Firman menghela napas, laki-laki itu melonggarkan dasinya dan menatap wajah Bu Leni.
“Bu, maafkan aku yang belum bisa membimbing Savina ke arah yang lebih baik. Untuk masalah ini, nanti akan aku bicarakan dengan Savina. Aku pikir setelah ada Savina di rumah, Ibu tidak akan kesepian lagi. Eh, ternyata kehadiran Savina malah semakin merepotkan Ibu.” Firman meminta maaf kepada Bu Leni. Ia merasa bersalah karena sudah membebani orang tuanya.
“Man, tidak usah terlalu berlebihan. Savina mungkin hanya butuh penyesuaian. Kamu tahu kan? Kalau Savina berasal dari kampung dan ada banyak hal yang harus dipelajari di sini.” Bu Leni berusaha terlihat baik di hadapan putranya sehingga membuat Firman sangat percaya dengan ucapan ibunya.
“Bu, tidak apa-apa. Aku akan tetap membicarakan hal ini dengan Savina. Aku suaminya dan aku adalah imam untuknya. Jadi, tidak salah kalau aku yang akan membimbing dan mengajarinya.” Firman kembali menegaskan kalau dirinya akan menegur Savina dengan cara baik-baik karena wanita itu sudah menjadi tanggung jawabnya.
Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba Savina keluar dengan secangkir teh hangat di atas nampan. Ia mendekat dan mengucapkan salam kepada Firman serta mencium tangan suaminya yang masih tampak terdiam.
“Assalamualaikum!” ucap Savina sambil mencium tangan suaminya. Sebagai seorang istri, Savina ingin mengabdikan hidupnya untuk Firman yang sudah menjadi imamnya.
“Waalaikumussalam. Vin, kenapa kamu tidak menyambutku ketika pulang untuk makan siang? Aku justru pulang karena aku ingin makan bersamamu.” Firman sedikit kesal melihat wajah istrinya yang tampak kucel dengan daster kumal yang dipakainya. Ia bahkan menghela napas ketika melihat penampilan Savina.
“M-maaf, Mas, aku baru saja selesai memasak dan membersihkan dapur,” Savina berbicara dengan wajah tertunduk.
“Lain kali, kalau suami mau pulang makan siang kamu sudah harus terlihat rapi. Tidak usah bersolek seperti gadis-gadis kota pada umumnya, cukup mandi dan memakai pakaian bersih saja membuat hatiku senang.” Firman berbicara dengan penuh kelembutan. Ia hanya ingin menasihati istrinya supaya merubah kebiasaan buruknya.
Bu Leni tampak tidak suka melihat Firman yang terlihat sangat mencintai Savina. Ingin sekali wanita itu mengusir Savina dari sisi putranya dan meminta Savina untuk tidak pernah kembali. Tapi, apa mau dikata kalau Firman sangat mencintai wanita kampungan itu? Bisa-bisa rencananya gagal untuk menyingkirkan Savina dengan cara perlahan-lahan.
“Vin, ayo makan siang bareng. Aku tahu kalau kamu belum makan kan?” ucap Firman dengan penuh perhatian. Ia mengambilkan piring untuk Savina dan menyendokkan nasi ke dalamnya.
Bu Leni sengaja melemparkan tatapan tajam ke arah Savina. Wanita itu seakan-akan ingin berkata kalau Savina yang kampungan, tidak pantas bersanding dengan putranya. Kalau bukan karena Firman yang merajuk dan mengancam, Bu Leni tidak akan sudi membiarkan putranya menikah dengan gadis kampungan seperti Savina.
Savina yang sadar ditatap oleh Bu Leni segera paham. Ia berpura-pura kalau pekerjaannya belum selesai. Ada cucian yang menumpuk dan belum sempat dijemur karena Bu Leni sepertinya tidak pernah puas untuk mengerjainya.
“Mas, maaf aku tidak bisa menemanimu makan siang. Aku belum sempat menjemur cucian. Kalau tidak aku jemur sekarang, nanti baju kerjamu tidak kering.” Savina berusaha mencari alasan supaya suaminya percaya.
