“Kenapa Dokter tidak menjelaskan saat teman Dokter menyebut saya istri Dokter?” Kanaya bertanya ketika Diego, pemilik restoran Italia itu telah pergi meninggalkan meja mereka.Ia kembali memanggil Indra dengan sebutan Dokter untuk membatasi hubungan formal mereka. Ia tidak ingin Indra melangkah terlalu jauh, seperti yang baru saja dia lakukan, yaitu mengakuinya sebagai istri.Indra memejamkan matanya dan menarik nafas dalam. “Maaf Kanaya, aku seharusnya memberitahukanmu lebih dahulu,” ucap Indra setelah ia kembali membuka matanya.“Mengenai apa?” Kanaya melihat kontradiksi pada ekpresi wajah Indra, sehingga Kanaya pun menahan diri dan menunggu penjelasan Indra.“Kamu lihat wanita berambut panjang yang duduk di dekat jendela?” Indra tidak menunjuk suatu arah, hanya menyebutkan deskripsinya saja.Pandangan mata Kanaya menyapu ke sekeliling restoran itu. Ada beberapa perempuan yang duduk di meja sepanjang sisi jendela, tetapi hanya satu yang berambut panjang.Jaraknya tidak jauh dari mej
Ya tuhan, anakku! Batin Kanaya sambil memejamkan matanya, pasrah saat menyadari tidak ada yang dapat ia lakukan untuk menahan tubuhnya dari jatuh ke lantai. Kedua tangannya refleks melingkari perutnya untuk melindungi anak yang ada di dalam kandungannya. Kanaya bisa mendengar suara teriakan horor orang-orang yang ada di sekitarnya, saat akhirnya ia terjatuh. Hup! Bruk! Aaahhh! Kanaya menggigit bibirnya dan memejamkan matanya dengan erat. Ia bahkan menahan nafasnya bersiap-siap menahan benturan keras yang akan terjadi. Namun yang ia rasakan justru goncangan kecil saat ia mendarat di permukaan yang tidak sekeras bayangannya. Kanaya bisa mendengar suara orang menghembuskan nafas lega, namun ia tidak berani membuka matanya, khawatir jika semua itu hanyalah ilusi. “Kanaya, apa kamu baik-baik saja?” Terdengar suara seorang pria bertanya padanya dari jarak yang sangat dekat. Bahkan ia bisa merasakan kehangatan sosok lain yang begitu dekat. Bagaimana mungkin? “Kanaya? Kanaya?” Suara kh
“Maaf, nama suami?” Perawat mengulang kembali pertanyaannya. Ia bahkan melirik Rizal yang berdiri di samping Kanaya. Menduga dia-lah sang suami. “Dia bukan suami saya,” jawab Kanaya cepat-cepat. “Oh? Nama suami Nona?” Perawat itu bertanya kembali. “Bastian.” Kanaya akhirnya menyebutkan nama itu. Perawat itu tidak bertanya lebih lanjut. Dia tidak menduga jika Bastian yang dimaksud adalah Bastian Aryo Dwipangga, pengusaha sukses dan terkenal di kota mereka. Perawat itu lalu membantu Kanaya naik ke atas ranjang untuk menunggu pemeriksaan dokter. Tidak lama seorang dokter perempuan memasuki ruangan. “Halo, selamat sore. Ada keluhan apa?” Dokter itu langsung duduk di kursi yang menghadap komputer pemeriksaan USG. “Saya tadi sempat terjatuh, dan saya ingin memastikan kondisi kandungan saya,” jawab Kanaya berterus terang. “Bagaimana posisi jatuhnya? Apa mengenai perut?” Dokter itu mulai mengoleskan cairan jelly di perut Kanaya. “Meringkuk Dokter. Saya berhasil menangkap
