Savina hanya hanya tersenyum kecil dan tidak terlalu menanggapi serius ucapan ibu mertuanya. Kata-kata seperti itu, sudah sangat sering singgah di telinga Savina sehingga membuat dirinya kebal dengan ucapan-ucapan yang kerap menyakitinya.
“Doakan saja, Bu, semoga kami lekas diberi momongan!” jawab Savina dengan senyum di wajahnya.
“Kapan? Buktinya kamu belum hamil-hamil juga. Dulu, Rista dua bulan menikah langsung hamil. Lalu, Arini kakaknya Rista juga sama, sebulan menikah langsung hamil. Kamu kira-kira kapan?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.
“Bu, soal anak itu rahasia Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya, kami hanya serahkan semuanya kepada Allah.” Savina berusaha memberikan pengertian kalau masalah anak adalah hak Allah. Dia juga ingin segera memiliki anak, tapi kalau Allah belum berkehendak bagaimana?
“Alah, kamu saja yang terlalu banyak alasan, Vin. Kita lihat saja, kalau kamu belum hamil juga, mungkin Firman perlu mencari penggantimu!” ucap Bu Leni dengan nada ketus.
“Astaghfirullah!” Savina hanya dapat beristighfar sambil mengurut dada. Jujur, dirinya masih sangat mencintai Firman. Meski Bu Leni kerap bersikap ketus namun, Savina masih ingin terus bertahan dengan suaminya.
Alisa yang menangis segera menyadarkan lamunan Savina. Wanita itu segera membawa Alisa masuk dan membuatkan sebotol susu untuk keponakannya. Di dalam hati kecil Savina, ia sangat menyayangi Alisa. Ia juga berdoa, semoga saja Alisa memang akan menularkan rezeki kepadanya untuk segera diberikan momongan oleh Allah.
Setelah menyusu, Alisa tampak terlelap. Savina segera membawa Alisa ke kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut melihat wajah Alisa yang begitu damai.
“Al, tolong doakan Tante, ya. Semoga saja Allah segera menitipkan bayi di rahim Tante,” ucap Savina dengan netra berkaca-kaca. Ada rasa sesak yang tengah menyelimuti hatinya.
“Vin! Vin!” seru Bu Leni dengan nada lantang.
Savina segera berlari ke arah suara. Ia tampak tergopoh-gopoh menemui ibu mertuanya.
“Ada apa, Bu?” tanya Savina dengan langkah tergesa.
“Ibu mau berangkat arisan. Jangan lupa memasak karena Rista sama Ardi akan makan malam di sini. Kasihan mereka kalau pulang kerja tidak ada makanan di rumah!” ucap Bu Leni dengan nada memerintah.
Savina hanya mengangguk. Ia hanya dapat menghela napas mendengar ucapan ibu mertuanya. Tugasnya kini semakin bertambah karena Rista dan suaminya sepertinya semakin semena-mena. Mereka selalu sarapan dan makan malam di rumah Bu Leni. Semua baju-baju kotor juga dibawa ke rumah Bu Leni dan harus dicuci oleh Savina dengan alasan kasihan tidak ada yang membantu.
Apa Bu Leni tidak memikirkan Savina? Ia harus berjibaku mengurus semuanya dari pagi sampai petang. Belum lagi, Savina harus menjaga Alisa yang masih berusia delapan bulan. Hal itu tentu sangat menyita waktu dan tenaganya. Sementara Firman? Dia selalu terikat dengan kata berbakti kepada orang tuanya.
“Man, kamu harus ingat, kalau surga itu di telapak kaki ibu. Ridha Allah itu terletak kepada ridha orang tua. Jadi jangan karena Savina, kamu akan bersikap durhaka kepada Ibu!” kata-kata itu selalu menjadi senjata bagi Bu Leni untuk mengendalikan putranya. Wanita itu menganggap kalau anak laki-laki selamanya menjadi milik ibunya sedangkan anak perempuan adalah milik suaminya.
Firman yang terkenal patuh, akan memilih diam dan mengalah. Laki-laki itu hanya meminta Savina untuk bersabar dan memahami posisinya. Bu Leni adalah seorang janda, kalau bukan Firman, siapa lagi yang akan menjaganya? Ke dua kakaknya tidak mungkin menjaga Bu Leni, karena mereka sudah menikah.
Savina kembali menguatkan hatinya. Rasa cintanya kepada Firman begitu besar sehingga ia selalu membawa masalahnya di dalam sujud-sujud panjangnya. Untaian doa, selalu ia panjatkan untuk kebahagiaan rumah tangganya. Ia hanya dapat berpasrah diri kepada Allah atas ujian rumah tangganya.
