“Vin, tolong buatkan minum. Ini ada Bude Maya, datang bertamu!” seru Bu Leni dengan dengan nada memerintah. Ia bahkan tidak peduli kalau menantunya tengah sibuk memasak di dapur, mengingat sebentar lagi sudah tiba waktu makan siang.
“Baik, Bu!” jawab Savina dengan cekatan. Wanita itu segera mengecilkan api kompor dan membuatkan minum untuk Bude Maya, kakak perempuan Bu Leni.
Bu Maya sengaja singgah ke rumah adiknya untuk mengundangnya ke acara tujuh bulanan menantunya. Ia bercerita kalau menantunya adalah anak orang kaya dan bekerja di salah satu bank swasta dengan gaji yang cukup besar. Hal ini membuat Bu Leni merasa iri.
“Len, apa menantumu tidak bekerja? Lihatlah Diana, menantuku. Dia bekerja di bank dan memiliki gaji yang cukup besar. Setiap bulan mereka selalu pergi jalan-jalan ke luar kota. Apa kabar dengan menantumu?” sindir Bu Maya kepada adiknya.
“Mbak, dari awal aku tidak setuju dengan pilihan Firman. Selain Savina hanya lulusan SMA, dia juga berasal dari keluarga biasa.” Bu Leni menanggapi ucapan Bu Maya dengan wajah cemberut. Sebenarnya dia sudah bosan dengan ejekan yang kerap dilontarkan oleh keluarga besarnya karena Firman kerap dituding salah memilih istri.
Ketika mereka sedang berbicang, Savina keluar dengan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Ia tersenyum dan tampak berbasa-basi kepada Bu Maya yang memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Savina mengulurkan tangannya dan Bu Maya menerimanya dengan penuh keterpaksaan. Wanita itu melihat Savina dengan tatapan merendahkan.
“Vin, kamu tidak ingin bekerja seperti istri-istri yang lain? Apa kamu merasa nyaman tinggal di rumah sambil ongkang-ongkang kaki dan menunggu gaji dari suamimu?” celetuk Bu Maya dengan tatapan sinis.
“Maaf, Mas Firman meminta saya untuk tetap tinggal di rumah. Sebagai istri yang baik, saya harus patuh kepada Mas Firman.” Savina menjawab dengan wajah tertunduk. Hatinya merasa sedih ketika Bu Maya dengan entengnya mengatakan hal yang begitu menyakitkan di hadapannya.
“Vin, kamu itu masih muda dan belum punya anak. Ini kesempatan kamu mencari uang sebanyak-banyaknya. Jangan hanya mengandalkan suamimu!” Bu Maya kembali berbicara dengan nada tinggi sehingga membuat Savina semakin tertunduk dalam.
Tiba-tiba tercium bau hangus dari dalam. Bu Leni segera menghardik Savina untuk masuk ke dalam.
“Vina, ini bau apa? Pasti kamu lupa mematikan kompor. Bisa-bisa rumah kita kebakaran!” seru Bu Leni dengan tatapan yang begitu tajam. Semua kelakuan Savina membuatnya naik darah.
Savina segera berlari ke dapur dan melihat ayam goreng di wajan hampir gosong. Ia segera bergegas mengangkat ayam goreng itu dengan perasaan takut di dalam hatinya. Kalau ibu mertuanya marah bagaimana? Apa wanita itu akan mengadukan kesalahannya kepada Mas Firman, seperti yang sudah-sudah? Semoga saja kali ini Bu Leni memberikan pengampunan kepadanya dan tidak menceritakan kesalahannya kepada Mas Firman.
Di ruang tamu, Bu Leni tampak kesal. Ia sudah lelah dengan sikap Savina yang terus-terusan membuatnya marah. Kalau bukan karena Firman yang terus memaksa menikahi Savina, mungkin dia tidak akan pernah mengizinkan putranya menikah dengan gadis kampung yang hanya lulusan SMA.
Masih teringat jelas malam itu Firman mengancam akan meninggalkan rumah kalau tidak dinikahkan dengan Savina. Alasan putranya sangat tidak masuk akal, yaitu hanya karena Savina pernah menolong Firman yang tersesat ketika mendaki gunung di daerah Jawa Tengah. Putranya menganggap Savina adalah jodoh yang dikirimkan Allah untuknya dan memaksa Bu Leni untuk menerima wanita itu di keluarganya. Padahal Firman sudah dijodohkan dengan Naira yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit swasta.
“Leni, kenapa kamu melamun? Jangan lupa ya, datang ke acara putraku dan Diana. Satu lagi, ajak juga si gadis kampung itu kalau kamu tidak malu,” kekeh Bu Maya dengan senyum mengejek. Wanita itu seakan ingin mengolok-olok Savina yang dianggapnya wanita kampung dan tidak berpendidikan seperti saudara-saudaranya yang lain.
Bu Leni tampak kesal dan menunjukkan raut wajah yang tidak bersahabat. Seandainya saja Firman menikah dengan Naira, mungkin dirinya tidak akan dihina dan diejek oleh keluarganya.
