Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.
“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.
“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.
Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.
Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.
“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.
“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.
Rista segera masuk dan menghampiri Savina yang tengah menggendong Alisa.
“Vin, sini Alisa. Aku sudah kangen sama anakku!” ucap Rista dengan nada ketus. Bukannya berterima kasih kepada adik iparnya, Rista tetap saja bersikap sama. Ia tidak pernah benar-benar menganggap Savina sebagai iparnya.
“Ini, Kak!” jawab Savina sambil menyerahkan Alisa kepada ibunya.
“Astaghfirullah, Vin, kamu apakan anakku?” teriak Rista ketika melihat kening anaknya benjol. Wanita itu menatap tajam ke arah Savina.
“Kak, tadi kebetulan Alisa sedang bersama ibu, karena aku mau mandi. Tiba-tiba Alisa terjatuh dari baby walkernya,” ucap Savina dengan nada penuh kejujuran.
“Jadi kamu mau nyalahin ibu? Jelas-jelas kamu yang bertugas menjaga Alisa. Kenapa kamu malah melemparkan semua kesalahan dan kelalaianmu kepada ibu? Apa kamu mau bilang kalau semuanya ini salah ibu?” Rista memarahi Savina dan menyalahkan wanita itu.
“Kak, maaf, aku tidak bermaksud menyalahkan siapapun. Aku hanya menjelaskan yang sebenarnya.” Savina berusaha menjelaskan semuanya kepada Rista namun, wanita itu justru memarahinya.
“Alah jangan banyak alasan. Kalau kamu tidak mau menjaga Alisa, bilang saja kepadaku. Pantas saja sampai detik ini kamu belum juga diberikan keturunan, ternyata ini alasannya!” ucap Rista dengan nada ketus. Wanita itu segera membawa Alisa bersamanya.
Sementara Savina hanya dapat terdiam dan mengucap istighfar. Kenapa ujian rumah tangganya dengan Firman begitu berat? Apa Allah benar-benar ingin melihat kesungguhan Savina menjadi seorang istri yang begitu taat kepada suaminya? Wajah ke dua orang tuanya kembali terbayang di pelupuk matanya.
Bu Leni merasa heran melihat Rista menggendong Alisa dengan wajah ditekuk. Meski dia tahu alasan yang sebenarnya, tetap saja wanita itu berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Ada apa Ris? Kenapa kamu cemberut seperti itu?” tanya Bu Leni sambil menata piring di meja makan.
“Bu, Savina itu memang keterlaluan. Ibu lihat sendiri kepala Alisa sampai benjol begini, apa dia merasa iri denganku sehingga tidak mau menjaga dan mengasuh Alisa? Alisa itu keponakannya sendiri Bu, bukan orang lain!” Rista menumpahkan kekesalannya kepada Bu Leni tentang ketidak becusan Savina menjaga putrinya.
“Ris, Vina memang begitu. Dari dulu, Ibu sudah menasihati adikmu untuk mencari wanita lain saja. Padahal siapa yang tidak kenal dengan adikmu? Tampan, sholeh, memiliki jabatan bagus. Tapi sayang, lebih memilih Savina yang kampuangn itu!” cerocos Bu Leni tanpa jeda.
Ardi tampak canggung melihat perbincangan istri dan mertuanya. Sebagai menantu, ada rasa tidak tega kepada Savina yang sudah mau menjaga putrinya seharian tanpa imbalan.
“Sudahlah Dek, mungkin Savina memang tidak sengaja. Lagian Alisa sepertinya baik-baik saja.” Ardi berusaha menenangkan istrinya yang tengah terbakar emosi.
“Mas, kamu ini kenapa? Bukannya membela anak dan istrimu, kamu malah membela si wanita kampungan itu. Apa kamu mau jadi pahlawan kesiangan buat dia? Kamu sama Firman sama saja. Sama-sama mudah dibodohi dan ditipu sikap polosnya!” Rista berbicara dengan nada tinggi. Wanita itu tidak terima melihat Ardi membela Savina.
“Dek, bukan begitu. Menurutku Vina sudah baik karena mau menjaga Alisa. Kalau dia tidak menjaga Alisa, apa kamu bisa bekerja? Kamu pasti akan direpotkan oleh Alisa. Aku harap, kamu sementara ini bersabar sampai kita menemukan pengasuh untuk Alisa.” Ardi berusaha menasihati Rista yang masih menyimpan kekesalan kepada adik iparnya. Laki-laki itu hanya dapat menghela napas melihat sikap istri dan mertunya.
“Ardi, istrimu itu tidak bersalah. Vina itu memang keterlaluan. Lagian dia tahu kalau Ibu itu sudah sepuh, masa Ibu harus menjaga Alisa? Ibu kan juga punya kesibukan lain. Anggap saja Alisa itu sebagai pancingan dan pembelajaran sebelum Vina benar-benar memiliki anak!” Bu Leni tetap berkeras membela putrinya. Bagi Bu Leni, Savina adalah menantu yang harus mendatangkan manfaat untuk keluarga besarnya.
