Aku mencoba untuk tidak nervous, sedari dulu selalu begini saat aku janjian dengan Mas Haris, perasaan entah namun aku merasakannya begitu bahagia. Kupandangi cermin, wajahku yang kian menua masih pantaskan punya perasaan yang tidak dapat aku kendalikankendalikan? Entahlah.... Rasaku ini kenapa begitu hangat, aku begitu nyaman berada di dekatnya, tak bisa aku pungkiri jika dulu hari-hariku dengannya begitu menyenangkan. Apa lagi saat kami kejar-kejaran menarik layang-layang, dan kami selalu berantem dengan teman yang lain. Bayangkan saja aku selalu berani sama laki-laki yang menggodaku, al hasil mereka marah, namun aku tak pernah takut karena Mas Haris selalu ada di depanku.Mas Haris selalu marah jika ada lelaki yang menggangguku, kenangan itu begitu indah aku baru menyadarinya bahwa Mas Haris begitu berarti dalam hidupku. Kemana saja aku saat Bapak menjodohkanku saat itu juga hidupku serasa hancur berkeping-keping, inikah rencanamu Yaa Robb, Engkau mempertemukan aku dengannya dius
Entahlah, Aku nyaman dan sangat sangat bahagia saat bersamannya, lelaki yang disampingku ini adalah lelaki yang dirindukan oleh semua kaum hawa sepertiku, bagaimana tidak akupun dari dulu terpesona kepadanya.Sejenak aku menarik napas, menyesuaikan dengan udara di sekeliling. Sampai terasa sebuah jaket dipakaikan ke tubuh ini, menghalau dingin, juga menguarkan aroma wangi yang membawa damai dalam satu waktu."Dingin?" Mas Haris mencondongkan wajah, membuat kami begitu dekat.Apa yang dilakukannya ini lagi-lagi melemparku ke masa lalu. Saat itu, aku mengenakan jaketnya sepanjang malam. Tak hanya itu, Mas Haris juga memelukku sepanjang acara berlangsung. Ya ... kami memang semesra itu, dulu. Tak jarang, kemesraan itu kami tampakkan tanpa canggung. Yang aku tahu ya dulu kami hanya seorang sahabat. "Ini nggak terlalu tebal. Tapi lumayan buat melindungi badan kamu dari udara yang dingin." Kalimat Mas Haris menyentakku dari lamunan. Entah berapa kali kenangan itu melintasi pikiranku sehar
Dadaku bergemuruh, aku berusaha tegar dan tidak gugup ketika melihat Mas Haris, ia tahu jika aku begitu ketakutan, kami melaju melangkah pulang. Mas Haris hanya bisa diam, ia berkata Jika semuanya karena dirinya, karena rasa cintanya pada Mas Haris membuat Sekar menyakitiku.Ia membukakan pintu mobil aku masuk dan duduk dikursi sebelah Mas Haris. Kami terdiam hingga mobil melaju dengan kecepatan pelan. Aku hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. Terlihat lampu penetanhan jalan sudah mulai dinyalakan, lampu kelap-kelip pinghitan kota mulai terlihat. Mobil Mas Haris berhenti di rest area. Banyak kedai makanan-minuman dan taman mini dengan beberapa pohon cemara serta tempat duduk yang disediakan. "Mau minum kopi dulu. Tadi belom sempat aku minum, jadi belum ngopi, serasa ada yang kurang. Yuk, turun!"Aku mengangguk mengikutinya. "Oke, mau pesen kopi juga." Kami turun dari mobil dan berjalan ke salah satu kedai, lalu duduk di kursi kafe itu. "Maaf soal tadi, Lintang?""Lupakan,
Langit sedang menyembunyikan wajahnya dibalik awan, Aku bolak-balik meminum air mineral, tak kuasa menahan beban bahwa Mas Haris menjauhiku, sakit sungguh sangat sakit. Sahabat yang dulu perhatian kini berubah. Ah sudahlah yang penting anak-anak ku bahagia. Pemutaran film pertama dan kedua selesai, kami keluar gedung dan memesan makanan di resto mall, kami menikmati makanan siap saji yang sudaj diamtar oleh pramusaji di depan kami. Dimas membuat kami tersenyum dengan ceritanya, tiba-tiba Dimas memanggil nama seseorang."Kak Nisa ... ayo, gabung sini?" panggil Dimas pada Nisa."Dimas disini juga boleh kami gabung Dimas. Tante." Nisa menyapa kami mbuatku tersenyum. "Iya ... iya kak boleh, lah sini kak," ucap Dimas membuat Mas Haris dan Nisa bergabung dengan kami.Mataku tertuju pada lelaki itu Mas Haris, desiran di dalam tubuhku bertambah kencang. Terima kasih ya Allah kau menjaga pahlawanku Mas Haris sehat dan selamat hingga hari ini, aku melihatnya sehat dan baik-baik saja sudah m
