“Vin, tolong buatkan minum. Ini ada Bude Maya, datang bertamu!” seru Bu Leni dengan dengan nada memerintah. Ia bahkan tidak peduli kalau menantunya tengah sibuk memasak di dapur, mengingat sebentar lagi sudah tiba waktu makan siang.
“Baik, Bu!” jawab Savina dengan cekatan. Wanita itu segera mengecilkan api kompor dan membuatkan minum untuk Bude Maya, kakak perempuan Bu Leni.
Bu Maya sengaja singgah ke rumah adiknya untuk mengundangnya ke acara tujuh bulanan menantunya. Ia bercerita kalau menantunya adalah anak orang kaya dan bekerja di salah satu bank swasta dengan gaji yang cukup besar. Hal ini membuat Bu Leni merasa iri.
“Len, apa menantumu tidak bekerja? Lihatlah Diana, menantuku. Dia bekerja di bank dan memiliki gaji yang cukup besar. Setiap bulan mereka selalu pergi jalan-jalan ke luar kota. Apa kabar dengan menantumu?” sindir Bu Maya kepada adiknya.
“Mbak, dari awal aku tidak setuju dengan pilihan Firman. Selain Savina hanya lulusan SMA, dia juga berasal dari keluarga biasa.” Bu Leni menanggapi ucapan Bu Maya dengan wajah cemberut. Sebenarnya dia sudah bosan dengan ejekan yang kerap dilontarkan oleh keluarga besarnya karena Firman kerap dituding salah memilih istri.
Ketika mereka sedang berbicang, Savina keluar dengan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Ia tersenyum dan tampak berbasa-basi kepada Bu Maya yang memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Savina mengulurkan tangannya dan Bu Maya menerimanya dengan penuh keterpaksaan. Wanita itu melihat Savina dengan tatapan merendahkan.
“Vin, kamu tidak ingin bekerja seperti istri-istri yang lain? Apa kamu merasa nyaman tinggal di rumah sambil ongkang-ongkang kaki dan menunggu gaji dari suamimu?” celetuk Bu Maya dengan tatapan sinis.
“Maaf, Mas Firman meminta saya untuk tetap tinggal di rumah. Sebagai istri yang baik, saya harus patuh kepada Mas Firman.” Savina menjawab dengan wajah tertunduk. Hatinya merasa sedih ketika Bu Maya dengan entengnya mengatakan hal yang begitu menyakitkan di hadapannya.
“Vin, kamu itu masih muda dan belum punya anak. Ini kesempatan kamu mencari uang sebanyak-banyaknya. Jangan hanya mengandalkan suamimu!” Bu Maya kembali berbicara dengan nada tinggi sehingga membuat Savina semakin tertunduk dalam.
Tiba-tiba tercium bau hangus dari dalam. Bu Leni segera menghardik Savina untuk masuk ke dalam.
“Vina, ini bau apa? Pasti kamu lupa mematikan kompor. Bisa-bisa rumah kita kebakaran!” seru Bu Leni dengan tatapan yang begitu tajam. Semua kelakuan Savina membuatnya naik darah.
Savina segera berlari ke dapur dan melihat ayam goreng di wajan hampir gosong. Ia segera bergegas mengangkat ayam goreng itu dengan perasaan takut di dalam hatinya. Kalau ibu mertuanya marah bagaimana? Apa wanita itu akan mengadukan kesalahannya kepada Mas Firman, seperti yang sudah-sudah? Semoga saja kali ini Bu Leni memberikan pengampunan kepadanya dan tidak menceritakan kesalahannya kepada Mas Firman.
Di ruang tamu, Bu Leni tampak kesal. Ia sudah lelah dengan sikap Savina yang terus-terusan membuatnya marah. Kalau bukan karena Firman yang terus memaksa menikahi Savina, mungkin dia tidak akan pernah mengizinkan putranya menikah dengan gadis kampung yang hanya lulusan SMA.
Masih teringat jelas malam itu Firman mengancam akan meninggalkan rumah kalau tidak dinikahkan dengan Savina. Alasan putranya sangat tidak masuk akal, yaitu hanya karena Savina pernah menolong Firman yang tersesat ketika mendaki gunung di daerah Jawa Tengah. Putranya menganggap Savina adalah jodoh yang dikirimkan Allah untuknya dan memaksa Bu Leni untuk menerima wanita itu di keluarganya. Padahal Firman sudah dijodohkan dengan Naira yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit swasta.
