"Apa ...?" tanyaku tak percaya. Kepalaku mendadak pusing. Apa aku tak lagi berminpi. Daffa mencairkan suasana yang tadi tampak tegang. Aku terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Dan Daffa menceritakan semuanya. "Oh, jadi ini benar," ucapku penuh penekanan. "Em ... semoga saja, Ma." Jawaban yang lirih, tapi terasa menamparku keras.Hening beberapa saat. Aku masih setia menatap riuh pengunjung resto ini ke arah samping. Kami saling diam, menatap lekat kedua mataku. Bola matanya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Apa aku bahagia hari ini? Entahlah semua masih semu sebelum kami menemukannya. "Semoga benar, Daffa. Apa langkah kita?" tanya Mas Satria. "Apa aku selidiki dulu, Ayah. Takutnya Mama kecewa lagi. Lagian kotanya dekat dengan rumah, Daffa.""Mama ikut, Nak.""Ma plis. Daffa tak mau, Mama sakit lagi."Aku mendengus kesal. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah aku rasakan, kehilangan anak kandung, tetap saja kenangan indah dulu saat menggendong Asmara sema
Aku memasuki butik dengan kondisi tubuh yang agak kurang sehat, aku merasa sedikit mual. Mendadak aku ingin makan yang hangat-hangat dan yang pedas-pedas gitu yang begitu menggoda lidah. Sesaat aku menyuruh rekan kerjaku untuk membelikannya, tak berselang lama Fahmi sudah masuk lagi keruanganku. "Mbak Lintang, mie ayamnya ditaruh di mana?"Aku menoleh ke arah Fahmi. "Taruh situ saja, Fahmi. Makasih ya."Ia tersenyum kearahku. "Siap, Mbak."Ah, raaanya tak sabar aku untuk menikmatinya, seporsi mie ayam pedas sudah berada di hadapaku, tak berselang lama makanan di depanku sudah habis. Mungkin dengan begini pusing di kepalaku sedikit berkurang, selesai makan satu porsi mie ayam. Aku pun kembali meneliti file yang masuk, selesai aku pun tertidur di sofa butik, mungkin mereka curiga, biasanya aku tidak pernah seperti itu."Mbak Lintang tidak papa, kenapa sih Mbak Lintang?" tanya Elsa padaku seraya memegang keningku."Mbak tidak apa-apa, Elsa, sudah tenang saja," jawabku terbangun dan mula
Ayo saya antar pulang, Lintang?" ajaknya membuatku terus berjalan dan tak menghiraukannya."Lintang, aku mohon, maafkan, Mas aku tahu aku salah?" tanyanya lagi membuat aku malas.Aku berlalu berjalan meninggalkannya, tak ada gunanya berdebat dengan orang pintar seperti Mas Haris. Malas aku berfikir aku terus berjalan dan duduk sambil menunggu mobil jemputan, hari mulai petang lagi bagaimana ini? Aku ambil ponsel dan menelepon Mang Jaja namun hanya berdering saja tak ia jawab. "Lintang, Mas mohon ayo aku antarkan."Ajaknya lagi tak aku hiraukan.Dasar keras kepala, aku sudah malas mendengar orang yang pura-pura baik, biarkan saja aku hidup sendiri tanpa siapapun hanya aku Jingga dan Dimas."Lintang, aku memang salah maafkan, Mas.""Iya sudah aku maafkan, Mas. Tapi maaf jangan ganggu hidupku lagi," jawabku berlalu pergi kemobil jemputan Mang Jaja.Dadaku serasa sesak, aku tak sanggup lagi menahan beban ini, rasa sakitku benar-benar aku rasakan, sesakit ini ya Allah. Aku tidak mengerti
Untung saja aku belum, mentransfer ke rekening Bu Ratna. Lihatlah, Mas Haris meskipun kau menjauh dariku Sekar pasti akan menghancurkan ku kan? ini begitu menyakitkan Mas Haris.Aku lembur dengan Elsa sampai malam hari, aku menelepon Bibi agar menjaga Jingga Juga Dimas, aku harus menyelesaikannya. Aku menyuruh Elsa pulang, namun dia tak mau, akhirnya kami lembur mencari konfeksi baru yang mau bekerja sama dengan kita.Hari semakin petang, Elsa membelikanku makanan kami bekerja hingga malam namun tak juga menemukan yang cocok, akirnya kami memutuskan untuk pulang."Mbak Lintang jangan terlalu dipikirkan, stok kita juga masih banyak kan, Mbak Lintang. Lupa jika dua hari yang lalu kita kedatangan baju dari bu Ratna?" tanya Elsa menyadarkanku."Ya Allah Elsa kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak juga lupa, masih ada beberapa hari buat mencari," jawabku padanya."Saking bingungnya aku juga lupa, Mbak Lintang."Kami pulang, Elsa dijemput suaminya sedangkan aku dijemput Mang Jaja, saat aku mau
