Firman segera masuk ke dalam, ia menemui Savina yang tengah berbaring di ranjangnya.“Vin, bagaimana? Apa sudah lebih enak?” tanya Firman sambil mengecup kening istrinya.“Alhamdulillah sudah, Mas. Mak Enah memang tidak diragukan lagi dalam urut mengurut!” kekeh Savina dengan senyum di wajahnya.“Mas, besok kita pergi ke bidan, yuk!” ucap Savina dengan netra berbinar.“Ke bidan? Mau ngapain? Apa tidak sebaiknya pergi ke dokter saja?” ucap Firman dengan tatapan keheranan.“Boleh, kalau Mas memang mengizinkan.” Savina tersenyum dan bergelayut manja di bahu suaminya.“Vin, apapun pasti akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu!” bisik Firman sambil mencubit hidung istrinya.“Termasuk membangun istana untuk kita berdua?” lirih Savina dengan wajah tertunduk.Firman segera bangkit dan mengembuskan napas kasar. Savina boleh meminta apa saja kepada dirinya, tapi tidak untuk membangun istana untuk mereka berdua. Ada Bu Leni yang menjadi tanggung jawabnya dan Firman tidak dapat melepaskannya begitu
Seorang perawat mengoleskan gel ke permukaan perut Savina, sedangkan Dokter Sinte menempelkan alat di perut wanita itu dan menggerakannya.“Nyonya Savina, di sana sudah terlihat kantung kehamilan dan Anda harus lebih menjaga diri, karena usia kehamilan Anda masih sangat rawan.” Dokter Sinta memberikan penjelasan sambil menunjuk monitor yang ada di depannya.“J-jadi istri saya hamil, Dok?” tanya Firman dengan netra membola. Ia seakan tidak percaya kalau hari ini dirinya akan menjadi seorang ayah.“Ya, menurut hasil pemeriksaan kandungan istri Anda sudah berusia tujuh minggu. Saya sarankan, Anda lebih menjaga kandungan Nyonya Savina karena masih dalam trimester pertama. Saya akan meresepkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh istri Anda. Sekali lagi saya ucapkan selamat ya Pak, Bu!” ucap Dokter Sinta dengan senyum di wajahnya.Savina yang mendengar keterangan Dokter Sinta hanya dapat mengucap syukur berkali-kali. Ia merasa Allah begitu baik karena mengirimkan kebahagiaan di saat
“Vin, kamu kenapa? Dari tadi aku perhatikan kamu terlihat tidak nyaman? Apa kamu tidak suka dengan restoran ini?” tanya Firman dengan tatapan lekat.“T-tidak Mas, aku sangat menyukai suasananya. Bahkan ketika berada di sini, rasa rinduku kepada kampung halaman terobati.” Savina menjawab pertanyaan suaminya dengan nada gugup. Ia masih memikirkan kakak iparnya yang terlihat sangat mesra bersama seorang wanita muda.Lokasi saung yang tidak terlalu jauh dari tempat Savina berada, membuat wanita itu begitu leluasa mengamati pergerakan wanita yang tengah bersama kakak iparnya. Apa mungkin seorang Ardi yang begitu penyayang dan lemah lembut, tega berkhianat kepada Kak Rista? Memikirkan hal itu membuat kepala Savina berdenyut.“Mas, memangnya Mas Ardi dan Kak Rista tidak satu kantor?” tanya Savina kepada suaminya.“Tidak, Kak Rista bekerja di perusahaan farmasi, sedangkan Mas Ardi bekerja di perusahaan otomotif. Tapi aku selalu bangga kepada mereka. Mas Ardi mampu mengimbangi sikap Kak Rista
“Bu, bukannya aku tidak patuh. Aku sangat menghargai keinginan Ibu, tapi aku tidak mungkin meninggalkan Savina karena dia sedang mengandung cucu Ibu!” Firman berbicara dengan netra berbinar. Laki-laki itu sangat bahagia ketika menyampaikan kabar kehamilan Savina.“A-apa? H-hamil?” tanya Bu Leni dengan wajah pias. Wanita itu sangat terkejut dengan penuturan putranya.“Iya, Bu. Alhamdulillah akhirnya Vina hamil dan aku akan menjadi seorang Ayah. Itu artinya Ibu akan menjadi seorang nenek. Ibu pasti senang kan?” tanya Firman dengan nada penuh semangat. Laki-laki itu tersenyum bahagia ketika berhadapan dengan wanita yang sudah melahirkannya.Bu Leni hanya mengangguk dengan perasaan tak menentu. Apa benar menantunya sedang hamil? Kalau benar, berarti dia akan semakin sulit untuk memisahkan Firman dengan Savina.“Bu, apa Ibu senang dengan berita ini?” tanya Firman dengan netra berbinar. Ia yakin kalau wanita di hadapannya pasti merasa bahagia mendapatkan kabar baik darinya.“Y-ya, Ibu meras
