Sayub-sayub terdengar suara azan aku bergegas mengambil air wudhu, Aku menjalankan kewajibanku untuk melaksanakan salat berama Ayah dan Maam dan anak-anak. Selesai aku, Mama menyiapkan sarapan buat anak-anak, mereka pesan jika mau dibikin in mie bihun goreng dan telur ceplok, dibantu Bibi.Selesai kami semua menikmati sarapan bersama."Ma, Jingga pulang agak telat ada tugas di sekolah." Jingga seraya merapikan jilbabnya."Baiklah sayang, bilang sama, Mang Jaja ya biar nanti dijemput!""Iya, Ma.""Kalau, Dimas gimana sayang?""Seperti biasa, Ma,""Ok."Kami bersiap dan berjalan mendekati Mama dan Ayah. "Ma, Ayah. Lintang berangkat ya.""Hati-hati, Nak.""Iya, Ma. Ayah."Kami berangkat bersama, tak berselang lama aku sudah berada di butik tempat kerjaku, Dan Alhamdulillah hari ini sungguh pembeli begitu banyak dan suka dengan modelnya baju yang simple dan pas didompet ucap para pelangganku, Alhamdulillah semua berjalan lancar, terima kasih Mas Haris kamu adalah malaikat pelindungku.se
Kasian sekali Nisa, bayangkan jika dirumah hanya ada Eyangnya mana berani Dia bicara soal dirinya yang baru pertama kali haid. Nisa memang butuh sosok Ibu kasihan sekali dia, aku Jingga juga Nisa ke mini market buat beli keperluan Nisa, karena ia belum tahu dan masih sangat malu. Akhirnya aku belikan stok yang banyak. Ia memeluk Jingga karena Jingga menasehatinya.Rukun sekali mereka coba saja kami bisa bersatu pasti akan lebih indah lagi, kebersamaan saling membantu satu sama lain, Nisa memelukku Ia bilang terima kasihnya karena aku telah mengajarinya. Kami pulang kerumah dan Mas Haris sudah menunggu di ruang tamu."Dari mana sih kok rame-rame, Nisa ga ajak-ajak, Ayah?" tanya Mas Haris pada putrinya."Hehe maaf, Ayah urusan perempuan!" jawab Nisa sambil mencium pipi Ayahnya."Jingga ajak masuk dulu Nisa Nak.""Baik, Ma."Aku memberitahu Mas Haris apa yang terjadi pada Nisa, ia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih padaku, lelaki ini membaut dadaku berdebar, Rasa sayangnya pada p
Kadang hidup kita seperti cakrawala dibasahi hujan dan dikeringkan dengan sinar sang matahari. Tapi apapun yang memberi warna di dalam hidupku adalah senyum terindah Mas Haris, begitulah ungkapan perasaanku untuk Mas Haris aku tidak boleh menyerah, aku pasti bisa melewati ini semua. Sejuknya udara kota ini langsung menyergap, begitu kaki ini menjejak butik dengan penerangan temaram itu. Ditambah dres berbahan sifon yang aku kenakan, membuat dingin leluasa menusuk, dan masuk melalui celah pori. Masih diguyur rintik hujan, aku memasuki butik dengan baju sedikit basah, aku mengambil kursi kutarik mendekati meja. Aku menyelesaikan tugas di butik dan ingin segera menemui, Mas Haris. Entah kapan bermula, tetapi belakangan ini wajah tampan Mas Haris selalu terlukis indah dalam benakku. Bertemu dengan pria itu, merupakan hal yang sangat ia tunggu, meski ada yang berdesir aneh dalam dadanya. Terlebih saat melihat Mas Haris sering gugup saat nerhadapan denganku, dan aku sangat menyukai dan me
Aku mengangguk pelan sambil menunduk malu. "Ya, Lintang menerimanya, Ayah.""Alhamdulillah. Diterima Nak Haris."Mas Haris menggagguk senang. "Iya, Pak. Bu."Kami mengobrol hingga aku lupa ada janji sama Mas Haris. Dia mengajakku hari ini kita akan bertemu Ibu mertuanya. Bismillah kata Mas Haris, sesuatu yang diniati dengan baik. InsyaAllah pasti kedepannya baik. Mas Haris pamit pada Ayah dan Mama untuk pulang karena nanti akan balik lagi kami akan keluar bersama Mas Haris. Aku memasuki kamar lalu bergegas mandi, hari sudah mulai sore, setelah menjalankan salat asyar berjamaah. Aku juga Bibi dan Mama menyiapkan makan malam, ada opor ayam kesukaan Jingga dan Dimas. "Jingga, Dimas, mau makan sekarang apa nanti? Ini makananya sudah siap?" tanyaku pada anak-anak."Ini masih ada tugas, Ma. Tanggung, Mama. kurang sebentar lagi," jawab Dimas yang lagi mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya."Mama tunggu ya, sebentar lagi Mama mau keluar sebentar, sayang.""Iya Ma, baiklah sekarang saj