Ardi hanya terdiam dengan wajah tertunduk. Laki-laki itu kembali menyibukkan diri dengan sepiring makanan yang ada di hadapannya. Mungkin ketika mereka sampai di rumah, Ardi akan kembali membujuk istrinya untuk segera mencari pengasuh untuk Alisa supaya tidak membebani Savina.
“Assalamualaikum!” Firman masuk ke dalam dengan senyum di wajahnya. Ia menyalami Bu Leni dan kakaknya. Laki-laki itu juga menyapa Firman yang tengah bersiap untuk makan malam.
“Waalaikumussalam!” jawab mereka serentak. Meski terlihat penuh kecanggungan, Bu Leni berusaha mencairkan suasana.
“Man, duduk dulu. Kamu pasti sangat lapar setelah seharian bekerja!” ucap Bu Leni dengan senyum di wajahnya.
“Ya, Bu, terima kasih. Vina mana?” tanya Firman kepada Bu Leni yang tengah duduk di hadapannya.
Bukannya menjawab, Bu Leni justru menghela napas berat dengan wajah tertunduk lesu.
“Ada apa Bu? Apa Vina melakukan kesalahan lagi?” tanya Firman dengan tatapan penuh rasa penasaran.
“Man, Vina itu maunya apa sih? Lihat kening Alisa, tadi dia jatuh ketika Vina mau mandi. Apa dia sebenarnya tidak suka dengan anak-anak? Alisa itu kan anak kakakmu dan berarti anak kalian juga. Ibu pikir, dengan mengasuh Alisa, akan tumbuh rasa keibuan di hati istrimu. Tapi, hasilnya malah seperti ini!” ucap Bu Leni dengan nada sewot.
“Bu, maafkan Vina. Mungkin Vina belum terbiasa menjaga anak kecil. Nanti biar aku yang menasihatinya.” Firman berusaha bersikap netral. Ia tidak ingin memperkeruh permasalahan yang terjadi di keluarga besarnya.
“Man, mungkin ini salah satu alasan Allah belum mengizinkan kalian untuk memiliki keturunan karena istrimu belum memiliki jiwa keibuan. Kalau istrimu masih seperti ini, jangan harap kamu akan memiliki keturunan, Man!” sahut Rista dengan nada mengejek.
“Kak, keturunan itu hak Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Jadi, rasanya kurang tepat kalau Kak Rista meragukan kuasa Allah,” jawab Firman dengan tatapan lekat.
“Man, jangan mencari pembenaran. Dari dulu, kami tidak pernah setuju dengan pernikahan kalian. Selain Vina tidak sederajat, dia juga tidak lebih hanya wanita mandul yang akan menyulitkanmu di masa depan!” Rista tampak naik pitam dan berusaha melemahkan pendirian adiknya.
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.
***
Bersambung
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di
“T-tapi aku merasa mual, Mas. Aromanya itu tidak enak!” Savina masih berusaha menjauhi dua mangkuk soto yang ada di meja.“Kamu merasa mual? Jangan-jangan!” lirih Bu Leni dengan netra membola.“Jangan-jangan apa Bu?” tanya Firman dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Tidak, tidak ada. Mungkin Vina hanya kelelahan atau masuk angin.” Bu Leni berusaha menjawab pertanyaan putranya dengan nada senormal mungkin. Entah kenapa, Bu Leni takut kalau Savina sampai hamil dan rencananya untuk memisahkan mereka akan gagal.“Sebaiknya kamu istirahat saja, nanti Mas panggilkan Mak Enah untuk memijit kamu!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.Laki-laki itu segera mengambil alih Alisa dari gendongan istrinya. Ada rasa tidak tega melihat belahan jiwanya kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.“Terima kasih, Mas!” ucap Savina sambil berlalu dari hadapan suaminya.Firman mencoba berbicara dengan Bu Leni, mungkin karena harus mengasuh Alisa sehingga membuat waktu istirahat Savina semakin berkurang.“Bu,
Firman segera masuk ke dalam, ia menemui Savina yang tengah berbaring di ranjangnya.“Vin, bagaimana? Apa sudah lebih enak?” tanya Firman sambil mengecup kening istrinya.“Alhamdulillah sudah, Mas. Mak Enah memang tidak diragukan lagi dalam urut mengurut!” kekeh Savina dengan senyum di wajahnya.“Mas, besok kita pergi ke bidan, yuk!” ucap Savina dengan netra berbinar.“Ke bidan? Mau ngapain? Apa tidak sebaiknya pergi ke dokter saja?” ucap Firman dengan tatapan keheranan.“Boleh, kalau Mas memang mengizinkan.” Savina tersenyum dan bergelayut manja di bahu suaminya.“Vin, apapun pasti akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu!” bisik Firman sambil mencubit hidung istrinya.“Termasuk membangun istana untuk kita berdua?” lirih Savina dengan wajah tertunduk.Firman segera bangkit dan mengembuskan napas kasar. Savina boleh meminta apa saja kepada dirinya, tapi tidak untuk membangun istana untuk mereka berdua. Ada Bu Leni yang menjadi tanggung jawabnya dan Firman tidak dapat melepaskannya begitu
