Kasian sekali Nisa, bayangkan jika dirumah hanya ada Eyangnya mana berani Dia bicara soal dirinya yang baru pertama kali haid. Nisa memang butuh sosok Ibu kasihan sekali dia, aku Jingga juga Nisa ke mini market buat beli keperluan Nisa, karena ia belum tahu dan masih sangat malu. Akhirnya aku belikan stok yang banyak. Ia memeluk Jingga karena Jingga menasehatinya.Rukun sekali mereka coba saja kami bisa bersatu pasti akan lebih indah lagi, kebersamaan saling membantu satu sama lain, Nisa memelukku Ia bilang terima kasihnya karena aku telah mengajarinya. Kami pulang kerumah dan Mas Haris sudah menunggu di ruang tamu."Dari mana sih kok rame-rame, Nisa ga ajak-ajak, Ayah?" tanya Mas Haris pada putrinya."Hehe maaf, Ayah urusan perempuan!" jawab Nisa sambil mencium pipi Ayahnya."Jingga ajak masuk dulu Nisa Nak.""Baik, Ma."Aku memberitahu Mas Haris apa yang terjadi pada Nisa, ia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih padaku, lelaki ini membaut dadaku berdebar, Rasa sayangnya pada p
Kadang hidup kita seperti cakrawala dibasahi hujan dan dikeringkan dengan sinar sang matahari. Tapi apapun yang memberi warna di dalam hidupku adalah senyum terindah Mas Haris, begitulah ungkapan perasaanku untuk Mas Haris aku tidak boleh menyerah, aku pasti bisa melewati ini semua. Sejuknya udara kota ini langsung menyergap, begitu kaki ini menjejak butik dengan penerangan temaram itu. Ditambah dres berbahan sifon yang aku kenakan, membuat dingin leluasa menusuk, dan masuk melalui celah pori. Masih diguyur rintik hujan, aku memasuki butik dengan baju sedikit basah, aku mengambil kursi kutarik mendekati meja. Aku menyelesaikan tugas di butik dan ingin segera menemui, Mas Haris. Entah kapan bermula, tetapi belakangan ini wajah tampan Mas Haris selalu terlukis indah dalam benakku. Bertemu dengan pria itu, merupakan hal yang sangat ia tunggu, meski ada yang berdesir aneh dalam dadanya. Terlebih saat melihat Mas Haris sering gugup saat nerhadapan denganku, dan aku sangat menyukai dan me
Aku mengangguk pelan sambil menunduk malu. "Ya, Lintang menerimanya, Ayah.""Alhamdulillah. Diterima Nak Haris."Mas Haris menggagguk senang. "Iya, Pak. Bu."Kami mengobrol hingga aku lupa ada janji sama Mas Haris. Dia mengajakku hari ini kita akan bertemu Ibu mertuanya. Bismillah kata Mas Haris, sesuatu yang diniati dengan baik. InsyaAllah pasti kedepannya baik. Mas Haris pamit pada Ayah dan Mama untuk pulang karena nanti akan balik lagi kami akan keluar bersama Mas Haris. Aku memasuki kamar lalu bergegas mandi, hari sudah mulai sore, setelah menjalankan salat asyar berjamaah. Aku juga Bibi dan Mama menyiapkan makan malam, ada opor ayam kesukaan Jingga dan Dimas. "Jingga, Dimas, mau makan sekarang apa nanti? Ini makananya sudah siap?" tanyaku pada anak-anak."Ini masih ada tugas, Ma. Tanggung, Mama. kurang sebentar lagi," jawab Dimas yang lagi mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya."Mama tunggu ya, sebentar lagi Mama mau keluar sebentar, sayang.""Iya Ma, baiklah sekarang saj
Tiga purnama berlalu, malam menjelang akad nikah, serombongan tukang dekor datang dan merias ruang tamu dan kamarku dengan bunga-bunga dan bola lampu. Mereka adalah EO yang di sewa oleh Ayah. Sederhana sih namun tampak begitu wah menurutku. Keceriaanku seakan menular, pada keluargaku mereka begitu bahagia. Kali ini di rumahku suasananya sangat ramai. Banyak para tetangga yang datang membantu persiapan kami. EO yang kompak juga semua keluargaku, ya aku rasa ini sangat meriah sekali."Mbak Lintang, mawar putih ini memang pilihan yang tepat. Sangat indah dilihatnya. Mudah mudahan kali ini, Mbak puas ya.""Iya, bagus," jawabku pada salah satu EO. "Kalau dekorasinya?"Bahkan seharian ini aku sudah tak bisa istirahat dari pengajian Ibu-ibu, siraman dan lain-lain membuatku begitu lelah. "Tenang saja, bagus kok. Simple dan aku suka.""Alhamdulillah, kalau suka. Semoga pernikahannya lancar ya, Mbak.""Aamiin, iya."Aku tersenyum. Semua hiasan ini tidak ada yang lebih penting daripada akad n
