“Vin, kopiku mana?” seru Firman ketika ia tidak menemukan secangkir kopi di meja. Laki-laki itu merasa heran karena Savina justru tidak terlihat di sana.
“Maaf, aku harus menenangkan Alisa. Sebentar ya Mas, aku buatkan sekarang!” ucap Savina dengan langkah tergopoh-gopoh sambil menggendong Alisa.
“Alisa? Sepagi ini Mbak Rista sudah berkunjung ke rumah ibu?” ucap Firman dengan tatapan terkejut.
“Pengasuh Alisa pulang kampung, jadi aku membantu Mbak Rista untuk menjaga Alisa selama Mbak Rista bekerja.” Savina menjelaskan kalau dirinya mulai hari ini membantu Rista menjaga Alisa.
“A-apa? Menjaga Alisa? Mbak Rista itu kenapa sih? Memangnya kamu tidak punya kesibukkan sendiri? Biar aku bicara sama ibu!” Firman tampak kesal melihat Savina yang tengah kerepotan mengasuh Alisa. Anak itu juga tidak mau turun dari gendongan Savina sehingga membuat Savina tampak kerepotan.
Firman bergegas menemui Bu Leni. Ia ingin bertanya mengenai Alisa yang diasuh oleh istrinya.
“Bu, ada yang mau aku bicarakan.” Firman duduk di hadapan Bu Leni yang tengah menonton acara gosip di televisi.
“Ada apa Man? Kenapa kamu terlihat cemberut seperti itu?” Bu Leni tampak keheranan melihat tampang anaknya.
“Bu, aku mau tanya, kenapa Vina harus mengasuh Alisa? Memangnya pengasuh Alisa ke mana? Lagian Kak Rista ada-ada saja, memangnya istriku tidak ada kesibukan?” ucap Fiman dengan nada kesal.
“Man, kasihan Kakakmu, Pengasuh Alisa pulang kampung. Sedangkan kakakmu adalah wanita pekerja. Kalau Alisa tidak ada yang menjaga bagaimana? Anggap saja kalian sedang membantu kakakmu. Lagi pula, istrimu juga tidak bekerja Man, jangan suka perhitungan dengan kakakmu sendiri!” jawab Bu Leni dengan nada tinggi.
“Bu, bukan begitu. Vina kan juga harus mengurus rumah juga. Kalau harus mengurus Alisa, apa pekerjaan rumah akan selesai?” Firman berbicara dengan penuh kelembutan. Ia tahu kalau ibunya tersinggung dengan ucapannya.
“Man, istrimu itu belum hamil juga, jadi anggap Alisa itu sebagai pancingan. Malu kalau sampai didengar saudara yang lain. Hal sepele begini saja di permasalahkan!” Bu Leni meminta Firman untuk tidak memperpanjang masalah ini dan membiarkan Savina mengasuh Alisa.
Firman hanya menghela napas, laki-laki itu masih terdiam di hadapan Bu Leni. Ada perasaan yang tengah dipendam di dalam hatinya.
“Bu, aku harap Kak Rista akan segera menemukan pengasuh untuk Alisa. Jadi, Savina tidak harus mengasuh Alisa setiap hari.” Firman berbicara dengan tatapan penuh harap.
“Ya, doakan saja semoga Rista bisa secepatnya mendapatkan pengasuh untuk menjaga Alisa.” Jawab Bu Leni dengan penuh kelembutan. Wanita itu merasa lega karena Firman tidak marah kepadanya.
“Bu, aku berangkat dulu, ya!” ucap Firman sambil mengucapkan salam.
Bu Leni mengangguk dan menyodorkan tangannya kepada Firman. Wanita itu mengantarkan anaknya sampai di beranda rumahnya.
“Hati-hati, Man!” ucap Bu Leni dengan senyum di wajahnya. Wanita itu segera masuk ke dalam ketika mobil Firman sudah menjauh meninggalkan halaman rumahnya.
Bu Leni masuk ke dalam dan mencari keberadaan menantunya. Ia ingin meminta Savina membuatkan teh untuknya.
“Vin, teh Ibu mana? Tumben, sudah jam segini belum ada apa-apa di meja makan?” seru Bu Leni kepada menantunya.
“Sebentar Bu, ini tehnya baru selesai. Alisa juga rewel terus dari tadi,” jawab Savina sambil menenangkan Alisa yang menangis di gendongannya.
“Vin, pantas saja kamu belum diberi kepercayaan, mengurus Alisa saja kamu tidak becus. Cepat tehnya bawa ke depan. Ibu sudah kehausan!” ucap Bu Leni dengan nada ketus.
Bukannya membantu Savina yang tengah kerepotan, Bu Leni justru mengungkit perihal Savina yang belum juga diberikan keturunan. Hal itu membuat Savina merasa sedih.
‘Vin, kamu harus sabar. Semoga saja Bu Leni segera dilembutkan hatinya oleh Allah dan menyadari kesalahannya,’ batin Savina sambil memberikan botol susu kepada Alisa yang masih terus menangis.