“Vin, aku suamimu. Kenapa kamu justru memikirkan cucian? Aku hanya ingin makan siang bersamamu sambil berbincang ringan. Kalau aku makan sendirian, aku bisa melakukannya di kantor. Sekarang aku minta, duduk di sini dan temani aku!” perintah Firman kepada istrinya.
Savina tidak dapat menolak, ia mengangguk patuh dan duduk di samping Firman.
“Vin, bagaimana kalau aku libur, aku ingin mengajakmu ke salon. Aku ingin kamu terlihat cantik seperti dulu ketika awal aku berjumpa denganmu. Kamu jangan salah paham, aku hanya ingin melihat wajahmu lebih segar.” Firman yang melihat perubahan penampilan Savina ingin mengajak istrinya pergi ke salon.
“Man, tidak usah repot-repot mengajak istrimu ke salon. Ibu saja sudah setua ini masih bisa merawat diri. Cukup pakai bahan-bahan yang ada di dapur saja dan uangnya bisa kamau tabung untuk persiapan masa depan. Kamu harus sadar kalau sekarang apa-apa mahal.” Bu Leni menyela dan melarang Firman mengajak istrinya ke salon. Wanita itu keberatan dengan usulan putranya yang tidak masuk akal.
‘Enak sekali Savina, datang-datang mau merampok putraku. Memangnya dulu siapa yang merawat, membesarkan dan menyekolahkan Firman? Kok sekarang tiba-tiba wanita kampung itu mau memanfaatkan putraku?’ batin Bu Leni dengan lirikan yang begitu tajam.
Entah dosa apa yang dilakukannya di masa lalu sehingga Bu Leni merasa ketiban apes. Putra kesayangannya malah memilih Savina yang kampungan dan miskin daripada Naira yang berprofesi dokter. Kalau saja ada obat untuk memisahkan mereka, Bu Leni pasti akan membelinya dan memberikan kepada Firman supaya mau bercerai dengan Savina.
Firman tampak begitu perhatian dengan Savina. Laki-laki itu bahkan dengan telaten menyuapi Savina di hadapan Bu Leni. Hal ini memnbuat darah Bu Leni semakin mendidih.
“Vin, Ibu boleh minta tolong?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.
“M-minta tolong apa bu?” tanya Savina dengan tatapan lekat.
“Tolong ambilkan obat Ibu yang ada di kamar. Ibu lupa membawanya ke sini!” Bu Leni meminta menantunya untuk memgambilkan obat yang ada di atas meja. Wanita itu sengaja menyuruh Savina karena tidak tahan melihat sikap manis putranya.
“Baik, Bu!” jawab Savina dengan patuh.
Sepeninggal Savina, Bu Leni kembali bercerita kalau Savina itu kerap tidak mau membantu pekerjaan rumah tangga. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain ponsel dan abai kepada tugas-tugasnya.
“Man, istrimu itu lho, kerjaannya main HP terus. Apa matanya gak capek?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.
“Bu, bagaimana kalau kita mencari ART saja? Jadi, Ibu tidak usah capek-capek mengerjakan semuanya. Ibu tinggal mengawasi saja pekerjaannya.” Firman mengusulkan kepada Bu Leni untuk mencari ART lagi. Semenjak ada Savina, Bu Leni memberhentikan ART yang sudah bekerja selama bertahun-tahun di rumahnya. Alasan Bu Leni adalah supaya Savina belajar menjadi istri yang baik untuk Firman.
“Tidak usah. Itu namanya buang-buang uang. Lebih baik uangnya ditabung untuk masa depanmu. Kalau Savina hamil, pasti membutuhkan biaya yang banyak. Ibu tidak mau kalau cucu Ibu nanti hidup susah seperti ibunya!” ucap Bu Leni dengan nada ketus.
“Astaghfirullah, Bu, istighfar. Rezeki itu sudah diatur oleh Allah. Jadi, Ibu tidak boleh berbicara seperti itu.” Firman merasa terkejut mendengar ucapan wanita yang sudah melahirkannya.