Mendung tampak menghiasi langit sore, Savina baru saja selesai memandikan Alisa ketika Bu Leni sampai di rumah. Wanita itu tampak cemberut melihat Savina yang masih sibuk menggendong cucunya.
“Vin, Alisa itu jangan dimanja. Taruh saja di baby walker. Kamu kan harus memasak, kalau kamu tidak memasak, nanti malam kita mau makan apa?” Bu Leni tampak bersungut-sungut melihat Savina yang tengah bermalas-malasan mengasuh cucunya.
“T-tapi Bu, kalau nanti Alisa merangkak ke mana-mana, Apa tidak bahaya?” Savina tampak ragu dengan usul yang diberikan oleh mertuanya.
“Vin, dulu Ibu anaknya tiga, semua baik-baik saja. Pekerjaan rumah juga selesai semua. Sudah sekarang taruh di situ, biar ibu yang jagain Alisa!” Bu Leni memaksa Savina untuk meletakkan Alisa di atas baby walker. Wanita itu bahkan menjamin akan menjaga cucunya ketika Savina memasak.
Savina mengangguk setuju. Meski ragu, ia segera meletakkan Alisa di atas baby walker. Wanita itu bergegas ke dapur untuk memasak makan malam, mengingat sebentar lagi Firman akan pulang dari kantor.
Savina tampak begitu cekatan memasak aneka menu untuk makan malam. Ia sudah terbiasa bekerja di dapur dan menyiapkan semuanya. Wanita itu merasa sedikit tenang karena Alisa dalam pengawasan ibu mertuanya. Setidaknya, ia dapat mengerjakan semuanya tanpa harus membawa Alisa dalam gendongan.
Ikan goreng yang dimasak olehnya sudah matang, kini giliran Savina membuat sambal kesukaan suaminya. Sambal terasi dengan perasan jeruk menciptakan cita rasa asam yang begitu segar sehingga membuat nafsu makan semakin meningkat. Firman selalu memuji hasil masakannya. Hal ini membuat Savina semakin bersemangat untuk memasak.
Setelah selesai, Savina segera merapikan dapur dengan cekatan. Wanita itu merasa tidak tenang meninggalkan Alisa bersama mertuanya. Meski Alisa adalah cucunya, Bu Leni kurang mempedulikan anak itu karena ia menginginkan cucu laki-laki. Anggapan Bu Leni, anak atau cucu laki-laki memiliki kedudukan yang lebih unggul daripada anak atau cucu perempuan.
“Bu, Vina mau mandi dulu, ya!” ucap Savina kepada mertuanya.
“Ya, tapi jangan lama-lama. Ibu capek jagain Alisa. Dari tadi Alisa tidak bisa diam!” ucap Bu Leni dengan nada kesal. Wanita itu menggerutu ketika harus menjaga Alisa yang sedang aktif-aktifnya. Anak itu juga kerap merasa penasaran dan menyentuh apa saja yang dilihatnya.
Savina mengangguk dan segera berlalu dari hadapan Bu Leni. Baru saja ia membuka pintu kamar mandi, terdengar suara yang cukup keras di ruang keluarga.
“Bruk!” suara tangisan dan jeritan Alisa memenuhi ruangan. Savina mengurungkan niatnya untuk mandi dan segera berlari ke depan.
“Astaghfirullah, apa yang terjadi dengan Alisa?” lirih Savina sambil berlari ke depan.