Bu Maya bergegas berpamitan setelah menghabiskan minumnya. Ia juga membungkus tiga buah pisang goreng buatan Savina menggunakan tisu.
“Len, aku pamit ya. Aku juga minta pisang gorengnya, sebab rasanya enak dan lumayan untuk bekal di dalam mobil,” kekeh Bu Maya dengan senyum yang begitu lebar.
Bu Leni hanya mengangguk dan mengantarkan tamunya sampai ke halaman. Wanita itu berdiri sambil menatap mobil Bu Maya sampai menghilang di tikungan.
Bu Leni bergegas masuk ke dalam dan menemui menantunya yang tengah memasak sayur. Sebelum jam makan siang tiba, ia harus menyelesaikan semua kegiatan memasaknya. Keluarga Bu Leni menyukai masakan yang masih hangat sehingga memaksa Savina untuk memasak setiap jam makan tiba. Meski Savina dalam keadaan sakit, Bu Leni tetap tidak peduli. Sebagai seorang istri Savina harus dapat bersikap patuh dan menyenangkan hati suaminya.
“Savina, lima belas menit lagi suamimu akan pulang untuk makan siang. Jangan sampai kamu belum selesai memasak. Sejak dulu, Ibu selalu memanjakan Firman dan Ibu tidak mau kehidupan Firman semakin menderita karena kamu!” Bu Leni berbicara ketus kepada menantunya. Ia bahkan terus-terusan memarahi Savina yang tengah sibuk memasak di dapur.
Savina hanya diam dan melakukan tugasnya. Dari matahari terbit, Savina sudah menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang tidak ada habis-habisnya. Bu Leni memperlakukan Savina seperti pembantu, bukan menantu. Wanita itu bahkan kerap mengadukan sikap Savina kepada Firman dan mengadu domba ke duanya.
Savina tampak kelelahan dan mengusap peluh yang menetes di wajahnya. Ia bahkan belum beristirahat sama sekali dari pagi. Namun, Bu Leni tidak mau tahu. Wanita itu menganggap menantunya bertanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan rumah tanpa terkecuali.
“Vin, sebagai menantu itu harus tahu diri. Jangan hanya mau enaknya saja. Suami kamu capek-capek kerja di luar sana dan kamu juga harus membantunya dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau mencuci baju, tidak usah memakai mesin cuci, nanti listriknya boros. Kasihan Firman harus mengeluarkan uang lebih untuk bayar listrik. Satu lagi, ngepelnya pakai tangan saja biar bersih!” Bu Leni terus menceramahi Savina sambil duduk di kursi dan mengawasi gerak-gerik menantunya. Ia tidak mau Savina bersantai sejenak di rumahnya yang terbilang mewah.
Savina hanya menghela napas mendengar ceramah dari ibu mertuanya. Sebagai menantu, Savina sudah berusaha mengambil hati mertuanya namun, sepertinya sampai detik ini, Bu Leni belum ikhlas kalau Firman menikahinya.
Terdengar suara mesin mobil menderu di halaman. Savina yang ingin berlari menyambut suaminya, dicegah oleh ibu mertuanya. Ia meminta Savina untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Kamu tidak usah menyambut Firman, biar Ibu saja!” ucap Bu Leni dengan nada tegas.
Savina mengangguk dan patuh kepada perintah mertuanya. Selama empat bulan menikah, Savina ingin sekali menyambut kepulangan suaminya, tapi Bu Leni selalu melarang dan meminta wanita itu menyelesaikan pekerjaannya.
“Assalamualaikum!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.
“Waalaikumussalam!” jawab Bu Leni dengan senyum di wajahnya. Wanita itu segera menyambut putra kesayangannya dan mengajak Firman masuk ke dalam.
“Bu, Savina mana?” tanya Firman sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
“Biasa, Savina itu sedang mengerjakan sesuatu di belakang. Kamu kan tahu sendiri kalau istrimu itu lelet, jadi Ibu suka gregetan. Ada menantu tapi seperti tidak ada menantu!” ucap Bu Leni dengan mimik wajah sedih.