Setelah berjibaku menenangkan Alisa, akhirnya anak itu diam juga dengan mata tertutup. Ternyata Alisa mengantuk sehingga terus menangis di gendongan Savina. Wanita itu segera masuk ke kamar dan meletakkan Alisa di atas ranjang.
Savina segera berlari ke dapur, ia bergegas membawakan segelas teh dan sepiring jagung rebus untuk mertuanya. Meski Bu Leni terus menerus menyakiti dirinya, Savina masih berusaha bertahan demi Firman dan ke dua orang tuanya.
“Bu, ini tehnya!” ucap Savina dengan penuh kelemnutan.
“Ya, letakkan saja di situ!” jawab Bu Leni dengan nada ketus. Ia masih kesal karena Firman tadi pagi sudah berani menegurnya.
“Vin, sini sebentar, Ibu mau bicara!” ucap Bu Leni dengan tatapan tajam.
“A-ada apa Bu?” tanya Savina dengan dada berdebar. Ia seakan membaca sesuatu yang tidak beres di wajah mertuanya.
“Kamu berbicara apa sama Firman? Apa kamu keberatan menjaga Alisa? Alisa itu anak Rista, kakak suamimu. Jadi, sama saja kamu menjaga anakmu sendiri. Kalau mau jadi menantu Ibu, jangan suka perhitungan!” Bu Leni menghardik menantunya dan meminta Savina untuk tidak perhitungan.
“Maaf Bu, Vina tidak berbicara apa-apa sama Mas Firman. Vina, hanya bilang kalau Alisa sekarang diasuh di sini karena pengasuhnya pulang ke kampung.” Savina berbicara dengan wajah tertunduk. Ia berusaha menjelaskan semuanya kepada Bu Leni.
“Baiklah, sekarang kamu boleh kembali ke belakang. Ingat, nanti siang Ibu mau pergi arisan. Kamu jangan lupa memasak makan siang untuk Firman. Satu lagi, tolong buatkan bubur untuk Alisa. Rista tidak sempat memasak karena ada rapat di kantor. Maklum, kakakmu itu wanita sibuk!” Bu Leni sengaja menekan kata sibuk untuk menyindir Savina.
Savina hanya mengangguk dan segera kembali ke dapur. Ia memeriksa cucian yang menggunung dan segera membilasnya. Untung saja, Mas Firman memerintahkan dirinya untuk mencuci menggunakan mesin karena melihat kerepotan istrinya tadi pagi.
Baru saja selesai mengeringkan pakaian di dalam mesin cuci, suara tangisan Alisa membuat Savina terkejut. Ia segera berlari ke dalam kamar dan menemukan Alisa yang tengah menangis di hadapannya.
“Anak cantik sudah bangun, sini Tante gendong!” ucap Savina dengan penuh kelembutan.
Savina menggendong Alisa dan membujuknya supaya menghentikan tangisnya. Wanita itu mengecup pipi Alisa dan membawanya ke dapur. Ada senyum di wajah Savina ketika melihat Alisa yang terdiam di dalam gendongannya.
Meski Savina belum memiliki anak, wanita itu terlihat sangat telaten dan sabar mengasuh Alisa. Ia bahkan sangat menyayangi Alisa dan menganggap anak itu seperti anaknya sendiri.
Savina membawa Alisa ke beranda rumahnya. Wanita itu sesekali tersenyum dan mengajak Alisa bermain dengannya.
“Anak pintar, anak sholehah, cantik banget ini, anak siapa?” ucap Savina dengan nada riang. Ia bahkan tidak menyadari kedatangan mertuanya di sana.
“Makanya Vin, cepetan punya anak. Ibu sudah tidak sabar ingin menggendong cucu dari Firman!” ucap Bu Leni dengan nada menyindir.