“Leni, kenapa kamu melamun? Jangan lupa ya, datang ke acara putraku dan Diana. Satu lagi, ajak juga si gadis kampung itu kalau kamu tidak malu,” kekeh Bu Maya dengan senyum mengejek. Wanita itu seakan ingin mengolok-olok Savina yang dianggapnya wanita kampung dan tidak berpendidikan seperti saudara-saudaranya yang lain.
Bu Leni tampak kesal dan menunjukkan raut wajah yang tidak bersahabat. Seandainya saja Firman menikah dengan Naira, mungkin dirinya tidak akan dihina dan diejek oleh keluarganya.
Bu Maya bergegas berpamitan setelah menghabiskan minumnya. Ia juga membungkus tiga buah pisang goreng buatan Savina menggunakan tisu.
“Len, aku pamit ya. Aku juga minta pisang gorengnya, sebab rasanya enak dan lumayan untuk bekal di dalam mobil,” kekeh Bu Maya dengan senyum yang begitu lebar.
Bu Leni hanya mengangguk dan mengantarkan tamunya sampai ke halaman. Wanita itu berdiri sambil menatap mobil Bu Maya sampai menghilang di tikungan.
Bu Leni bergegas masuk ke dalam dan menemui menantunya yang tengah memasak sayur. Sebelum jam makan siang tiba, ia harus menyelesaikan semua kegiatan memasaknya. Keluarga Bu Leni menyukai masakan yang masih hangat sehingga memaksa Savina untuk memasak setiap jam makan tiba. Meski Savina dalam keadaan sakit, Bu Leni tetap tidak peduli. Sebagai seorang istri Savina harus dapat bersikap patuh dan menyenangkan hati suaminya.
“Savina, lima belas menit lagi suamimu akan pulang untuk makan siang. Jangan sampai kamu belum selesai memasak. Sejak dulu, Ibu selalu memanjakan Firman dan Ibu tidak mau kehidupan Firman semakin menderita karena kamu!” Bu Leni berbicara ketus kepada menantunya. Ia bahkan terus-terusan memarahi Savina yang tengah sibuk memasak di dapur.
Savina hanya diam dan melakukan tugasnya. Dari matahari terbit, Savina sudah menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang tidak ada habis-habisnya. Bu Leni memperlakukan Savina seperti pembantu, bukan menantu. Wanita itu bahkan kerap mengadukan sikap Savina kepada Firman dan mengadu domba ke duanya.
Savina tampak kelelahan dan mengusap peluh yang menetes di wajahnya. Ia bahkan belum beristirahat sama sekali dari pagi. Namun, Bu Leni tidak mau tahu. Wanita itu menganggap menantunya bertanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan rumah tanpa terkecuali.
“Vin, sebagai menantu itu harus tahu diri. Jangan hanya mau enaknya saja. Suami kamu capek-capek kerja di luar sana dan kamu juga harus membantunya dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau mencuci baju, tidak usah memakai mesin cuci, nanti listriknya boros. Kasihan Firman harus mengeluarkan uang lebih untuk bayar listrik. Satu lagi, ngepelnya pakai tangan saja biar bersih!” Bu Leni terus menceramahi Savina sambil duduk di kursi dan mengawasi gerak-gerik menantunya. Ia tidak mau Savina bersantai sejenak di rumahnya yang terbilang mewah.
Savina hanya menghela napas mendengar ceramah dari ibu mertuanya. Sebagai menantu, Savina sudah berusaha mengambil hati mertuanya namun, sepertinya sampai detik ini, Bu Leni belum ikhlas kalau Firman menikahinya.
Terdengar suara mesin mobil menderu di halaman. Savina yang ingin berlari menyambut suaminya, dicegah oleh ibu mertuanya. Ia meminta Savina untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Kamu tidak usah menyambut Firman, biar Ibu saja!” ucap Bu Leni dengan nada tegas.
Savina mengangguk dan patuh kepada perintah mertuanya. Selama empat bulan menikah, Savina ingin sekali menyambut kepulangan suaminya, tapi Bu Leni selalu melarang dan meminta wanita itu menyelesaikan pekerjaannya.
