"Asmara, ini benar kamu, kan, Nak?" tanya wanita paruh baya yang sangat cantik itu meski usianya tak lagi muda. Sesaat aku beku. Aku menangis, beban yang sejak tadi aku pendam sendiri, kini lebih terasa ringan, menguar begitu saja. Apakah ini wanita yang telah mengandung dan melahirkanku benerapa tahin yang lalu. "Iya, ini Asmara. Ma---mama," jawabku terbata. "Iya ini Mama kamu, Nak."Perasaanku membuncah. Tetesan hujan dipipiku mulai mereda, tak lagi membuatku kesepian. Hidupku kini telah kembali. Aku memeluknya erat. Seperti baru saja melepas ikatan kencang yang membuatku sesak selama ini. Ya aku berada dalam dekapan sang Ibu. "Jangan tinggalkan, Mama sendirian lagi, Nak," lirih beliau. Sebenarnya, bukan saat ini, tapi sudah lama aku merindukan Ibu kandungku. Hanya saja saat ini adalah pertemuan yang begitu indah, ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku tidak tahu, langkah apa yang aku ambil jika tadi tidak berpikir panjang. Bayangkan saja aku saat ini sedang bersandar pada
Pagi yang begitu cerah secerah hatiku, aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkira. Mama memasak untuk kami sarapan bersama, ramai keluarga baruku berkumpul menikmati sarapan bersama. Dimas dan Jingga pun bahagia. "Wah enak ya masakan, Mama.""Makanya, Papa. kamu ini selalu jatuh cinta, Lintang."Kami semua tertawa melihat wajah Mama yang memerah. "Ma, tinggallah disini bersama, Papq. Ya."Mama menoleh kearah, Papa. Juga kakak-kakakku. "Mama mau sekali, Lintang. Tapi boleh gak sama, Papa juga anak-anak." Terlihat Mama begitu cemas. "Boleh, sayang." Jelas Papa. "Boleh, Daffa. Bian, Cika?" tanya Mama. Mereka mengangguk. "Boleh, Ma.""Alhamdulillah."Kami diantar Papa mengantarkan Jingga dan Dimas kesekolah. Papa kembali mengantarkanku ke toko, tempat aku bekerja dibutik seperti biasa."Papa, Lintang kerja dulu ya. Jaga Mama. Papa."Papa tersenyum. "Siap, sayang. Papa pulang ya.""Iya, Papa."Kulangkahkan kaki masuk kedalam butik, hari ini aku bahagia. Alhamdulillah hari ini pengun
Aku pamit sama Ayah dan Mama sebentar dan menyuruh Bibi buat beli oleh-oleh di toko buah dan kue didepan gang, kami bersiap-siap untuk kerumah Mas Haris, akupun belum pernah melihat seperti apa rumahnya, kami diantar Mang Jaja kerumah Mas Haris, selang beberapa menit kami telah sampai depan rumah Nisa. MasyaAllah rumah yang begitu indah, kami semua terpesona melihat rumah yang elegan begitu indah.Kami masuk dan disambut oleh wanita paruh baya yang begitu cantik, Ia mempersilahkan kami duduk, dan Nisa duduk disamping eyangnya. Selama aku menjadi sahabatnya baru kali ini aku melihat Ibunya Mas Haris yang begitu baik, dulu setiap aku kerumahnya hanya ada Ayahnya yang ada di rumah."Maaf Bu, kami mengantar, Nisa pulang dan ini rombongan nganterinnya." Sapaku pada wanita paruh baya itu."Ibu yang minta maaf, Nak, jadi ngrepotin antar, Nisa segala." ucapnya padaku.Jingga dan Dimas diajak main dengan Nisa. Sementara aku mengobrol dengan Ibunya Mas Haris. Wanita yang lembut dan sangat baik,
Sayub-sayub terdengar suara azan aku bergegas mengambil air wudhu, Aku menjalankan kewajibanku untuk melaksanakan salat berama Ayah dan Maam dan anak-anak. Selesai aku, Mama menyiapkan sarapan buat anak-anak, mereka pesan jika mau dibikin in mie bihun goreng dan telur ceplok, dibantu Bibi.Selesai kami semua menikmati sarapan bersama."Ma, Jingga pulang agak telat ada tugas di sekolah." Jingga seraya merapikan jilbabnya."Baiklah sayang, bilang sama, Mang Jaja ya biar nanti dijemput!""Iya, Ma.""Kalau, Dimas gimana sayang?""Seperti biasa, Ma,""Ok."Kami bersiap dan berjalan mendekati Mama dan Ayah. "Ma, Ayah. Lintang berangkat ya.""Hati-hati, Nak.""Iya, Ma. Ayah."Kami berangkat bersama, tak berselang lama aku sudah berada di butik tempat kerjaku, Dan Alhamdulillah hari ini sungguh pembeli begitu banyak dan suka dengan modelnya baju yang simple dan pas didompet ucap para pelangganku, Alhamdulillah semua berjalan lancar, terima kasih Mas Haris kamu adalah malaikat pelindungku.se