Saat ini adalah hari membahagiakan untukku, seperti layaknya yang diimpikan para gadis di luar sana. Membuat dadaku terasa berdebar tak menentu "Wah cantik sekali, Mbak Lintang." Elsa lagi-lagi menggodaku. Aku tersenyum. " Cantik lah, wanita.""Serius, pantas saja Pak guru Haris tergila-gila.""Hhmm mulai deh."Aku bercanda dengan Elsa, datang Mama mendekatiku. "Sudah siap, Nak. Nak Haris dan penghulunya sudah datang."Aku tersenyum. "Iya, Mama."Aku begitu nervous tanganku begitu dingin. Dan aku berjalan di dampingi Mama juga Ayah dan kakak-kakakku, juga anak-anakku menuju ruang ijab qobul. Kali ini aku merasa bahagia dan berdebar menjelang waktu ijab kabul, saat ini justru aku merasa begitu takut dan entahlah ... tak lama terdengar suara penghulu datang. Jantungku naik turun merasakan perasan yang entah. Namun aku menatap Mas Haris, dia begitu tenang di dampingi Mama juga Ibu mertuanya. "Apa, Nak Lintang bersedia menerima Frans dengan ikhlas, tanpa paksaan dari siapapun?" tanya
POV Haris Tepat pukul sembilan malam acara resepsi sudah selesai. Kami ke kamar untuk mengganti pakaian dan bersih-bersih. Suasana diluar rumah Lintang begitu ramai sekali, karena keluarga besarnya berkumpul di sini. Perkenalan satu persatu keluarganya yang banyak membuatku susah untuk menginggat nama mereka satu persatu. "Wah indah sekali, kenapa kamarnya banyak bunga ya?" godaku pada Lintang. "Hmm ngedek, nih ceritanya," jawab Lingang seraya tersenyum di depan cermin. "Serius, nanya ich?" "Sejak kapan nih Pak Haris jadi norak dan kampungan gini?" tanyanya. "Sejak, ketemu kamu."Aku tertawa kecil. Melihat tingkah Lintang yang agak canggung bayangkan saja jauh di dalam hatiku aku sudah tak tahan ingin memeluk tubuh Lintang erat. Selesai mengatur napas, wanita cantik itu mulai melepas kerudung dan gaun pengantin. Menganti dengan baju biasa dan menghapus make up dengan kapas dan cairan pembersih wajah. Beberapa saat yang lalu aku telah mencipta rona kemerahan pada wajahnya. Linta
Aku menggeleng pelan dan tersenyum, dan mencium pipinya. Mataku perlahan-lahan memandang wajah Lintang yang sangat cantik, sudut bibirku terangkat melihat pemandangan yang sangat indah di depanku, dengan lembut aku menarik tangannya, dan aku menganggat tubuhnya berjalan menuju ranjang. Aku mengecup bibir tipis itu, lalu menciumi seluruh wajah Lintang. Dengan nafas yang tak beraturan aku bergerak di atas tubuh Lintang. Tangan dan bibirku mulai bicara, membuat Lintang mencekeram erat punggung bidangku.Aku menggila mendengar desah menyenangkan keluar dari mulut ranumnya. Sentuhan itu begitu lembut, hingga membuat tubuh Lintang menjadi lemas tak berdaya. Ia memejamkan matanya saat perlahan tanganku mulai menelusup masuk kedalam bajunya."Mas Haris ...."Lembut setengah desah dan berbisik ditengah kenikmatan, malah membuat aku kian bersemangat. Dan aku mulai berani. Tanganku aktif menjalar, meraba tubuhnya dengan hati-hati. Mengelusnya, merapatkan tubuhku dan menyentuh benda kenyal dibal
Kami berpegangan erat, rasa nyaman dan hangat kembali hadir debaran halus di dalam tubuhku kembali kurasakan, pelukan dengan lelaki ini membuat aku merasa melayang, saat kami berpelukan Jingga dan kedua adiknya merekan kami dan memfoto kami."Malu, Jingga ayo hapus." ucapku membuatku menjadi cemas."Sudahlah Mama ku sayang, ini bagus lo Ma?sayang kalau harus dihapus." Kami tertawa bersama, Sungguh ini membautku begitu bahagia,hari mulai gelap kami memutuskan untuk kembali ke Villa, sampai disana aku memesan beberapa masakkan yang menggoda lidah, sesaat pramusaji datang membaea berbagai pesanan. Aku dan Mama menyiapkan makanan di atas meja dibantu oleh Jingga juga Nisa kami lalu menikamati hidangan yang begitu memanjakan lidah kami.Kulihat Mas Haris sesekali mencuri pandang padaku, begitupun denganku dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya, aku merasakan perasaan yang sulit aku ungkapkan dengan kata-kata. Rasa bahagia, sedih campur menjadi satu. ini pernikahan ketigaku, Namun se