Tiga purnama berlalu, malam menjelang akad nikah, serombongan tukang dekor datang dan merias ruang tamu dan kamarku dengan bunga-bunga dan bola lampu. Mereka adalah EO yang di sewa oleh Ayah. Sederhana sih namun tampak begitu wah menurutku. Keceriaanku seakan menular, pada keluargaku mereka begitu bahagia. Kali ini di rumahku suasananya sangat ramai. Banyak para tetangga yang datang membantu persiapan kami. EO yang kompak juga semua keluargaku, ya aku rasa ini sangat meriah sekali."Mbak Lintang, mawar putih ini memang pilihan yang tepat. Sangat indah dilihatnya. Mudah mudahan kali ini, Mbak puas ya.""Iya, bagus," jawabku pada salah satu EO. "Kalau dekorasinya?"Bahkan seharian ini aku sudah tak bisa istirahat dari pengajian Ibu-ibu, siraman dan lain-lain membuatku begitu lelah. "Tenang saja, bagus kok. Simple dan aku suka.""Alhamdulillah, kalau suka. Semoga pernikahannya lancar ya, Mbak.""Aamiin, iya."Aku tersenyum. Semua hiasan ini tidak ada yang lebih penting daripada akad n
Saat ini adalah hari membahagiakan untukku, seperti layaknya yang diimpikan para gadis di luar sana. Membuat dadaku terasa berdebar tak menentu "Wah cantik sekali, Mbak Lintang." Elsa lagi-lagi menggodaku. Aku tersenyum. " Cantik lah, wanita.""Serius, pantas saja Pak guru Haris tergila-gila.""Hhmm mulai deh."Aku bercanda dengan Elsa, datang Mama mendekatiku. "Sudah siap, Nak. Nak Haris dan penghulunya sudah datang."Aku tersenyum. "Iya, Mama."Aku begitu nervous tanganku begitu dingin. Dan aku berjalan di dampingi Mama juga Ayah dan kakak-kakakku, juga anak-anakku menuju ruang ijab qobul. Kali ini aku merasa bahagia dan berdebar menjelang waktu ijab kabul, saat ini justru aku merasa begitu takut dan entahlah ... tak lama terdengar suara penghulu datang. Jantungku naik turun merasakan perasan yang entah. Namun aku menatap Mas Haris, dia begitu tenang di dampingi Mama juga Ibu mertuanya. "Apa, Nak Lintang bersedia menerima Frans dengan ikhlas, tanpa paksaan dari siapapun?" tanya
POV Haris Tepat pukul sembilan malam acara resepsi sudah selesai. Kami ke kamar untuk mengganti pakaian dan bersih-bersih. Suasana diluar rumah Lintang begitu ramai sekali, karena keluarga besarnya berkumpul di sini. Perkenalan satu persatu keluarganya yang banyak membuatku susah untuk menginggat nama mereka satu persatu. "Wah indah sekali, kenapa kamarnya banyak bunga ya?" godaku pada Lintang. "Hmm ngedek, nih ceritanya," jawab Lingang seraya tersenyum di depan cermin. "Serius, nanya ich?" "Sejak kapan nih Pak Haris jadi norak dan kampungan gini?" tanyanya. "Sejak, ketemu kamu."Aku tertawa kecil. Melihat tingkah Lintang yang agak canggung bayangkan saja jauh di dalam hatiku aku sudah tak tahan ingin memeluk tubuh Lintang erat. Selesai mengatur napas, wanita cantik itu mulai melepas kerudung dan gaun pengantin. Menganti dengan baju biasa dan menghapus make up dengan kapas dan cairan pembersih wajah. Beberapa saat yang lalu aku telah mencipta rona kemerahan pada wajahnya. Linta
Aku menggeleng pelan dan tersenyum, dan mencium pipinya. Mataku perlahan-lahan memandang wajah Lintang yang sangat cantik, sudut bibirku terangkat melihat pemandangan yang sangat indah di depanku, dengan lembut aku menarik tangannya, dan aku menganggat tubuhnya berjalan menuju ranjang. Aku mengecup bibir tipis itu, lalu menciumi seluruh wajah Lintang. Dengan nafas yang tak beraturan aku bergerak di atas tubuh Lintang. Tangan dan bibirku mulai bicara, membuat Lintang mencekeram erat punggung bidangku.Aku menggila mendengar desah menyenangkan keluar dari mulut ranumnya. Sentuhan itu begitu lembut, hingga membuat tubuh Lintang menjadi lemas tak berdaya. Ia memejamkan matanya saat perlahan tanganku mulai menelusup masuk kedalam bajunya."Mas Haris ...."Lembut setengah desah dan berbisik ditengah kenikmatan, malah membuat aku kian bersemangat. Dan aku mulai berani. Tanganku aktif menjalar, meraba tubuhnya dengan hati-hati. Mengelusnya, merapatkan tubuhku dan menyentuh benda kenyal dibal
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y