Kasian sekali Nisa, bayangkan jika dirumah hanya ada Eyangnya mana berani Dia bicara soal dirinya yang baru pertama kali haid. Nisa memang butuh sosok Ibu kasihan sekali dia, aku Jingga juga Nisa ke mini market buat beli keperluan Nisa, karena ia belum tahu dan masih sangat malu. Akhirnya aku belikan stok yang banyak. Ia memeluk Jingga karena Jingga menasehatinya.Rukun sekali mereka coba saja kami bisa bersatu pasti akan lebih indah lagi, kebersamaan saling membantu satu sama lain, Nisa memelukku Ia bilang terima kasihnya karena aku telah mengajarinya. Kami pulang kerumah dan Mas Haris sudah menunggu di ruang tamu."Dari mana sih kok rame-rame, Nisa ga ajak-ajak, Ayah?" tanya Mas Haris pada putrinya."Hehe maaf, Ayah urusan perempuan!" jawab Nisa sambil mencium pipi Ayahnya."Jingga ajak masuk dulu Nisa Nak.""Baik, Ma."Aku memberitahu Mas Haris apa yang terjadi pada Nisa, ia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih padaku, lelaki ini membaut dadaku berdebar, Rasa sayangnya pada p
Kadang hidup kita seperti cakrawala dibasahi hujan dan dikeringkan dengan sinar sang matahari. Tapi apapun yang memberi warna di dalam hidupku adalah senyum terindah Mas Haris, begitulah ungkapan perasaanku untuk Mas Haris aku tidak boleh menyerah, aku pasti bisa melewati ini semua. Sejuknya udara kota ini langsung menyergap, begitu kaki ini menjejak butik dengan penerangan temaram itu. Ditambah dres berbahan sifon yang aku kenakan, membuat dingin leluasa menusuk, dan masuk melalui celah pori. Masih diguyur rintik hujan, aku memasuki butik dengan baju sedikit basah, aku mengambil kursi kutarik mendekati meja. Aku menyelesaikan tugas di butik dan ingin segera menemui, Mas Haris. Entah kapan bermula, tetapi belakangan ini wajah tampan Mas Haris selalu terlukis indah dalam benakku. Bertemu dengan pria itu, merupakan hal yang sangat ia tunggu, meski ada yang berdesir aneh dalam dadanya. Terlebih saat melihat Mas Haris sering gugup saat nerhadapan denganku, dan aku sangat menyukai dan me
Aku mengangguk pelan sambil menunduk malu. "Ya, Lintang menerimanya, Ayah.""Alhamdulillah. Diterima Nak Haris."Mas Haris menggagguk senang. "Iya, Pak. Bu."Kami mengobrol hingga aku lupa ada janji sama Mas Haris. Dia mengajakku hari ini kita akan bertemu Ibu mertuanya. Bismillah kata Mas Haris, sesuatu yang diniati dengan baik. InsyaAllah pasti kedepannya baik. Mas Haris pamit pada Ayah dan Mama untuk pulang karena nanti akan balik lagi kami akan keluar bersama Mas Haris. Aku memasuki kamar lalu bergegas mandi, hari sudah mulai sore, setelah menjalankan salat asyar berjamaah. Aku juga Bibi dan Mama menyiapkan makan malam, ada opor ayam kesukaan Jingga dan Dimas. "Jingga, Dimas, mau makan sekarang apa nanti? Ini makananya sudah siap?" tanyaku pada anak-anak."Ini masih ada tugas, Ma. Tanggung, Mama. kurang sebentar lagi," jawab Dimas yang lagi mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya."Mama tunggu ya, sebentar lagi Mama mau keluar sebentar, sayang.""Iya Ma, baiklah sekarang saj
Tiga purnama berlalu, malam menjelang akad nikah, serombongan tukang dekor datang dan merias ruang tamu dan kamarku dengan bunga-bunga dan bola lampu. Mereka adalah EO yang di sewa oleh Ayah. Sederhana sih namun tampak begitu wah menurutku. Keceriaanku seakan menular, pada keluargaku mereka begitu bahagia. Kali ini di rumahku suasananya sangat ramai. Banyak para tetangga yang datang membantu persiapan kami. EO yang kompak juga semua keluargaku, ya aku rasa ini sangat meriah sekali."Mbak Lintang, mawar putih ini memang pilihan yang tepat. Sangat indah dilihatnya. Mudah mudahan kali ini, Mbak puas ya.""Iya, bagus," jawabku pada salah satu EO. "Kalau dekorasinya?"Bahkan seharian ini aku sudah tak bisa istirahat dari pengajian Ibu-ibu, siraman dan lain-lain membuatku begitu lelah. "Tenang saja, bagus kok. Simple dan aku suka.""Alhamdulillah, kalau suka. Semoga pernikahannya lancar ya, Mbak.""Aamiin, iya."Aku tersenyum. Semua hiasan ini tidak ada yang lebih penting daripada akad n