“Assalamualaikum!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.
“Waalaikumussalam!” jawab Bu Leni dengan senyum di wajahnya. Wanita itu segera menyambut putra kesayangannya dan mengajak Firman masuk ke dalam.
“Bu, Savina mana?” tanya Firman sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
“Biasa, Savina itu sedang mengerjakan sesuatu di belakang. Kamu kan tahu sendiri kalau istrimu itu lelet, jadi Ibu suka gregetan. Ada menantu tapi seperti tidak ada menantu!” ucap Bu Leni dengan mimik wajah sedih.
***
Bersambung
Savina keluar dari balik pintu. Wanita itu sengaja tersenyum untuk menyembunyikan luka hatinya. “Bu, ini obatnya,” ucap Savina dengan penuh kelembutan. “Terima kasih!” jawab Bu Leni dengan nada ketus. Wanita itu mengambil obat dari tangan Savina dan segera meminumnya. Ketika Savina baru saja duduk di samping Firman, Bu Leni terlihat tidak suka dengan kebersamaan mereka. “Firman, kamu sudah selesai makan siang. Apa kamu akan segera pergi ke kantor?” tanya Bu Leni dengan tatapan lekat. Firman melirik ke jam yang melingkar di tangannya, lalu mengangguk patuh. Ia segera bersiap meninggalkan Savina yang belum menyelesaikan makan siangnya. “Vin, Mas, pergi dulu ya. Jangan lupa, bantu Ibu di rumah. Kasihan kalau Ibu mengerjakan semuanya sendirian!” ucap Firman dengan penuh kelembutan. DEG! ‘Mengerjakan semuanya sendirian? Apa Mas Firman tahu kalau semua pekerjaan rumah menjadi tugas Savina. Bu Leni kerjanya hanya memerintah dan memaki-maki Savina. Wanita itu juga senang sekali menghi
Firman menghela napas, laki-laki itu melonggarkan dasinya dan menatap wajah Bu Leni. “Bu, maafkan aku yang belum bisa membimbing Savina ke arah yang lebih baik. Untuk masalah ini, nanti akan aku bicarakan dengan Savina. Aku pikir setelah ada Savina di rumah, Ibu tidak akan kesepian lagi. Eh, ternyata kehadiran Savina malah semakin merepotkan Ibu.” Firman meminta maaf kepada Bu Leni. Ia merasa bersalah karena sudah membebani orang tuanya. “Man, tidak usah terlalu berlebihan. Savina mungkin hanya butuh penyesuaian. Kamu tahu kan? Kalau Savina berasal dari kampung dan ada banyak hal yang harus dipelajari di sini.” Bu Leni berusaha terlihat baik di hadapan putranya sehingga membuat Firman sangat percaya dengan ucapan ibunya. “Bu, tidak apa-apa. Aku akan tetap membicarakan hal ini dengan Savina. Aku suaminya dan aku adalah imam untuknya. Jadi, tidak salah kalau aku yang akan membimbing dan mengajarinya.” Firman kembali menegaskan kalau dirinya akan menegur Savina dengan cara baik-baik k
Firman masih mendiamkan Savina karena kejadian kemarin. Laki-laki itu sudah termakan hasutan Bu Leni yang mengatakan Savina sebagai menantu tidak becus mengurus rumah tangga. “Mas, diminum dulu kopinya!” ucap Savina dengan penuh perhatian. Meski Firman bersikap abai dan tidak peduli kepadanya, Savina masih bersikap baik kepada suaminya. Firman meneguk secangkir kopi yang sudah terhidang di meja. Laki-laki itu menatap lekat kepada Savina yang masih berdiri di hadapannya. “Vin, apa kamu mencintaiku?” tanya Firman dengan tatapan yang begitu tajam. “Kenapa Mas, bertanya seperti itu? Seharusnya tanpa bertanya, Mas, juga tahu kalau aku sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintai Mas, mungkin aku sudah kembali ke kampung.” Savina berbicara dengan tatapan sendu. Ada kesedihan yang tengah ia sembunyikan di balik tatapan matanya. “Kalau kamu mencintai Mas, kamu harus bisa mengambil hati ibu. Mas, tahu ini tidak mudah. Tapi bukan berarti hal yang mustahil. Ibu sejatinya sangat menyayangi