"Mama, sudah sembuh? Kata, Pak Haris. Mama sakit?" tanya Jingga padaku, membuat aku tak mengerti harus menjawab apa. Yang sejujurnya ja tungku mulai berdetak tak beraturan. "Iya sayang, Mama sakit," aku menjawab singkat takut jika aku salah menjawab pada Jingga."Pak Haris bilang, Mama, disuruh makan yang banyak, makanya itu tadi bubur ayam dari, Pak Haris. Ma."Aku sedikit terkejut. Alhamdulillah mereka tak tahu soal aku digendong sama Mas Haris semalam. "Lo memang kesini, Pak Haris?" tanyaku pada Jingga penasaran."Iya, Ma, makanya Jingga tahu kalau Mama sakit, ya pas, Pak Haris bawa bubur tadi pagi kesini.""Oh, begitu ... ya sudah makanlah, Nak."Aku pikir Jingga tahu jika semalam aku digendong sama Mas Haris, Alhamdulillah Jingfa tidak tahu. Jadi aman, aku kembali menikmati makanan pemberian Mas Haris. Ia selalu begitu jika aku marah dari dulu, ya Allah hatiku gundah saat ini, namun aku juga sangat senang.Anak-anak kembali siap-siap untuk berangkat ke sekolah, selesai sarapan
Mereka menyiapkan makan siang untuk kami, kami menikamati makan bersama, Mas Haris yang begitu supel dan mudah bergaul membuat teman-temannya begitu menyukainya. Sedikit hatiku mencair ego yang aku miliki akhirnya mencair seperti lilin. aku mungkin yang salah mengartikan ucapan Mas Haris waktu itu, hingga kami salah paham.Kami pamit untuk pulang, Mas Haris saat ini izin tidak mengajar karena menemaniku kesini. Terkadang aku merasa bersalah dari dulu sering memarahinya namun ia selalu mangalah dan selalu meninta maaf. Membuat aku tak tega melihatnya, ponselku berdering ternyata dari Elsa.[Mbak hari ini butik sangat ramai, stok kita tinggal sedikit, bagaimana, Mbak?]Terdengar Elsa begitu cemas[Alhamdulillah Elsa, kalau rame,][Tapi Elsa belum menemukan konfeksi yang cocok, Mbak][Sudah tidak usah bingung, nanti kita bicarakan][Baik, Mbak]Aku meminta Mbak Dinda buat memajukan tanggal pengiriman, dan dia menyetujuinya, kami di antar ke depan dan kami masuk ke dalam mobil. Sesekali A
Reindra's povGeliat tubuh wanita di sampingku menghentikan semua ingatan yang sempat melintas. Aku menoleh, menatap wajahnya yang terlelap. Wajah yang selalu membuatku begitu jatuh cinta. Namun, kini kerap membuatku merasa ingin menangis saat menatapnya, entah pada siapa beban kehilangan anak kami yang membuatnya menjadi pendiam dan selalu murung. Apalagi saat Mama Ita meninggalkan kami, membuatnya lebih banyak melamun. Wanita yang sangat aku cintai di setiap detiknya. Hatinya terluka sejak kejadian penculikan itu, aku mencium pipinya dengan lembut lalu memeluknya hingga aku tertidur. Enggan rasanya membuka mata, aku memilih melanjutkan tidur. Sampai aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku. Kubuka mata perlahan namun tak ada seorangpun dan mendapati ternyata aku sedang berminpi. Aku membuka mata, ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan istriku Eliana setelah aku mengingat apa yang te
Aku menuruni tangga dari kamar atasku, aku menyiapkan masakan sup daging untuk anak-anakku, dibantu sama Bibi selang beberapa menit anak-anak sampai di rumah, ku tunggu Jingga yang sedang berganti pakaian dan menuju meja makan."Mama, telat terus sih pulangnya, Jingga jadi kesepian ga ada teman ngobrol?" tanya Jingga padaku sambil mengambil nasi dipiringnya."Iya, maaf sayang, Di butik lagi ada masalah, tapi Alhamdulillah sudah teratasi sayang, maaf ya Nak, Mama pulangnya telat terus beberapa hari ini!" jawabku pada Jingga sambil memberi nasi di piring Dimas."Ya Allah, Ma ko bisa butik dalam masalah." Jingga terlihat sedih."Ya begitulah hidup sayang, pasti kalau lihat, Mama rezekinya lancar ada saja ujiannya, sudah jangan dipikirkan semua sudah beres, berkat, Pak Haris yang membantu, Mama.""Cieee, Mama. Pantesan, Pak Haris tidak ke sekolah, jadi membantu, Mama." Jingga menggodaku."Di musholla juga tak terlihat Pak ustad, Mama kenapa tidak menikah saja sama Pak Ustad Haris kan ena