***
Bersambung
Savina keluar dari balik pintu. Wanita itu sengaja tersenyum untuk menyembunyikan luka hatinya. “Bu, ini obatnya,” ucap Savina dengan penuh kelembutan. “Terima kasih!” jawab Bu Leni dengan nada ketus. Wanita itu mengambil obat dari tangan Savina dan segera meminumnya. Ketika Savina baru saja duduk di samping Firman, Bu Leni terlihat tidak suka dengan kebersamaan mereka. “Firman, kamu sudah selesai makan siang. Apa kamu akan segera pergi ke kantor?” tanya Bu Leni dengan tatapan lekat. Firman melirik ke jam yang melingkar di tangannya, lalu mengangguk patuh. Ia segera bersiap meninggalkan Savina yang belum menyelesaikan makan siangnya. “Vin, Mas, pergi dulu ya. Jangan lupa, bantu Ibu di rumah. Kasihan kalau Ibu mengerjakan semuanya sendirian!” ucap Firman dengan penuh kelembutan. DEG! ‘Mengerjakan semuanya sendirian? Apa Mas Firman tahu kalau semua pekerjaan rumah menjadi tugas Savina. Bu Leni kerjanya hanya memerintah dan memaki-maki Savina. Wanita itu juga senang sekali menghi
Firman menghela napas, laki-laki itu melonggarkan dasinya dan menatap wajah Bu Leni. “Bu, maafkan aku yang belum bisa membimbing Savina ke arah yang lebih baik. Untuk masalah ini, nanti akan aku bicarakan dengan Savina. Aku pikir setelah ada Savina di rumah, Ibu tidak akan kesepian lagi. Eh, ternyata kehadiran Savina malah semakin merepotkan Ibu.” Firman meminta maaf kepada Bu Leni. Ia merasa bersalah karena sudah membebani orang tuanya. “Man, tidak usah terlalu berlebihan. Savina mungkin hanya butuh penyesuaian. Kamu tahu kan? Kalau Savina berasal dari kampung dan ada banyak hal yang harus dipelajari di sini.” Bu Leni berusaha terlihat baik di hadapan putranya sehingga membuat Firman sangat percaya dengan ucapan ibunya. “Bu, tidak apa-apa. Aku akan tetap membicarakan hal ini dengan Savina. Aku suaminya dan aku adalah imam untuknya. Jadi, tidak salah kalau aku yang akan membimbing dan mengajarinya.” Firman kembali menegaskan kalau dirinya akan menegur Savina dengan cara baik-baik k
Firman masih mendiamkan Savina karena kejadian kemarin. Laki-laki itu sudah termakan hasutan Bu Leni yang mengatakan Savina sebagai menantu tidak becus mengurus rumah tangga. “Mas, diminum dulu kopinya!” ucap Savina dengan penuh perhatian. Meski Firman bersikap abai dan tidak peduli kepadanya, Savina masih bersikap baik kepada suaminya. Firman meneguk secangkir kopi yang sudah terhidang di meja. Laki-laki itu menatap lekat kepada Savina yang masih berdiri di hadapannya. “Vin, apa kamu mencintaiku?” tanya Firman dengan tatapan yang begitu tajam. “Kenapa Mas, bertanya seperti itu? Seharusnya tanpa bertanya, Mas, juga tahu kalau aku sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintai Mas, mungkin aku sudah kembali ke kampung.” Savina berbicara dengan tatapan sendu. Ada kesedihan yang tengah ia sembunyikan di balik tatapan matanya. “Kalau kamu mencintai Mas, kamu harus bisa mengambil hati ibu. Mas, tahu ini tidak mudah. Tapi bukan berarti hal yang mustahil. Ibu sejatinya sangat menyayangi
“Vin, kopiku mana?” seru Firman ketika ia tidak menemukan secangkir kopi di meja. Laki-laki itu merasa heran karena Savina justru tidak terlihat di sana. “Maaf, aku harus menenangkan Alisa. Sebentar ya Mas, aku buatkan sekarang!” ucap Savina dengan langkah tergopoh-gopoh sambil menggendong Alisa. “Alisa? Sepagi ini Mbak Rista sudah berkunjung ke rumah ibu?” ucap Firman dengan tatapan terkejut. “Pengasuh Alisa pulang kampung, jadi aku membantu Mbak Rista untuk menjaga Alisa selama Mbak Rista bekerja.” Savina menjelaskan kalau dirinya mulai hari ini membantu Rista menjaga Alisa. “A-apa? Menjaga Alisa? Mbak Rista itu kenapa sih? Memangnya kamu tidak punya kesibukkan sendiri? Biar aku bicara sama ibu!” Firman tampak kesal melihat Savina yang tengah kerepotan mengasuh Alisa. Anak itu juga tidak mau turun dari gendongan Savina sehingga membuat Savina tampak kerepotan. Firman bergegas menemui Bu Leni. Ia ingin bertanya mengenai Alisa yang diasuh oleh istrinya. “Bu, ada yang mau aku bic
Savina hanya hanya tersenyum kecil dan tidak terlalu menanggapi serius ucapan ibu mertuanya. Kata-kata seperti itu, sudah sangat sering singgah di telinga Savina sehingga membuat dirinya kebal dengan ucapan-ucapan yang kerap menyakitinya.“Doakan saja, Bu, semoga kami lekas diberi momongan!” jawab Savina dengan senyum di wajahnya.“Kapan? Buktinya kamu belum hamil-hamil juga. Dulu, Rista dua bulan menikah langsung hamil. Lalu, Arini kakaknya Rista juga sama, sebulan menikah langsung hamil. Kamu kira-kira kapan?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.“Bu, soal anak itu rahasia Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya, kami hanya serahkan semuanya kepada Allah.” Savina berusaha memberikan pengertian kalau masalah anak adalah hak Allah. Dia juga ingin segera memiliki anak, tapi kalau Allah belum berkehendak bagaimana?“Alah, kamu saja yang terlalu banyak alasan, Vin. Kita lihat saja, kalau kamu belum hamil juga, mungkin Firman perlu mencari penggantimu!” ucap
Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.Rista segera masuk dan menghampi
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di