Savina keluar dari balik pintu. Wanita itu sengaja tersenyum untuk menyembunyikan luka hatinya.
“Bu, ini obatnya,” ucap Savina dengan penuh kelembutan.
“Terima kasih!” jawab Bu Leni dengan nada ketus. Wanita itu mengambil obat dari tangan Savina dan segera meminumnya.
Ketika Savina baru saja duduk di samping Firman, Bu Leni terlihat tidak suka dengan kebersamaan mereka.
“Firman, kamu sudah selesai makan siang. Apa kamu akan segera pergi ke kantor?” tanya Bu Leni dengan tatapan lekat.
Firman melirik ke jam yang melingkar di tangannya, lalu mengangguk patuh. Ia segera bersiap meninggalkan Savina yang belum menyelesaikan makan siangnya.
“Vin, Mas, pergi dulu ya. Jangan lupa, bantu Ibu di rumah. Kasihan kalau Ibu mengerjakan semuanya sendirian!” ucap Firman dengan penuh kelembutan.
DEG!
‘Mengerjakan semuanya sendirian? Apa Mas Firman tahu kalau semua pekerjaan rumah menjadi tugas Savina. Bu Leni kerjanya hanya memerintah dan memaki-maki Savina. Wanita itu juga senang sekali menghina keluarga Savina yang hanya buruh tani.’ Savina membatin dengan rasa nyeri di dadanya.
“Vin, kenapa kamu diam saja? Mas, mau berangkat!” ucap Firman dengan tatapan lekat.
Savina tampak tergagap, ia mengangguk dan menyalami tangan suaminya. Wanita itu tidak dapat berbuat banyak ketika Firman ingin kembali ke kantor.
“Assalamualaikum!” ucap Firman dengan senyum di wajahnya.
“Waalaikumussalam,” jawab Savina dengan tatapan sendu. Wanita itu mengantar suaminya sampai masuk ke dalam mobil. Ia bahkan masih berdiri di sana, ketika mobil Firman telah menjauh meninggalkan Savina dengan segala luka yang ia simpan sendirian.
“Vina!” seru Bu Leni kepada menantunya.
“Y-ya, Bu!” jawab Savina dengan nada tergagap. Ia segera berlari ke dalam dan menemui ibu mertuanya.
“Ingat, jangan bercerita apa-apa kepada Firman. Kalau kamu berani bercerita, Ibu tidak segan-segan mengembalikan kamu kepada orang tuamu. Apa kamu mau melihat ibu dan bapakmu yang misik itu menangis? Mereka pasti akan malu kalau Firman menceraikanmu!” ketus bu Leni dengan nada sinis.
Savina hanya mengangguk dengan wajah tertunduk. Ibu mertuanya benar, Savina adalah anak pertama dari empat bersaudara. Adik-adiknya masih kecil dan masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kalau dirinya sampai diceraikan oleh Firman, maka keluarga mereka akan dijadikan bahan gunjingan bagi tetangga-tetangganya. Belum juga setahun menikah, Savina sudah menjadi seorang janda.
“Sekarang kamu pergi ke belakang. Ibu lihat dapurnya masih berantakan!” Bu Leni kembali meminta menantunya untuk pergi ke dapur. Ia bahkan tidak peduli dengan kondisi Savina yang tampak kelelahan. Wanita itu merasa puas telah menyiksa dan menjadikan Savina sebagai babu gratisan di rumah mewahnya. Salah sendiri, mau menjadi menantunya. Coba kalau dulu Savina menolak lamaran putranya, mungkin sekarang Savina tidak akan terpenjara di istana yang mirip neraka.
Savina kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya. Seluruh waktunya hanya digunakan untuk bekerja dan bekerja. Sebagai suami, Firman juga sepertinya kurang peka dengan kondisi istrinya. Laki-laki itu seakan patuh dan takluk dengan perintah ibunya.
***
Hari ini, Firman sedang libur bekerja. Ia ingin mengajak istrinya untuk jalan-jalan.
“Vin, ayo siap-siap. Mumpung hari belum siang!” ucap Firman kepada Savina yang tengah mencuci piring di dapur.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Savina dengan tatapan keheranan.
“Selama kita menikah, aku belum pernah mengajak kamu jalan-jalan. Aku ingin kamu melihat-lihat dunia luar.” Firman berbicara dengan penuh kelembutan. Laki-laki itu memeluk mesra pinggang Savina sehingga membuat wanita itu tersipu malu.
“Mas, jangan seperti ini. Tidak enak kalau dilihat sama Ibu, tolong lepaskan!” ucap Savina dengan wajah tersipu-sipu.
“Kenapa harus malu? Kita sudah pasangan sah. Kenapa harus malu?” bisik Firman kepada istrinya.
Ketika mereka tengah berbincang mesra di dapur, tiba-tiba Bu Leni masuk ke sana dan tampak mengurut dada. Ia seakan tidak ikhlas melihat Firman memanjakan menantunya.