“Vin, kopiku mana?” seru Firman ketika ia tidak menemukan secangkir kopi di meja. Laki-laki itu merasa heran karena Savina justru tidak terlihat di sana. “Maaf, aku harus menenangkan Alisa. Sebentar ya Mas, aku buatkan sekarang!” ucap Savina dengan langkah tergopoh-gopoh sambil menggendong Alisa. “Alisa? Sepagi ini Mbak Rista sudah berkunjung ke rumah ibu?” ucap Firman dengan tatapan terkejut. “Pengasuh Alisa pulang kampung, jadi aku membantu Mbak Rista untuk menjaga Alisa selama Mbak Rista bekerja.” Savina menjelaskan kalau dirinya mulai hari ini membantu Rista menjaga Alisa. “A-apa? Menjaga Alisa? Mbak Rista itu kenapa sih? Memangnya kamu tidak punya kesibukkan sendiri? Biar aku bicara sama ibu!” Firman tampak kesal melihat Savina yang tengah kerepotan mengasuh Alisa. Anak itu juga tidak mau turun dari gendongan Savina sehingga membuat Savina tampak kerepotan. Firman bergegas menemui Bu Leni. Ia ingin bertanya mengenai Alisa yang diasuh oleh istrinya. “Bu, ada yang mau aku bic
Savina hanya hanya tersenyum kecil dan tidak terlalu menanggapi serius ucapan ibu mertuanya. Kata-kata seperti itu, sudah sangat sering singgah di telinga Savina sehingga membuat dirinya kebal dengan ucapan-ucapan yang kerap menyakitinya.“Doakan saja, Bu, semoga kami lekas diberi momongan!” jawab Savina dengan senyum di wajahnya.“Kapan? Buktinya kamu belum hamil-hamil juga. Dulu, Rista dua bulan menikah langsung hamil. Lalu, Arini kakaknya Rista juga sama, sebulan menikah langsung hamil. Kamu kira-kira kapan?” ucap Bu Leni dengan wajah kesal.“Bu, soal anak itu rahasia Allah, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Untuk hasilnya, kami hanya serahkan semuanya kepada Allah.” Savina berusaha memberikan pengertian kalau masalah anak adalah hak Allah. Dia juga ingin segera memiliki anak, tapi kalau Allah belum berkehendak bagaimana?“Alah, kamu saja yang terlalu banyak alasan, Vin. Kita lihat saja, kalau kamu belum hamil juga, mungkin Firman perlu mencari penggantimu!” ucap
Savina berlari menuju ke ruang keluarga, ia melihat Alisa yang tengah menangis di dalam gendongan Bu Leni.“Bu, Alisa kenapa?” tanya Savina dengan wajah cemas.“Pakai nanya, jelas-jelas dia jatuh. Ini gara-gara kamu tidak mau membantu Ibu untuk menjaga Alisa. Kalau kamu tidak kelamaan di belakang, mungkin Alisa tidak akan jatuh!” Bu Leni memarahi Savina untuk menutupi kelalaiannya. Ia takut kalau Rista akan menyalahkan dirinya karena Bu Leni yang menyanggupi untuk menjaga Alisa.Savina hanya menghela napas dan mengambil alih Alisa dari gendongan mertuanya. Wanita itu segera mengobati kening Alisa yang tampak sedikit bengkak. Savina mengoleskan minyak tawon untuk meringankan luka Alisa.Tidak lama, Rista dan suaminya sampai di kediaman Bu Leni. Mereka segera masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Alisa.“Assalamualaikum, Bu Alisa mana?” tanya Rista kepada ibunya.“Waalaikumussalam, ada di dalam sama Vina.” Bu Leni menjawab singkat pertanyaan putrinya.Rista segera masuk dan menghampi