Aku menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, lalu bangkit dan berjalan ke arah balkon atas sambil menatap jauh pepohonan yang tertiup angin. Hembusan angin membuat debaran di hatiku makin kuat. Perasaan ini membuatku semakin muak, aku membencinya menginginkan ia pergi menjauh dari kehidupanku. Aku masuk kamar dan berusaha memejamkan mata. Namun mataku enggan terpejam bayangan wajah Mas Haris membuat aku merasakan pusing yang tak tertahan. Terdengar suara motor di depan rumah. Aku mematikan lampu dan melihatnya, ternyata Mas Fajar lagi sudahlah aku pun kembali keranjang dan berusaha memejamkan mata.Sarapan sudah siap di atas meja, Aku turun memastikan mereka sarapan. Saat aku turun tangga terdengar Jingga dan Dimas sedang membicarakanku. Aku harus istirahat, badanku lagi tidak sehat, tidak bisa menemani kalian sarapan, maafkan Mama sayang. Aku sudah pesan sama Mang Jaja untuk hati-hati. "Bi tumben, Mama. Hari ini tidak ikut makan bareng kita?" tanya Jingga pada Bibi"Mama demam sayang,
Pov Eliana"Hey, ayolah sayang. Ini kan malam minggu besok juga libur kan? Bian mengajak kita lo." Pinta Mas Satria padaku. Aku menghentikan aktifitasku melihat wajah cantik putriku di foto yang sengaja kami besarkan ukurannya. Aku menoleh kearah suamiku itu, aku berpikir sebentar. Kemudian, menarik napas panjang, dan suamiku menatap serius. "Kita makan sebentar saja, please ... demi Bian sayang." Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada memohon. "Iya, baiklah, Mas."Dia tersenyum. "Oke biar, Bian yang pilih tempatnya, ya."Aku hanya mengangguk pelan. Tak juga ingin bertanya lebih lanjut. Tanpa banyak komentar aku hanya menurut saat dia memberiku jaket tebal dan menyuruhku mengikutinya. "Pakailah ini, hawanya mulai dingin," katanya sembari memberikan sebuah jaket padaku.Astaga, apa aku sedang bermimpi! Sadarlah Eliana kau masih belum bisa menemukan Asmara. Aku hanya tersenyum nyeri, Mas Satria menuntunku hingga ke dalam mobil. Kurasa aku tak bisa pura-pura bahagia sebelum
"Apa ...?" tanyaku tak percaya. Kepalaku mendadak pusing. Apa aku tak lagi berminpi. Daffa mencairkan suasana yang tadi tampak tegang. Aku terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Dan Daffa menceritakan semuanya. "Oh, jadi ini benar," ucapku penuh penekanan. "Em ... semoga saja, Ma." Jawaban yang lirih, tapi terasa menamparku keras.Hening beberapa saat. Aku masih setia menatap riuh pengunjung resto ini ke arah samping. Kami saling diam, menatap lekat kedua mataku. Bola matanya bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Apa aku bahagia hari ini? Entahlah semua masih semu sebelum kami menemukannya. "Semoga benar, Daffa. Apa langkah kita?" tanya Mas Satria. "Apa aku selidiki dulu, Ayah. Takutnya Mama kecewa lagi. Lagian kotanya dekat dengan rumah, Daffa.""Mama ikut, Nak.""Ma plis. Daffa tak mau, Mama sakit lagi."Aku mendengus kesal. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah aku rasakan, kehilangan anak kandung, tetap saja kenangan indah dulu saat menggendong Asmara sema
Aku memasuki butik dengan kondisi tubuh yang agak kurang sehat, aku merasa sedikit mual. Mendadak aku ingin makan yang hangat-hangat dan yang pedas-pedas gitu yang begitu menggoda lidah. Sesaat aku menyuruh rekan kerjaku untuk membelikannya, tak berselang lama Fahmi sudah masuk lagi keruanganku. "Mbak Lintang, mie ayamnya ditaruh di mana?"Aku menoleh ke arah Fahmi. "Taruh situ saja, Fahmi. Makasih ya."Ia tersenyum kearahku. "Siap, Mbak."Ah, raaanya tak sabar aku untuk menikmatinya, seporsi mie ayam pedas sudah berada di hadapaku, tak berselang lama makanan di depanku sudah habis. Mungkin dengan begini pusing di kepalaku sedikit berkurang, selesai makan satu porsi mie ayam. Aku pun kembali meneliti file yang masuk, selesai aku pun tertidur di sofa butik, mungkin mereka curiga, biasanya aku tidak pernah seperti itu."Mbak Lintang tidak papa, kenapa sih Mbak Lintang?" tanya Elsa padaku seraya memegang keningku."Mbak tidak apa-apa, Elsa, sudah tenang saja," jawabku terbangun dan mula
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y