***
Bersambung
Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.Rista segera masuk dan menghampi
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di
“T-tapi aku merasa mual, Mas. Aromanya itu tidak enak!” Savina masih berusaha menjauhi dua mangkuk soto yang ada di meja.“Kamu merasa mual? Jangan-jangan!” lirih Bu Leni dengan netra membola.“Jangan-jangan apa Bu?” tanya Firman dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Tidak, tidak ada. Mungkin Vina hanya kelelahan atau masuk angin.” Bu Leni berusaha menjawab pertanyaan putranya dengan nada senormal mungkin. Entah kenapa, Bu Leni takut kalau Savina sampai hamil dan rencananya untuk memisahkan mereka akan gagal.“Sebaiknya kamu istirahat saja, nanti Mas panggilkan Mak Enah untuk memijit kamu!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.Laki-laki itu segera mengambil alih Alisa dari gendongan istrinya. Ada rasa tidak tega melihat belahan jiwanya kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.“Terima kasih, Mas!” ucap Savina sambil berlalu dari hadapan suaminya.Firman mencoba berbicara dengan Bu Leni, mungkin karena harus mengasuh Alisa sehingga membuat waktu istirahat Savina semakin berkurang.“Bu,
Firman segera masuk ke dalam, ia menemui Savina yang tengah berbaring di ranjangnya.“Vin, bagaimana? Apa sudah lebih enak?” tanya Firman sambil mengecup kening istrinya.“Alhamdulillah sudah, Mas. Mak Enah memang tidak diragukan lagi dalam urut mengurut!” kekeh Savina dengan senyum di wajahnya.“Mas, besok kita pergi ke bidan, yuk!” ucap Savina dengan netra berbinar.“Ke bidan? Mau ngapain? Apa tidak sebaiknya pergi ke dokter saja?” ucap Firman dengan tatapan keheranan.“Boleh, kalau Mas memang mengizinkan.” Savina tersenyum dan bergelayut manja di bahu suaminya.“Vin, apapun pasti akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu!” bisik Firman sambil mencubit hidung istrinya.“Termasuk membangun istana untuk kita berdua?” lirih Savina dengan wajah tertunduk.Firman segera bangkit dan mengembuskan napas kasar. Savina boleh meminta apa saja kepada dirinya, tapi tidak untuk membangun istana untuk mereka berdua. Ada Bu Leni yang menjadi tanggung jawabnya dan Firman tidak dapat melepaskannya begitu
Seorang perawat mengoleskan gel ke permukaan perut Savina, sedangkan Dokter Sinte menempelkan alat di perut wanita itu dan menggerakannya.“Nyonya Savina, di sana sudah terlihat kantung kehamilan dan Anda harus lebih menjaga diri, karena usia kehamilan Anda masih sangat rawan.” Dokter Sinta memberikan penjelasan sambil menunjuk monitor yang ada di depannya.“J-jadi istri saya hamil, Dok?” tanya Firman dengan netra membola. Ia seakan tidak percaya kalau hari ini dirinya akan menjadi seorang ayah.“Ya, menurut hasil pemeriksaan kandungan istri Anda sudah berusia tujuh minggu. Saya sarankan, Anda lebih menjaga kandungan Nyonya Savina karena masih dalam trimester pertama. Saya akan meresepkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh istri Anda. Sekali lagi saya ucapkan selamat ya Pak, Bu!” ucap Dokter Sinta dengan senyum di wajahnya.Savina yang mendengar keterangan Dokter Sinta hanya dapat mengucap syukur berkali-kali. Ia merasa Allah begitu baik karena mengirimkan kebahagiaan di saat
“Vin, kamu kenapa? Dari tadi aku perhatikan kamu terlihat tidak nyaman? Apa kamu tidak suka dengan restoran ini?” tanya Firman dengan tatapan lekat.“T-tidak Mas, aku sangat menyukai suasananya. Bahkan ketika berada di sini, rasa rinduku kepada kampung halaman terobati.” Savina menjawab pertanyaan suaminya dengan nada gugup. Ia masih memikirkan kakak iparnya yang terlihat sangat mesra bersama seorang wanita muda.Lokasi saung yang tidak terlalu jauh dari tempat Savina berada, membuat wanita itu begitu leluasa mengamati pergerakan wanita yang tengah bersama kakak iparnya. Apa mungkin seorang Ardi yang begitu penyayang dan lemah lembut, tega berkhianat kepada Kak Rista? Memikirkan hal itu membuat kepala Savina berdenyut.“Mas, memangnya Mas Ardi dan Kak Rista tidak satu kantor?” tanya Savina kepada suaminya.“Tidak, Kak Rista bekerja di perusahaan farmasi, sedangkan Mas Ardi bekerja di perusahaan otomotif. Tapi aku selalu bangga kepada mereka. Mas Ardi mampu mengimbangi sikap Kak Rista
“Bu, bukannya aku tidak patuh. Aku sangat menghargai keinginan Ibu, tapi aku tidak mungkin meninggalkan Savina karena dia sedang mengandung cucu Ibu!” Firman berbicara dengan netra berbinar. Laki-laki itu sangat bahagia ketika menyampaikan kabar kehamilan Savina.“A-apa? H-hamil?” tanya Bu Leni dengan wajah pias. Wanita itu sangat terkejut dengan penuturan putranya.“Iya, Bu. Alhamdulillah akhirnya Vina hamil dan aku akan menjadi seorang Ayah. Itu artinya Ibu akan menjadi seorang nenek. Ibu pasti senang kan?” tanya Firman dengan nada penuh semangat. Laki-laki itu tersenyum bahagia ketika berhadapan dengan wanita yang sudah melahirkannya.Bu Leni hanya mengangguk dengan perasaan tak menentu. Apa benar menantunya sedang hamil? Kalau benar, berarti dia akan semakin sulit untuk memisahkan Firman dengan Savina.“Bu, apa Ibu senang dengan berita ini?” tanya Firman dengan netra berbinar. Ia yakin kalau wanita di hadapannya pasti merasa bahagia mendapatkan kabar baik darinya.“Y-ya, Ibu meras