Kanaya kerap mendengar mengenai Dokter Nathan. Dokter Nathan adalah seorang dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular yang sangat terkenal. Kabarnya ia sangat cerdas, teliti dan sangat berpengalaman dalam melakukan bedah jantung bahkan yang tersulit sekalipun. Tidak pernah ditemukan sekalipun pasiennya yang mengalami komplikasi dan malpraktek. Dokter itu pun tidak pernah diberitakan melanggar kode etik profesi. Pasiennya banyak sekali. Sehingga sangat sulit untuk bisa bertemu langsung dengannya tanpa membuat janji dengan tim medis dokter itu. Kanaya pernah menanyakan mengenai Dokter Nathan pada rumah sakit tempat ibunya melakukan perawatan rutin, namun mereka mengatakan sangat sulit untuk mengontak dokter itu. Kalau saja ia bisa menghubungi Dokter Nathan dan memintanya mengecek keadaan ibunya, mungkin saja ia bisa mendapat second opinion mengenai kondisi jantung ibunya. Apalagi sampai saat ini ia belum juga mendapatkan donor yang tepat untuk jantung ibunya. Padahal biaya oper
Mobil Mercedez Benz yang dikendarai Rafles menepi di Sunnyside Estate malam itu. Di dalam mobil, Bastian memejamkan matanya setelah seharian sibuk dengan berbagai macam pertemuan bisnis. “Pak, kita sudah sampai.”Bastian membuka matanya dan ia melihat rumah yang sudah ditinggalinya selama tiga tahun pernikahan dengan Elsie. Rumah itu ia bangun saat akan menikah dengannya, sesuai dengan keinginan istrinya itu.Bastian meraih sebuah paper bag mewah yang ada di sampingnya sebelum ia melangkah keluar. Di depan pintu rumah, Citra sudah menyambutnya dengan ucapan selamat malam dan dengan sigap mengambil alih tas kerja yang ia pegang. Sambil berjalan, Bastian menyapu pandangan ke selurih bagian rumah besar dengan interior mewah itu. Meski ditata sedemikian rupandengan berbagai macam perabot dan aksesoris mewah, rumah itu tampak sepi dan hampa.Saat melewati dapur, Bastian berhenti. Dapur yang sudah ia desain sedemikian lengkap dan mewah itu sehari-hari m hanya digunakan oleh asisten rum
“Aku sakit perut tadi. Kenapa Yang?” Elsie terpaksa berbohong dan berpura-pura tidak tahu maksud pertanyaan Bastian.“Hem, apa kamu menghubungi seseorang?” tanya Bastian sambil duduk bersandar dan melipat tangan di depan dada, senbari memperhatikan ekspresi wajah istrinya. Ia yakin mendengar suara seorang laki-laki di dalam kamar mandi. Suara itu seperti suara dalam panggilan telepon.Elsie menggeleng dengan wajah polos. “Kenapa sih Yang? Kok tiba-tiba kamu tanya itu?”Dengan merajuk, Elsie menghampiri Bastian. Ia lalu duduk disampingnya, bergelayutan manja di lengan suaminya.“Aku mendengar suara seorang laki-laki sedang bicara padamu.” Bastian langsung bertanya. Ia lalu menoleh dan memperhatikan pakaian istrinya.Elsie saat itu tengah mengenakan gaun malam sebatas setengah paha dengan belahan dada rendah. Bisa dibilang gaun tidur itu cukup seksi memperlihatkan sebagian tubuh istrinya. Bukankan suara yang ia dengar tadi mengatakan jika yang dilihatnya sangat seksi? “Masa sih?” Ken
Elsie berjalan mondar-mandir dengan gelisah di kamar utama rumah Sunnyside Estate. Sesekali matanya melirik pintu kamar mandi di mana Bastian masuk beberapa menit yang lalu.Hampir saja ia kepergok sedang video call dengan Rico, jika saja Citra tidak bertanya pada suaminya itu.Sikap Bastian pun tampak dingin. Apa Bastian mencurigainya? Sejauh mana suaminya itu mendengar percakapannya dengan Rico?Elsie tidak tenang. Ia tidak bisa membiarkan Bastian terus mencurigainya. Ia harus melakukan sesuatu.Mendengar suara air mengalir, Elsie tersenyum menemukan ide.Perlahan dibukanya pintu kamar mandi, dan ia masuk ke dalam tanpa suara.Elsie melihat ruangan shower air yang sedikit berembun karena hawa dari air panas yang digunakan oleh Bastian untuk mandi.Samar ia mendengar nafas berat suaminya itu, disertai suara erangan tertahan. Elsie hafal betul suara desahan dan lenguhan suaminya itu. Apakah Bastian sedang memuaskan dirinya sendiri? Tapi, bagaimana mungkin?Namun semakin ia berjalan m