“Man, kenyataannya kan begitu. Savina itu datang dari keluarga miskin dan kamu lihat sendiri kan? Ibu sering dihina oleh keluarga yang lain karena apa? Karena istrimu yang bukan Sarjana. Ibu merasa gagal mendidikmu dan Ibu merasa menjadi Ibu yang tidak berguna!” Bu Leni berbicara dengan netra berkaca-kaca. Wanita itu kembali mengungkit-ungkit pernikahan Firman dengan Savina.
“Bu, bukannya rizki, jodoh dan maut itu sudah ditentukan Allah? Mungkin Savina memang wanita terbaik yang Allah kirimkan untukku.” Firman masih berusaha membela istrinya meski dirinya juga tidak mungkin melawan wanita yang sudah melahirkannya.
“Firman, pernikahan kamu sudah lebih dari empat bulan. Kenapa Savina belum hamil-hamil juga? Lihat, sepupu-sepupumu, istri mereka sudah hamil semua. Sedangkan Savina? Sampai detik ini masih saja belum ada tanda-tanda. Apa jangan-jangan dia mandul?” ucapan Bu Leni semakin pedas. Kebencian di hati wanita itu semakin menjadi-jadi.
“Bu, kita berpikir positif saja, mungkin Allah memang belum memberi rejeki kepada kami. Lagi pula baru empat bulan, belum setahun.” Firman masih menanggapi ucapan Bu Leni dengan nada santai.
“Belum setahun? Kamu mau nunggu sampai kapan? Sampai Ibu tua renta dan tidak bisa mengasuh cucu?” Bu Leni terlihat marah dengan jawaban putranya.
Sementara Savina, bersembunyi di balik pintu dengan tangan gemetar. Ia merasa sedih mendengar ucapan ibu mertuanya. Kalau bukan karena rasa cintanya kepada Firman, mungkin Savina sudah meninggalkan rumah mewah yang seperti neraka.
***
Bersambung
Firman masih mendiamkan Savina karena kejadian kemarin. Laki-laki itu sudah termakan hasutan Bu Leni yang mengatakan Savina sebagai menantu tidak becus mengurus rumah tangga. “Mas, diminum dulu kopinya!” ucap Savina dengan penuh perhatian. Meski Firman bersikap abai dan tidak peduli kepadanya, Savina masih bersikap baik kepada suaminya. Firman meneguk secangkir kopi yang sudah terhidang di meja. Laki-laki itu menatap lekat kepada Savina yang masih berdiri di hadapannya. “Vin, apa kamu mencintaiku?” tanya Firman dengan tatapan yang begitu tajam. “Kenapa Mas, bertanya seperti itu? Seharusnya tanpa bertanya, Mas, juga tahu kalau aku sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintai Mas, mungkin aku sudah kembali ke kampung.” Savina berbicara dengan tatapan sendu. Ada kesedihan yang tengah ia sembunyikan di balik tatapan matanya. “Kalau kamu mencintai Mas, kamu harus bisa mengambil hati ibu. Mas, tahu ini tidak mudah. Tapi bukan berarti hal yang mustahil. Ibu sejatinya sangat menyayangi
“Vin, kopiku mana?” seru Firman ketika ia tidak menemukan secangkir kopi di meja. Laki-laki itu merasa heran karena Savina justru tidak terlihat di sana. “Maaf, aku harus menenangkan Alisa. Sebentar ya Mas, aku buatkan sekarang!” ucap Savina dengan langkah tergopoh-gopoh sambil menggendong Alisa. “Alisa? Sepagi ini Mbak Rista sudah berkunjung ke rumah ibu?” ucap Firman dengan tatapan terkejut. “Pengasuh Alisa pulang kampung, jadi aku membantu Mbak Rista untuk menjaga Alisa selama Mbak Rista bekerja.” Savina menjelaskan kalau dirinya mulai hari ini membantu Rista menjaga Alisa. “A-apa? Menjaga Alisa? Mbak Rista itu kenapa sih? Memangnya kamu tidak punya kesibukkan sendiri? Biar aku bicara sama ibu!” Firman tampak kesal melihat Savina yang tengah kerepotan mengasuh Alisa. Anak itu juga tidak mau turun dari gendongan Savina sehingga membuat Savina tampak kerepotan. Firman bergegas menemui Bu Leni. Ia ingin bertanya mengenai Alisa yang diasuh oleh istrinya. “Bu, ada yang mau aku bic