“Kakakmu benar, Man. Kalau istrimu belum juga memberikan keturunan, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi dengan perempuan lain?” ucap Bu Leni dengan penuh kelembutan.Firman mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka kalau Bu Leni, wanita yang telah melahirkannya ke dunia, tega berbicara seperti itu di hadapannya.“Bu, aku tidak mungkin mengkhianati Vina karena aku sangat mencintainya. Pernikahan kami juga masih dalam hitungan bulan, berikan kami kesempatan untuk berusaha. Aku yakin, kalau istriku tidak mandul.” Firman memohon kepada Bu Leni untuk memberikan kesempatan kepadanya.“Man, Ibu bukannya tidak mau memberikan kesempatan. Ibu sangat menyayangimu kalian, hanya saja mau sampai kapan? Kalau kamu tidak mau melepaskan Vina, Ibu tidak memaksa. Kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.” Bu Leni berbicara dengan nada pelan namun begitu menusuk hati Firman.“Bu, tolong jangan memintaku untuk menikah lagi. Biarkan kami berusaha dulu dengan maksimal,” ucap Firman
“Ibu mengancam, kalau bulan depan kamu belum hamil juga, Ibu memintaku untuk menikah lagi!” ucap Firman dengan wajah tertunduk.DEG!Savina terkejut dengan pengakuan suaminya. Bagaimana mungkin seorang mertua tega berbicara seperti itu kepada putranya? Seharusnya sesama perempuan, Bu Leni memberikan semangat kepada Savina untuk terus berusaha bukan malah melemahkannya.“Lalu Mas, bagaimana? Mas mau menikah lagi?” tanya Savina dengan air mata yang hampir menetes.Firman menggeleng lemah. Mana mungkin dirinya akan menikah lagi? Bagi Firman, Savina adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat dirinya jatuh cinta begitu dalam.“Jangan sedih, kita ikhtiar saja ya. Lusa kita pergi ke dokter dan kita ikut program hamil.” Firman merengkuh Savina ke dalam pelukannya. Hati laki-laki itu perih melihat Savina yang sangat terluka dengan kabar yang dibawanya.Savina hanya mengangguk meski kesedihan itu tergambar jelas di wajahnya. Kurang apa dirinya sebagai menantu? Semua pekerjaan rumah tangga di
Savina membuka matanya ketika mendengar suara yang sangat di kenalnya. Ya itu suara Shera."Shera?"Shera meminta turun dari pangkuan ayahnya, Fazlipun menurunkan sang putri di samping Savina.Shera menghambur kedalam pelukan Savina, membuat wanita itu kelagapan karena baru bangun."Sus Savina kenapa pergi?"tanya Shera."Sus tidak pergi Shera, Sus hanya pulang sebentar," jawab Savina sambil merapikan rambutnya yang berantakan."Kata Tante Nadia, Sus pergi dan tidak mau bermain denganku lagi,"balas Shera dengan wajah yang mulai mendung."Tidak Shera, buktinyan sekarang Sus ada di sini,"jawab Savina memeluk tubuh Shera hangat.Shrera yang sudah berkaca-kaca melepaskan tangisnya di dada Savina.Fazli hanya terdiam melihat putrinya saat melepas rindu dengan pengasuhnya."Ya Allah, berikanlah aku jodoh yang mampu menyayangi Shera sepenuh hati,'doa Fazli di dalam hati. Ia berharap calon istrinya nanti bisa menyayangi Shera dengan baik."Sus jangan pergi lagi,''ucap Shera penuh harap."