***
Bersambung
Savina hanya hanya tersenyum kecil dan tidak terlalu menanggapi serius ucapan ibu mertuanya. Kata-kata seperti itu, sudah sangat sering singgah di telinga Savina sehingga membuat dirinya kebal dengan ucapan-ucapan yang kerap menyakitinya.“Doakan saja, Bu, semoga kami lekas diberi momongan!” jawab Savina dengan senyum di wajahnya.“Kapan? Buktinya kamu belum hamil-hamil juga. Dulu, Rista dua bulan menikah langsung hamil. Lalu, Arini kakaknya Rista juga sama, sebulan menikah langsung hamil. Kamu kira-kira kapan?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.“Bu, soal anak itu rahasia Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya, kami hanya serahkan semuanya kepada Allah.” Savina berusaha memberikan pengertian kalau masalah anak adalah hak Allah. Dia juga ingin segera memiliki anak, tapi kalau Allah belum berkehendak bagaimana?“Alah, kamu saja yang terlalu banyak alasan, Vin. Kita lihat saja, kalau kamu belum hamil juga, mungkin Firman perlu mencari penggantimu!” ucap
Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.Rista segera masuk dan menghampi
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di
“T-tapi aku merasa mual, Mas. Aromanya itu tidak enak!” Savina masih berusaha menjauhi dua mangkuk soto yang ada di meja.“Kamu merasa mual? Jangan-jangan!” lirih Bu Leni dengan netra membola.“Jangan-jangan apa Bu?” tanya Firman dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Tidak, tidak ada. Mungkin Vina hanya kelelahan atau masuk angin.” Bu Leni berusaha menjawab pertanyaan putranya dengan nada senormal mungkin. Entah kenapa, Bu Leni takut kalau Savina sampai hamil dan rencananya untuk memisahkan mereka akan gagal.“Sebaiknya kamu istirahat saja, nanti Mas panggilkan Mak Enah untuk memijit kamu!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.Laki-laki itu segera mengambil alih Alisa dari gendongan istrinya. Ada rasa tidak tega melihat belahan jiwanya kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.“Terima kasih, Mas!” ucap Savina sambil berlalu dari hadapan suaminya.Firman mencoba berbicara dengan Bu Leni, mungkin karena harus mengasuh Alisa sehingga membuat waktu istirahat Savina semakin berkurang.“Bu,
Firman segera masuk ke dalam, ia menemui Savina yang tengah berbaring di ranjangnya.“Vin, bagaimana? Apa sudah lebih enak?” tanya Firman sambil mengecup kening istrinya.“Alhamdulillah sudah, Mas. Mak Enah memang tidak diragukan lagi dalam urut mengurut!” kekeh Savina dengan senyum di wajahnya.“Mas, besok kita pergi ke bidan, yuk!” ucap Savina dengan netra berbinar.“Ke bidan? Mau ngapain? Apa tidak sebaiknya pergi ke dokter saja?” ucap Firman dengan tatapan keheranan.“Boleh, kalau Mas memang mengizinkan.” Savina tersenyum dan bergelayut manja di bahu suaminya.“Vin, apapun pasti akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu!” bisik Firman sambil mencubit hidung istrinya.“Termasuk membangun istana untuk kita berdua?” lirih Savina dengan wajah tertunduk.Firman segera bangkit dan mengembuskan napas kasar. Savina boleh meminta apa saja kepada dirinya, tapi tidak untuk membangun istana untuk mereka berdua. Ada Bu Leni yang menjadi tanggung jawabnya dan Firman tidak dapat melepaskannya begitu
Seorang perawat mengoleskan gel ke permukaan perut Savina, sedangkan Dokter Sinte menempelkan alat di perut wanita itu dan menggerakannya.“Nyonya Savina, di sana sudah terlihat kantung kehamilan dan Anda harus lebih menjaga diri, karena usia kehamilan Anda masih sangat rawan.” Dokter Sinta memberikan penjelasan sambil menunjuk monitor yang ada di depannya.“J-jadi istri saya hamil, Dok?” tanya Firman dengan netra membola. Ia seakan tidak percaya kalau hari ini dirinya akan menjadi seorang ayah.“Ya, menurut hasil pemeriksaan kandungan istri Anda sudah berusia tujuh minggu. Saya sarankan, Anda lebih menjaga kandungan Nyonya Savina karena masih dalam trimester pertama. Saya akan meresepkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh istri Anda. Sekali lagi saya ucapkan selamat ya Pak, Bu!” ucap Dokter Sinta dengan senyum di wajahnya.Savina yang mendengar keterangan Dokter Sinta hanya dapat mengucap syukur berkali-kali. Ia merasa Allah begitu baik karena mengirimkan kebahagiaan di saat
“Vin, kamu kenapa? Dari tadi aku perhatikan kamu terlihat tidak nyaman? Apa kamu tidak suka dengan restoran ini?” tanya Firman dengan tatapan lekat.“T-tidak Mas, aku sangat menyukai suasananya. Bahkan ketika berada di sini, rasa rinduku kepada kampung halaman terobati.” Savina menjawab pertanyaan suaminya dengan nada gugup. Ia masih memikirkan kakak iparnya yang terlihat sangat mesra bersama seorang wanita muda.Lokasi saung yang tidak terlalu jauh dari tempat Savina berada, membuat wanita itu begitu leluasa mengamati pergerakan wanita yang tengah bersama kakak iparnya. Apa mungkin seorang Ardi yang begitu penyayang dan lemah lembut, tega berkhianat kepada Kak Rista? Memikirkan hal itu membuat kepala Savina berdenyut.“Mas, memangnya Mas Ardi dan Kak Rista tidak satu kantor?” tanya Savina kepada suaminya.“Tidak, Kak Rista bekerja di perusahaan farmasi, sedangkan Mas Ardi bekerja di perusahaan otomotif. Tapi aku selalu bangga kepada mereka. Mas Ardi mampu mengimbangi sikap Kak Rista