“Aduh!” seru Bu Leni sambil memegangi kepalanya. Wanita itu berpegangan ke dinding sambil merintih menahan sakit.
Firman dan Savina tampak terkejut, mereka tampak panik melihat Bu Leni yang tengah berpegangan ke dinding sambil menahan rasa sakit di kepalanya.
“Bu, Ibu kenapa?” seru Firman sambil berlari ke arah Bu Leni. Laki-laki itu memapah ibunya dan membawanya ke dalam kamar. Sementara Savina, tampak sibuk membuatkan segelas teh manis untuk mertuanya.
“Ibu kenapa? Apa Ibu sakit?” tanya Firman kepada wanita yang tengah berbaring di atas ranjang.
“Ibu pusing, Man. Mungkin ini karena Ibu terlalu lelah mengurus rumah!” ucap Bu Leni dengan tatapan nanar.
“Bu, Firman sudah bilang, sebaiknya kita mencari ART saja supaya Ibu tidak kelelahan. Usia Ibu sudah tidak muda lagi, jadi ada baiknya Ibu beristirahat saja.” Firman kembali membujuk ibunya untuk mencari ART supaya meringankan tugas-tugasnya. Namun, seperti biasa Bu Leni pasti akan menolak dan menuduh Firman memanjakan Savina.
“Man, biarkan Vina yang membantu Ibu. Vina itu seorang perempuan dan sudah tugasnya mencuci, menyapu dan memasak untuk suaminya. Kalau semuanya dikerjakan oleh ART, kapan Vina bisa mandiri?” Bu Leni tampak tidak suka kalau Firman tetap berkeras akan mencarikan ART yang akan membantu tugas-tugasnya.
“Bu, aku hanya tidak ingin Ibu sakit. Ibu sudah tua dan waktunya beristirahat.” Firman tampak serba salah. Di satu sisi, Bu Leni adalah wanita yang sudah mengandung dan membesarkannya dan di sisi lain, Savina adalah istri yang harus ia lindungi dan ia jaga.
“Sudahlah, urus saja istrimu dan jangan pernah pedulikan Ibu lagi. Seharusnya Ibu sadar kalau kamu sudah menikah dan menjadi milik Vina. Sedangkan Ibu? Ibu hanya orang lain bagimu!” ucap Bu Leni dengan nada terisak.
“Astaghfirullah, Bu, jangan berbicara seperti itu. Sampai kapan pun, Firman anak Ibu dan Ibu adalah tanggung jawab Firman. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, Firman akan selalu berusaha membahagiakan Ibu.” Firman menggenggam tangan Bu Leni dan bersimpuh di samping ranjang ibunya.
Savina yang masuk dengan segelas teh manis di atas nampan tampak begitu canggung. Ia segera meletakkan gelas itu di atas meja.
“Bu, diminum ya, tehnya!” ucap Savina dengan penuh kelembutan.
Firman segera membantu Bu Leni untuk duduk. Laki-laki itu menyodorkan gelas yang berisi teh manis kepada ibunya. Namun, baru saja gelas itu menyentuh bibir Bu Leni, wanita itu berteriak kencang.
“Akh!” pekik Bu Leni dengan wajah merah padam.
“K-kenapa Bu?” tanya Savina dengan wajah pias.
“Kamu mau mencelakai Ibu, ya? Teh panas kamu kasih ke Ibu!” seru Bu Leni dengan tatapan tajam.
“T-tidak, Bu. Tadi Vina sudah cobain dan tehnya tidak terlalu panas!” Savina berusaha membela diri di hadapan suami dan mertuanya.
***
Bersambung
“Cukup Vin, sekarang keluar dari sini!” ucap Firman dengan penuh penekanan.
