Reindra's povGeliat tubuh wanita di sampingku menghentikan semua ingatan yang sempat melintas. Aku menoleh, menatap wajahnya yang terlelap. Wajah yang selalu membuatku begitu jatuh cinta. Namun, kini kerap membuatku merasa ingin menangis saat menatapnya, entah pada siapa beban kehilangan anak kami yang membuatnya menjadi pendiam dan selalu murung. Apalagi saat Mama Ita meninggalkan kami, membuatnya lebih banyak melamun. Wanita yang sangat aku cintai di setiap detiknya. Hatinya terluka sejak kejadian penculikan itu, aku mencium pipinya dengan lembut lalu memeluknya hingga aku tertidur. Enggan rasanya membuka mata, aku memilih melanjutkan tidur. Sampai aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku. Kubuka mata perlahan namun tak ada seorangpun dan mendapati ternyata aku sedang berminpi. Aku membuka mata, ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan istriku Eliana setelah aku mengingat apa yang te
Aku menuruni tangga dari kamar atasku, aku menyiapkan masakan sup daging untuk anak-anakku, dibantu sama Bibi selang beberapa menit anak-anak sampai di rumah, ku tunggu Jingga yang sedang berganti pakaian dan menuju meja makan."Mama, telat terus sih pulangnya, Jingga jadi kesepian ga ada teman ngobrol?" tanya Jingga padaku sambil mengambil nasi dipiringnya."Iya, maaf sayang, Di butik lagi ada masalah, tapi Alhamdulillah sudah teratasi sayang, maaf ya Nak, Mama pulangnya telat terus beberapa hari ini!" jawabku pada Jingga sambil memberi nasi di piring Dimas."Ya Allah, Ma ko bisa butik dalam masalah." Jingga terlihat sedih."Ya begitulah hidup sayang, pasti kalau lihat, Mama rezekinya lancar ada saja ujiannya, sudah jangan dipikirkan semua sudah beres, berkat, Pak Haris yang membantu, Mama.""Cieee, Mama. Pantesan, Pak Haris tidak ke sekolah, jadi membantu, Mama." Jingga menggodaku."Di musholla juga tak terlihat Pak ustad, Mama kenapa tidak menikah saja sama Pak Ustad Haris kan ena
Setelah mereka pergi, aku menemani Jingga juga Dimas belajar, selesai menemaninya aku ke kamar Dimas, menunggunya tertidur, Dimas meskipun sudah besar, namun ia masih saja manja minta ditemani saat tidur, Dimas sudah beranjak menjadi dewasa lihat saja wajahnya persis dengan Almarhum Papanya, matanya juga sama.Mas Emiel kau lelaki yang sangat baik kau begitu sempurna untukku, bersamamu yang hanya beberapa bulan membuatku lupa bagaimana caranya menangis setelah kepergianmu hampir tiap hari aku menangis. Aku sadar, Mas Emiel inilah jalan takdirku, kau datang dikehidupanku hanya untuk menjaga Jingga juga Dimas.Tetaplah tenang dialam sana Mas, Semoga engkau selalu berada disisiNYA, Aku akan menjaga Jingga dan juga Dimas untukmu, percayalah meskipun aku bukan Ibu kandung Jingga aku pun sama menyayanginya terus hingga Jingga tumbuh menjadi gadis yang Soleha.Malam semakin larut aku melihat ke kamar Jingga, dan ia sudah terlelap dalam tidurnya, Aku mendekati lalu mencium keningnya, gadis ya
"Mas ini waktunya ngajar sudah sana berangkat?" tanyaku membuatnya tersenyum."Tadi perasaan, Mas. Ga enak, benar saja sampai sini aku melihat mak lampir sudah ada disini!" "Makasih, Mas, sudah sana nanti telat lo. Eh iya Mas. Di rumah ada kakakku Mas Bian. Dan aku sudah menemukan keluargaku.""Apa?"Aku mengangguk. "Ya, jadi aku itu dulu diculik oleh Bapakku. Dari orang tua kandungku, Mas. "Serius ... kok aku baru tahu sih.""Ayah, dan Mamaku masih hidup. Mas.""Alhamdulillah, selamat ya Lintang."Aku tersenyum. "Ya, Mas. Sana nanti aku ceritakan. Telat lo.""Baiklah aku pergi dulu ya. Asslamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam, Mas."Mas Haris berlalu menendarai sepeda motor, aku melihatnya hingga punggung Mas Haris tak lagi terlihat. Aku memasuki butik, benar setelah sehari kemarin aku tidak masuk baju tinggal sedikit. Mas Haris kau membantuku, entah apa jadinya jika kau tak menolongku, mungkin butik ini akan kehilangan pelanggan."Mbak, gimana nih pengunjung mulai rame lagi namun stokny