Firman dan Nayra terkejut mendengar pertanyaan dari Bu Leni. Sebenar hal ini sudah sering di tanyakan Bu Leni kepada mereka.Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Nayra hamil."Firman, Nayra, kenapa kalian diam? Apa kalian tidak ingin memiliki keturunan?"sambung Bu Leni menatap tajam putranya.''Bu, kami ingin sekali memiliki seorang anak, tapi sampai saat ini kamibelum di beri rezeki,"jawab Firman dengan suara pelan.Sementara Nayra hanya tertunduk diam di samping suaminya."Kamu berusaha dong Man. Masa menbuat Nayra hamil saja tidak bisa,"jawab Bu Leni dengan nada suara penuh penekanan."Bu, kenapa Ibu berkata begitu?""Firman Ibu sudah tidak sabar menggendong seorang cucu. Nayra bagaimana kalau kamu periksa kondisi kamu? Maaf bukannya Ibu menuduh, tapi sebagai salah satu usaha kita tidak ada salahnya,"ucap Bu Leni meminta menantunya untuk memeriksakan kondisinya apakah bisa hamil atau tidak.Bagaikan di sambar petir, ucapan mertuanya seakan menghakiminya tidak bisa memberikan ket
"Mbok katakan sekali lagi kepadakum kalau Mas Fazli mau menjemput pembantu itu!"perintah Nadia berapi-api, ia ingin meyakinkan sekali lagi kalau tunangannya sedang pergi menemui wanita yang lain. Orang yang ingin ditemui Fazli hanya seorang bekas pembantu ."B-benar Mbak, Pak Fazli sedang ke Purwokerto menjemput Savina,"jawab Mbok Nah bergetar, ia belum pernah melihat Nadia murka seperti sekarang."Cukup Mbok, kamu temani saja Shera, mungkin nanti dia butuih sesuatu,"ucap Nadia memerintahkan Mbok Nah menjauh dari hadapannya.Mbok Nah menurut saja, wanita itu kemudian pamit dan berlalu dari hadapan Nadia.Nadia meraih ponselnya dan menghubungi Fazli, ia ingin mengetahui langsung dari tunangannya itu apa benar dirinya pergi menjemput Savina."TUUUUT, TUUUUT, TUUUUT,""Mas, kamu keterlaluan! Panggilanku kamu tidak gubris,"Nadia semakin murka ketika Fazli tidak menerima panggilannya. Wanita itu menautkan gerahamnya dengan kuat.Nadia tidak menyangka Fazli ingin kembali memperkerjakan
"Baik Pak, aku bersedia kembali ke Jakarta,''ucap Savina bersedia untuk kembali bekerja di rumah Fazli. Setelah memikirkan dengan matang akhirnya Savina menerima ajakan Fazli.''Terima kasih Savina, aku sangat berterima kasih kepadamu karena bersedia kembali ke Jakarta,"ucap Fazli berbinar, ia sangat berbahagia karena keputusan yang diambil oleh Savina. Inilah yang diharapkan oleh laki-laki itu, Shera sangat membutuhkan kehadiran Savina.Setelah beristirahat sebentar, siang itu juga Fazli dan Savina bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Mereka ingin secepatnya sampai di Jakarta karena Shera sudah menunggu kedatangan keduanya terutama Savina.''Bu Aku dan Savina, berangkat dulu,''ucap azli berpamitan kepada ibun Sarmah sambil memberikan sebuah amplop berisikan sejumlah uang. Awalnya Bu Sarmah menolak pemberian Fazli, tapi laki-laki terus memberikannya."Bu sampaikan salamku kepada Bapak,''lanjut Fazli.“Baik Pak, hati-hati di jalan,”jawab Bu Sarmah membantu memasukan barang bawaan
"Apa Ibu tidak salah mendengar?"ucap Savina masih belum percaya dengan kedatangan Fazli ke rumahnya. Menurutnya dirinya sudah tidak ada masalah lagi dengan mantan majikannya itu sejak Fazli memintanya berhenti bekerja. "Vina, Ibu memang sudah tua, tapi belum terlalu pikun. Orangnya sedang duduk di kursi, kamu temui saja sendiri, nanti kamu akan tahu sendiri apa itu Pak Fazli atau bukan,''jawab Bu Sarmah meminta putrinya menemui laki-laki yang datang pagi ini ke rumah mereka. Savina awalnya tampak ragu untuk menemui laki-laki yang mengaku sebagai Fazli. Wanita itu merasa khawatir jika benar itu Fazli, pasti ada sesuatu yang membuatnya datang jauh-jauh ke desa ini. Tapi apa masalahnya?Bu Sarmah mendesak putrinya agar menemui Fazli, ia merasa kasihan karena tamunya itu sudah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta. Savina lalu memperbaiki jilbabnya dan dengan hati yang penuh tanda tanya, wanita itu kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan dapur. Benar saja saat sampai di ruang