Firman menghela napas, laki-laki itu melonggarkan dasinya dan menatap wajah Bu Leni. “Bu, maafkan aku yang belum bisa membimbing Savina ke arah yang lebih baik. Untuk masalah ini, nanti akan aku bicarakan dengan Savina. Aku pikir setelah ada Savina di rumah, Ibu tidak akan kesepian lagi. Eh, ternyata kehadiran Savina malah semakin merepotkan Ibu.” Firman meminta maaf kepada Bu Leni. Ia merasa bersalah karena sudah membebani orang tuanya. “Man, tidak usah terlalu berlebihan. Savina mungkin hanya butuh penyesuaian. Kamu tahu kan? Kalau Savina berasal dari kampung dan ada banyak hal yang harus dipelajari di sini.” Bu Leni berusaha terlihat baik di hadapan putranya sehingga membuat Firman sangat percaya dengan ucapan ibunya. “Bu, tidak apa-apa. Aku akan tetap membicarakan hal ini dengan Savina. Aku suaminya dan aku adalah imam untuknya. Jadi, tidak salah kalau aku yang akan membimbing dan mengajarinya.” Firman kembali menegaskan kalau dirinya akan menegur Savina dengan cara baik-baik k
Firman masih mendiamkan Savina karena kejadian kemarin. Laki-laki itu sudah termakan hasutan Bu Leni yang mengatakan Savina sebagai menantu tidak becus mengurus rumah tangga. “Mas, diminum dulu kopinya!” ucap Savina dengan penuh perhatian. Meski Firman bersikap abai dan tidak peduli kepadanya, Savina masih bersikap baik kepada suaminya. Firman meneguk secangkir kopi yang sudah terhidang di meja. Laki-laki itu menatap lekat kepada Savina yang masih berdiri di hadapannya. “Vin, apa kamu mencintaiku?” tanya Firman dengan tatapan yang begitu tajam. “Kenapa Mas, bertanya seperti itu? Seharusnya tanpa bertanya, Mas, juga tahu kalau aku sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintai Mas, mungkin aku sudah kembali ke kampung.” Savina berbicara dengan tatapan sendu. Ada kesedihan yang tengah ia sembunyikan di balik tatapan matanya. “Kalau kamu mencintai Mas, kamu harus bisa mengambil hati ibu. Mas, tahu ini tidak mudah. Tapi bukan berarti hal yang mustahil. Ibu sejatinya sangat menyayangi
“Vin, kopiku mana?” seru Firman ketika ia tidak menemukan secangkir kopi di meja. Laki-laki itu merasa heran karena Savina justru tidak terlihat di sana. “Maaf, aku harus menenangkan Alisa. Sebentar ya Mas, aku buatkan sekarang!” ucap Savina dengan langkah tergopoh-gopoh sambil menggendong Alisa. “Alisa? Sepagi ini Mbak Rista sudah berkunjung ke rumah ibu?” ucap Firman dengan tatapan terkejut. “Pengasuh Alisa pulang kampung, jadi aku membantu Mbak Rista untuk menjaga Alisa selama Mbak Rista bekerja.” Savina menjelaskan kalau dirinya mulai hari ini membantu Rista menjaga Alisa. “A-apa? Menjaga Alisa? Mbak Rista itu kenapa sih? Memangnya kamu tidak punya kesibukkan sendiri? Biar aku bicara sama ibu!” Firman tampak kesal melihat Savina yang tengah kerepotan mengasuh Alisa. Anak itu juga tidak mau turun dari gendongan Savina sehingga membuat Savina tampak kerepotan. Firman bergegas menemui Bu Leni. Ia ingin bertanya mengenai Alisa yang diasuh oleh istrinya. “Bu, ada yang mau aku bic
Savina hanya hanya tersenyum kecil dan tidak terlalu menanggapi serius ucapan ibu mertuanya. Kata-kata seperti itu, sudah sangat sering singgah di telinga Savina sehingga membuat dirinya kebal dengan ucapan-ucapan yang kerap menyakitinya.“Doakan saja, Bu, semoga kami lekas diberi momongan!” jawab Savina dengan senyum di wajahnya.“Kapan? Buktinya kamu belum hamil-hamil juga. Dulu, Rista dua bulan menikah langsung hamil. Lalu, Arini kakaknya Rista juga sama, sebulan menikah langsung hamil. Kamu kira-kira kapan?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.“Bu, soal anak itu rahasia Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya, kami hanya serahkan semuanya kepada Allah.” Savina berusaha memberikan pengertian kalau masalah anak adalah hak Allah. Dia juga ingin segera memiliki anak, tapi kalau Allah belum berkehendak bagaimana?“Alah, kamu saja yang terlalu banyak alasan, Vin. Kita lihat saja, kalau kamu belum hamil juga, mungkin Firman perlu mencari penggantimu!” ucap
Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.Rista segera masuk dan menghampi
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di
“T-tapi aku merasa mual, Mas. Aromanya itu tidak enak!” Savina masih berusaha menjauhi dua mangkuk soto yang ada di meja.“Kamu merasa mual? Jangan-jangan!” lirih Bu Leni dengan netra membola.“Jangan-jangan apa Bu?” tanya Firman dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Tidak, tidak ada. Mungkin Vina hanya kelelahan atau masuk angin.” Bu Leni berusaha menjawab pertanyaan putranya dengan nada senormal mungkin. Entah kenapa, Bu Leni takut kalau Savina sampai hamil dan rencananya untuk memisahkan mereka akan gagal.“Sebaiknya kamu istirahat saja, nanti Mas panggilkan Mak Enah untuk memijit kamu!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.Laki-laki itu segera mengambil alih Alisa dari gendongan istrinya. Ada rasa tidak tega melihat belahan jiwanya kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.“Terima kasih, Mas!” ucap Savina sambil berlalu dari hadapan suaminya.Firman mencoba berbicara dengan Bu Leni, mungkin karena harus mengasuh Alisa sehingga membuat waktu istirahat Savina semakin berkurang.“Bu,