Seorang perawat mengoleskan gel ke permukaan perut Savina, sedangkan Dokter Sinte menempelkan alat di perut wanita itu dan menggerakannya.“Nyonya Savina, di sana sudah terlihat kantung kehamilan dan Anda harus lebih menjaga diri, karena usia kehamilan Anda masih sangat rawan.” Dokter Sinta memberikan penjelasan sambil menunjuk monitor yang ada di depannya.“J-jadi istri saya hamil, Dok?” tanya Firman dengan netra membola. Ia seakan tidak percaya kalau hari ini dirinya akan menjadi seorang ayah.“Ya, menurut hasil pemeriksaan kandungan istri Anda sudah berusia tujuh minggu. Saya sarankan, Anda lebih menjaga kandungan Nyonya Savina karena masih dalam trimester pertama. Saya akan meresepkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh istri Anda. Sekali lagi saya ucapkan selamat ya Pak, Bu!” ucap Dokter Sinta dengan senyum di wajahnya.Savina yang mendengar keterangan Dokter Sinta hanya dapat mengucap syukur berkali-kali. Ia merasa Allah begitu baik karena mengirimkan kebahagiaan di saat
“Vin, kamu kenapa? Dari tadi aku perhatikan kamu terlihat tidak nyaman? Apa kamu tidak suka dengan restoran ini?” tanya Firman dengan tatapan lekat.“T-tidak Mas, aku sangat menyukai suasananya. Bahkan ketika berada di sini, rasa rinduku kepada kampung halaman terobati.” Savina menjawab pertanyaan suaminya dengan nada gugup. Ia masih memikirkan kakak iparnya yang terlihat sangat mesra bersama seorang wanita muda.Lokasi saung yang tidak terlalu jauh dari tempat Savina berada, membuat wanita itu begitu leluasa mengamati pergerakan wanita yang tengah bersama kakak iparnya. Apa mungkin seorang Ardi yang begitu penyayang dan lemah lembut, tega berkhianat kepada Kak Rista? Memikirkan hal itu membuat kepala Savina berdenyut.“Mas, memangnya Mas Ardi dan Kak Rista tidak satu kantor?” tanya Savina kepada suaminya.“Tidak, Kak Rista bekerja di perusahaan farmasi, sedangkan Mas Ardi bekerja di perusahaan otomotif. Tapi aku selalu bangga kepada mereka. Mas Ardi mampu mengimbangi sikap Kak Rista
“Bu, bukannya aku tidak patuh. Aku sangat menghargai keinginan Ibu, tapi aku tidak mungkin meninggalkan Savina karena dia sedang mengandung cucu Ibu!” Firman berbicara dengan netra berbinar. Laki-laki itu sangat bahagia ketika menyampaikan kabar kehamilan Savina.“A-apa? H-hamil?” tanya Bu Leni dengan wajah pias. Wanita itu sangat terkejut dengan penuturan putranya.“Iya, Bu. Alhamdulillah akhirnya Vina hamil dan aku akan menjadi seorang Ayah. Itu artinya Ibu akan menjadi seorang nenek. Ibu pasti senang kan?” tanya Firman dengan nada penuh semangat. Laki-laki itu tersenyum bahagia ketika berhadapan dengan wanita yang sudah melahirkannya.Bu Leni hanya mengangguk dengan perasaan tak menentu. Apa benar menantunya sedang hamil? Kalau benar, berarti dia akan semakin sulit untuk memisahkan Firman dengan Savina.“Bu, apa Ibu senang dengan berita ini?” tanya Firman dengan netra berbinar. Ia yakin kalau wanita di hadapannya pasti merasa bahagia mendapatkan kabar baik darinya.“Y-ya, Ibu meras
Firman memeluk Savina sebelum dirinya memasuki taksi yang tengah menjemputnya. Laki-laki itu tahu kalau istrinya sedang bersedih dengan kepergiannya.“Vin, jangan menangis. Mas, pergi untuk dirimu dan anak kita. Mas, akan sering menghubungimu selama berada di luar kota,” Firman membujuk Savina untuk menghentikan tangisnya. Laki-laki itu tahu kalau istrinya sangat sedih ditinggalkan olehnya.“Mas, aku tidak apa-apa. Sebaiknya Mas, segera berangat. Aku takut Mas, akan ketinggalan pesawat!” Savina menghapus air matanya dengan tatapan sendu. Ia harus terlihat tegar ketika melepas kepergian suaminya.“Vin, jaga baik-baik anak kita. Setelah semua pekerjaan selesai, aku pasti akan segera kembali ke sini!” ucap Firman dengan tatapan sendu. Laki-laki itu kembali mengecup puncak kepala istrinya dan mengucapkan salam perpisahan.Savina melepas suaminya dengan perasaan sedih. Di saat dirinya baru saja menerima berita bahagia karena kehamilannya, Mas Firman justru harus pergi ke luar kota untuk m