Savina hanya hanya tersenyum kecil dan tidak terlalu menanggapi serius ucapan ibu mertuanya. Kata-kata seperti itu, sudah sangat sering singgah di telinga Savina sehingga membuat dirinya kebal dengan ucapan-ucapan yang kerap menyakitinya.“Doakan saja, Bu, semoga kami lekas diberi momongan!” jawab Savina dengan senyum di wajahnya.“Kapan? Buktinya kamu belum hamil-hamil juga. Dulu, Rista dua bulan menikah langsung hamil. Lalu, Arini kakaknya Rista juga sama, sebulan menikah langsung hamil. Kamu kira-kira kapan?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.“Bu, soal anak itu rahasia Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya, kami hanya serahkan semuanya kepada Allah.” Savina berusaha memberikan pengertian kalau masalah anak adalah hak Allah. Dia juga ingin segera memiliki anak, tapi kalau Allah belum berkehendak bagaimana?“Alah, kamu saja yang terlalu banyak alasan, Vin. Kita lihat saja, kalau kamu belum hamil juga, mungkin Firman perlu mencari penggantimu!” ucap
Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.Rista segera masuk dan menghampi
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di
“T-tapi aku merasa mual, Mas. Aromanya itu tidak enak!” Savina masih berusaha menjauhi dua mangkuk soto yang ada di meja.“Kamu merasa mual? Jangan-jangan!” lirih Bu Leni dengan netra membola.“Jangan-jangan apa Bu?” tanya Firman dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Tidak, tidak ada. Mungkin Vina hanya kelelahan atau masuk angin.” Bu Leni berusaha menjawab pertanyaan putranya dengan nada senormal mungkin. Entah kenapa, Bu Leni takut kalau Savina sampai hamil dan rencananya untuk memisahkan mereka akan gagal.“Sebaiknya kamu istirahat saja, nanti Mas panggilkan Mak Enah untuk memijit kamu!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.Laki-laki itu segera mengambil alih Alisa dari gendongan istrinya. Ada rasa tidak tega melihat belahan jiwanya kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.“Terima kasih, Mas!” ucap Savina sambil berlalu dari hadapan suaminya.Firman mencoba berbicara dengan Bu Leni, mungkin karena harus mengasuh Alisa sehingga membuat waktu istirahat Savina semakin berkurang.“Bu,
Firman segera masuk ke dalam, ia menemui Savina yang tengah berbaring di ranjangnya.“Vin, bagaimana? Apa sudah lebih enak?” tanya Firman sambil mengecup kening istrinya.“Alhamdulillah sudah, Mas. Mak Enah memang tidak diragukan lagi dalam urut mengurut!” kekeh Savina dengan senyum di wajahnya.“Mas, besok kita pergi ke bidan, yuk!” ucap Savina dengan netra berbinar.“Ke bidan? Mau ngapain? Apa tidak sebaiknya pergi ke dokter saja?” ucap Firman dengan tatapan keheranan.“Boleh, kalau Mas memang mengizinkan.” Savina tersenyum dan bergelayut manja di bahu suaminya.“Vin, apapun pasti akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu!” bisik Firman sambil mencubit hidung istrinya.“Termasuk membangun istana untuk kita berdua?” lirih Savina dengan wajah tertunduk.Firman segera bangkit dan mengembuskan napas kasar. Savina boleh meminta apa saja kepada dirinya, tapi tidak untuk membangun istana untuk mereka berdua. Ada Bu Leni yang menjadi tanggung jawabnya dan Firman tidak dapat melepaskannya begitu