"Asmara, ini benar kamu, kan, Nak?" tanya wanita paruh baya yang sangat cantik itu meski usianya tak lagi muda. Sesaat aku beku. Aku menangis, beban yang sejak tadi aku pendam sendiri, kini lebih terasa ringan, menguar begitu saja. Apakah ini wanita yang telah mengandung dan melahirkanku benerapa tahin yang lalu. "Iya, ini Asmara. Ma---mama," jawabku terbata. "Iya ini Mama kamu, Nak."Perasaanku membuncah. Tetesan hujan dipipiku mulai mereda, tak lagi membuatku kesepian. Hidupku kini telah kembali. Aku memeluknya erat. Seperti baru saja melepas ikatan kencang yang membuatku sesak selama ini. Ya aku berada dalam dekapan sang Ibu. "Jangan tinggalkan, Mama sendirian lagi, Nak," lirih beliau. Sebenarnya, bukan saat ini, tapi sudah lama aku merindukan Ibu kandungku. Hanya saja saat ini adalah pertemuan yang begitu indah, ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku tidak tahu, langkah apa yang aku ambil jika tadi tidak berpikir panjang. Bayangkan saja aku saat ini sedang bersandar pada
Pagi yang begitu cerah secerah hatiku, aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkira. Mama memasak untuk kami sarapan bersama, ramai keluarga baruku berkumpul menikmati sarapan bersama. Dimas dan Jingga pun bahagia. "Wah enak ya masakan, Mama.""Makanya, Papa. kamu ini selalu jatuh cinta, Lintang."Kami semua tertawa melihat wajah Mama yang memerah. "Ma, tinggallah disini bersama, Papq. Ya."Mama menoleh kearah, Papa. Juga kakak-kakakku. "Mama mau sekali, Lintang. Tapi boleh gak sama, Papa juga anak-anak." Terlihat Mama begitu cemas. "Boleh, sayang." Jelas Papa. "Boleh, Daffa. Bian, Cika?" tanya Mama. Mereka mengangguk. "Boleh, Ma.""Alhamdulillah."Kami diantar Papa mengantarkan Jingga dan Dimas kesekolah. Papa kembali mengantarkanku ke toko, tempat aku bekerja dibutik seperti biasa."Papa, Lintang kerja dulu ya. Jaga Mama. Papa."Papa tersenyum. "Siap, sayang. Papa pulang ya.""Iya, Papa."Kulangkahkan kaki masuk kedalam butik, hari ini aku bahagia. Alhamdulillah hari ini pengun
Aku pamit sama Ayah dan Mama sebentar dan menyuruh Bibi buat beli oleh-oleh di toko buah dan kue didepan gang, kami bersiap-siap untuk kerumah Mas Haris, akupun belum pernah melihat seperti apa rumahnya, kami diantar Mang Jaja kerumah Mas Haris, selang beberapa menit kami telah sampai depan rumah Nisa. MasyaAllah rumah yang begitu indah, kami semua terpesona melihat rumah yang elegan begitu indah.Kami masuk dan disambut oleh wanita paruh baya yang begitu cantik, Ia mempersilahkan kami duduk, dan Nisa duduk disamping eyangnya. Selama aku menjadi sahabatnya baru kali ini aku melihat Ibunya Mas Haris yang begitu baik, dulu setiap aku kerumahnya hanya ada Ayahnya yang ada di rumah."Maaf Bu, kami mengantar, Nisa pulang dan ini rombongan nganterinnya." Sapaku pada wanita paruh baya itu."Ibu yang minta maaf, Nak, jadi ngrepotin antar, Nisa segala." ucapnya padaku.Jingga dan Dimas diajak main dengan Nisa. Sementara aku mengobrol dengan Ibunya Mas Haris. Wanita yang lembut dan sangat baik,
Sayub-sayub terdengar suara azan aku bergegas mengambil air wudhu, Aku menjalankan kewajibanku untuk melaksanakan salat berama Ayah dan Maam dan anak-anak. Selesai aku, Mama menyiapkan sarapan buat anak-anak, mereka pesan jika mau dibikin in mie bihun goreng dan telur ceplok, dibantu Bibi.Selesai kami semua menikmati sarapan bersama."Ma, Jingga pulang agak telat ada tugas di sekolah." Jingga seraya merapikan jilbabnya."Baiklah sayang, bilang sama, Mang Jaja ya biar nanti dijemput!""Iya, Ma.""Kalau, Dimas gimana sayang?""Seperti biasa, Ma,""Ok."Kami bersiap dan berjalan mendekati Mama dan Ayah. "Ma, Ayah. Lintang berangkat ya.""Hati-hati, Nak.""Iya, Ma. Ayah."Kami berangkat bersama, tak berselang lama aku sudah berada di butik tempat kerjaku, Dan Alhamdulillah hari ini sungguh pembeli begitu banyak dan suka dengan modelnya baju yang simple dan pas didompet ucap para pelangganku, Alhamdulillah semua berjalan lancar, terima kasih Mas Haris kamu adalah malaikat pelindungku.se
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y