit ini ya Allah. Aku tidak mengerti
Untung saja aku belum, mentransfer ke rekening Bu Ratna. Lihatlah, Mas Haris meskipun kau menjauh dariku Sekar pasti akan menghancurkan ku kan? ini begitu menyakitkan Mas Haris.Aku lembur dengan Elsa sampai malam hari, aku menelepon Bibi agar menjaga Jingga Juga Dimas, aku harus menyelesaikannya. Aku menyuruh Elsa pulang, namun dia tak mau, akhirnya kami lembur mencari konfeksi baru yang mau bekerja sama dengan kita.Hari semakin petang, Elsa membelikanku makanan kami bekerja hingga malam namun tak juga menemukan yang cocok, akirnya kami memutuskan untuk pulang."Mbak Lintang jangan terlalu dipikirkan, stok kita juga masih banyak kan, Mbak Lintang. Lupa jika dua hari yang lalu kita kedatangan baju dari bu Ratna?" tanya Elsa menyadarkanku."Ya Allah Elsa kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak juga lupa, masih ada beberapa hari buat mencari," jawabku padanya."Saking bingungnya aku juga lupa, Mbak Lintang."Kami pulang, Elsa dijemput suaminya sedangkan aku dijemput Mang Jaja, saat aku mau