Kanaya dan Sifa sedang berada di dapur saat mereka mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. “Biar Bibi lihat siapa yang datang.” Sifa segera pergi ke depan rumah sementara Kanaya duduk di kursi meja makan, menghadap segelas susu yang baru ia habiskan setengah. Kanaya tidak tahu siapa yang datang, karena suara mobil itu cukup keras dan berbeda dengan suara mobil Bastian yang halus. Samar di dengarnya Sifa berbicara dengan seseorang. “Mau ditaruh di mana ini Pak Ezra?” “Di kamar tamu. Bapak mau buat ruang kerja di sana.” Ruang kerja? Batin Kanaya saat mendengar suara Ezra. Ia segera menghabiskan susunya lalu beranjak berdiri dan berjalan menuju ruang depan, di mana terdengar suara langkah kaki beberapa orang, serta suara orang memberi instruksi memindahkan barang. Benar saja, saat ia sampai di sana, Kanaya melihat beberapa orang laki-laki sedang mengangkat sebuah meja kayu besar, kursi kantor dan lemari kayu. “Selamat pagi Bu Kanaya,” sapa Ezra saat melihat Kanaya datang
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m
Bastian menoleh dan mengangkat alisnya. “Kamu ingat? Kamu tahu itu aku?” Kanaya menggeleng. “Saat Indra datang ke apartemen, aku sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Pandanganku kabur. Tetapi samar aku melihat ada dua orang yang masuk ke dalam apartemen,” terang Kanaya. “Dan ternyata orang itu kamu.” Mereka berdua tersenyum menyadari pertemuan tidak terduga itu. “Terima kasih sudah menyelamatkanku hari itu,” ucap Kanaya sambil meremas tangan Bastian yang dipegangnya. “Aku lega telah melakukannya,” timpal Bastian sambil menatap Kanaya dengan dalam. Bastian tidak pernah melupakan kejadian itu dan apa yang dilihatnya. Oleh karena itu, saat Elsie meminta prosedur itu terus dijalankan, ia menentangnya karena mengetahui betapa berbahayanya suntikan hormon itu bagi Kanaya. Kanaya hampir meregang nyawa karenanya. Jika saja ia dan Indra datang terlambat, dan mereka gagal menyelamatkan Kanaya hari itu. Ia tidak tahu akan seperti apa hidupnya tanpa Kanaya. Tidak akan ada Kenzo, dan t
Bastian melangkah masuk dan menutup pintu dibelakangnya. Ia berhenti di tengah ruangan itu dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. “Naya, Sayang?” Kanaya tidak tampak di sana. Namun begitu, matanya terus beredar memperhatikan keadaan kamar. Ada yang berbeda dengan penampakan kamar mereka. Selain pengaturan lampu yang membuat kamar itu terasa lebih hangat, suasana romantis pun terasa mendominasi. Rupanya Kanaya telah menyiapkan kamar mereka sedemikian rupa sehingga memberi suasana berbeda. Di atas meja nakas, terdapat sepasang vas bunga berisi bunga mawar berwarna merah muda dan putih. Ranjang king size di ruangan itu ditutupi oleh sprei berbahan lembut dan dingin yang berwarna putih dengan sebagian bantal berkombinasi merah. Lalu saat ia menghirup aroma kamar itu, aroma tubuh Kanaya lah yang dirasakannya. Campuran antara lavender, grapfruit dan bergamot yang sangat dikenalinya langsung menelusup masuk ke dalam indera penciumannya dan membuat senyumnya bertambah leba