"Nadia, untuk sementara waktu sebaiknya kita tidak bertemu dulu, sekarang aku ingin fokus dengan kesembuhan Shera,"ucap Fazli ingin mengakhiri pembicaraannya dengan Nadia lewat ponselnya. Wanita itu ingin datang ke rumah sakit untuk menjenguk Shera."Tapi Mas, aku mau meringankan beban kamu,"protes Nadia, ia merasa keberatan dengan keputusan Fazli."Nadia, cobalah mengerti keadaanku,"potong Fazli cepat.Walaupun Nadia bersikeras dan keberatan dengan keputusan sepihak Fazli namun, laki-laki itu tetap memutuskan untuk tidak mengizinkan Nadia bertemu dengan Shera sementara waktu. Saat ini baginya kesembuhan Shera adalah yang utama, jika Nadia masih menemui sang putri ia khawatir ini akan memperburuk keadaan.Setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Nadia, Fazli meletakkan ponselnya di atas meja. Laki-laki itu kemudian mengedarkan pandangannya keluar dari jendela kaca rumah sakit. Suasana langit ibu kota tampak sudah mulai gelap.Jika hatinya sekarang tidak sedang bersedih pa
Pagi ini Fazli baru saja membuka matanya ketika sinar matahari menembus masuk kedalam ruang perawatan Shera. Laki-laki itu merapikan rambut tebalnya dengan jari-jarinya.Fazli membasahi kerongkongannya dengan beberapa teguk air mineral, sejenak ia menatap tubuh mungil Shera yang masih meringkuk di balik selimut.Fazli menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, sepanjang malam Shera selalu memanggil nama Savina.'Shera apa Ayah salah? Mengusir Sus Savina dari rumah kita,'bisik batin Fazli.Laki-lakimitu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.Setiap sang putri memanggil nama Savina, hati laki-laki itu merasa sedih. Sebagai seorang ayah, Fazli dapat merasakan arti dari semua panggilan penuh kerinduan.'Tapi aku tidak bisa menerima sikap Shera kepada Nadia,'bisikan lain di dalam hati Fazli. Seketika laki-laki itu merasa bimbang, menuruti kata hati atau mendengarkan pendapat dari Nadia wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.Fazli mengusap wajah putrinya lembut, selama ini b
"Tidak, aku mau Sus Savina yang menggantikan Bunda!"jawab Shera sambil bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Nadia yang terdiam di kamar. "Shera, kamu mau kemana?"ucap Fazli bertemu dengan putrinya. "Ayah, aku mau menyusul Sus Vina,"jawab Shera berlutut di hadapan ayahnya. Seakan anak kecil itu memohon Fazli mau mengabulkan keinginannya untuk bertemu dengan Savina. "Shera, rumah Sus Vina jauh dari sini, lagi pula ayah tidak tahu alamatnya di mana. Shera sekarang kamu masih memiliki Ayah, Ayah berjanji akan membuatmu bahagia Nak,"bujuk Fazl sekuat tenaga menenangkan Shera yang terus menangis. Shera mengatakan ia tidak mau Nadia sebagai pengganti ibunya, dirinya ingin Savina. Fazli menghela napas panjang, permintaan yang tidak mungkin dikabulkannya. Sekarang dirinya sudah bertunangan dengan Nadia. Nadia mendekati keduanya, tapi Shera menunjukkan sikap penolakannya. "Nadia, sebaiknya kamu pulang dulu, sepertinya Shera belum bisa menerima ini semua,''ucap Fazli meminta Nadia
"Shera, Sus Savina sudah tidak di sini,''ucap Nadia sambil memeluk tubuh mungil Shera dari arah belakang. Wanita itu mengecup puncak kepala Shera lembut.Shera menangis sejadinya, ia tidak percaya orang yang begitu disayanginya selama ini pergi begitu saja tanpa memberitahunya.Shera menjatuhkan tubuhnya di lantai, isak tangis gadis kecil itu semakin kencang. Suaranya yang memanggil nama Savina memenuhi ruangan itu."Sus, jangan tinggalkan aku!"Shera bangkit dan berlari menuju lemari pakaian Savina. Tangis anak kecil itu semakin kencang ketika membuka pintu dan mengetahui lemari itu sudah kosong. Savina benar-benar sudah pergi meninggalkan dirinya.Shera terduduk di pangkuan Nadia, ia menumpahkan semua air matanya sambil terus memanggil nama Savina."Shera kamu jangan bersedih, sekarang ada tante. Tante sangat menyayangi kamu,''ucap Nadia seraya kembali mengecup puncak kepala Shera lembut serta membelai rambut Shera.Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Shera dengan kuat mendoro