Firman memeluk Savina sebelum dirinya memasuki taksi yang tengah menjemputnya. Laki-laki itu tahu kalau istrinya sedang bersedih dengan kepergiannya.“Vin, jangan menangis. Mas, pergi untuk dirimu dan anak kita. Mas, akan sering menghubungimu selama berada di luar kota,” Firman membujuk Savina untuk menghentikan tangisnya. Laki-laki itu tahu kalau istrinya sangat sedih ditinggalkan olehnya.“Mas, aku tidak apa-apa. Sebaiknya Mas, segera berangat. Aku takut Mas, akan ketinggalan pesawat!” Savina menghapus air matanya dengan tatapan sendu. Ia harus terlihat tegar ketika melepas kepergian suaminya.“Vin, jaga baik-baik anak kita. Setelah semua pekerjaan selesai, aku pasti akan segera kembali ke sini!” ucap Firman dengan tatapan sendu. Laki-laki itu kembali mengecup puncak kepala istrinya dan mengucapkan salam perpisahan.Savina melepas suaminya dengan perasaan sedih. Di saat dirinya baru saja menerima berita bahagia karena kehamilannya, Mas Firman justru harus pergi ke luar kota untuk m
Pak Amir baru saja pulang dari masjid ketika dari kejauhan dirinya samar-samar melihat seseorang yang tengah berbaring di tepi jalan. Awalnya ia mengira ada orang gila yang sengaja tiduran di pinggir jalan, namun setelah mendekat dirinya merasa heran karena wanita itu tampak tergolek lemah dengan darah yang merembes di kakinya.“Astaghfirullah, Neng Vina!” seru Pak Amir dengan wajah terkejut. Ia segera mencari pertolongan kepada warga yang sedang melintas. Laki-laki itu meminta Bu Salimah, istrinya untuk pergi ke rumah Bu Leni.“Bu, tolong kabari Bu Leni kalau menantunya mengalami kecelakaan. Sepertinya Neng Vina habis mengalami tabrak lari!” ucap Pak Amir dengan napas tersengal-sengal.“I-iya, Pak. Ibu akan pergi ke rumah Bu Leni sekarang.” Bu Salimah segera berjalan cepat menuju ke rumah Bu Leni. Wanita itu terlihat panik mengingat kondisi Savina sepertinya tidak baik-baik saja.“Tok! Tok! Tok!” Bu Salimah mengetuk pintu rumah Bu Leni. Wanita itu juga mengucapkan salam berkali-kali
“Maaf, apa ini keluarga Ibu Savina?” tanya dokter itu dengan nada ramah.“Betul, kami keluarganya!” jawab Rista dengan nada ketus. Jujur dirinya merasa enggan mengakui Savina sebagai keluarganya. Wanita itu tidak akan pernah sudi memiliki adik ipar seperti Savina.“Bagaimana keadaan Savina, Dok?” tanya Bu Leni dengan perasaan was-was.“Maaf, saya sudah berusaha namun janin itu tidak dapat diselamatkan,” dokter itu berbicara dengan tatapan sendu. Ada penyesalan yang tergambar di wajahnya.“A-apa? M-maksud Dokter cucuku tidak dapat diselamatkan?” tanya Bu Leni dengan wajah terkejut.“Ya, saya dan tim dokter yang lain sudah berusaha, namun ternyata Tuhan lebih sayang dengan janin itu. Semoga Ibu dan keluarga sabar menghadapi semua ini.” dokter itu kembali berbicara dengan nada parau. Ia sangat paham dengan rasa kehilangan yang tengah dirasakan Bu Leni dan menantunya.Bu Leni hanya mengangguk dan berusaha menguatkan hatinya. Wanita itu mengangguk sebagai bentuk penghormatan kepada dokter
Firman tampak memapah istrinya memasuki rumah Bu Leni. Laki-laki itu begitu sabar mendampingi Savina selama menjalani pemulihan di rumah sakit. Ia bahkan berusaha menghibur Savina meski istrinya sangat sulit untuk tersenyum dan terkesan ingin menghindar darinya.“Mas, terima kasih sudah mengurusku dengan baik. Aku merasa menjadi beban untukmu dan keluargamu. Seharusnya aku yang merawatmu, tapi yang terjadi justru sebaliknya.” Savina berbicara dengan tatapan nanar. Wanita itu merasa bersalah karena sudah merepotkan Firman dan keluarganya.“Vin, kamu bicara apa? Aku ini suamimu dan sudah sepantasnya aku mengurus dan merawatmu. Aku melakukan semua ini dengan ikhlas. Sekarang lebih baik pulihkan kondisimu dan jangan berpikir yang macam-macam!” Firman meminta istrinya untuk beristirahat. Ia tidak ingin Savina banyak beraktivitas mengingat kondisinya belum benar-benar pulih.Setelah menyelimuti tubuh Savina, Firman keluar dari kamar dan meninggalkan wanita itu sendirian. Sebagai seorang sua