Kanaya berbalik badan dan tersenyum pada Indra. “Nggak Dok. Saya tidak minum kopi.” Kanaya tahu ia tidak bisa berbohong mengenai hal ini. Indra tahu persis Kanaya tidak akan mengkonsumsi sesuatu yang seharusnya dihindari, apalagi jika hal itu akan berpengaruh buruk pada kehamilannya. Kanaya termasuk orang yang sangat disiplin dengan diet makannya. Ia benar-benar menuruti apa yang disarankan oleh ahli gizi. Indra masih menatapnya, menunggu penjelasan untuk siapa kopi itu ada di sana. “Dokter ingat Fadly, saudara sepupu saya yang menjadi wali nikah? Dia datang ke sini tadi pagi, dan saya membuatkan kopi itu untuknya.” Kanaya tidak ada pilihan lain selain menggunakan nama sepupunya itu. Karena hanya dialah orang diluar kenalan Indra yang mengetahui pernikahan sirinya dan di mana ia sekarang tinggal. “Oh ya, saya ingat. Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan ibumu?” tanya Indra dengan nada khawatir. “Ibu baik-baik saja,” Kanaya segera menjawabnya. Diam-diam
“Kenapa Dokter tidak menjelaskan saat teman Dokter menyebut saya istri Dokter?” Kanaya bertanya ketika Diego, pemilik restoran Italia itu telah pergi meninggalkan meja mereka.Ia kembali memanggil Indra dengan sebutan Dokter untuk membatasi hubungan formal mereka. Ia tidak ingin Indra melangkah terlalu jauh, seperti yang baru saja dia lakukan, yaitu mengakuinya sebagai istri.Indra memejamkan matanya dan menarik nafas dalam. “Maaf Kanaya, aku seharusnya memberitahukanmu lebih dahulu,” ucap Indra setelah ia kembali membuka matanya.“Mengenai apa?” Kanaya melihat kontradiksi pada ekpresi wajah Indra, sehingga Kanaya pun menahan diri dan menunggu penjelasan Indra.“Kamu lihat wanita berambut panjang yang duduk di dekat jendela?” Indra tidak menunjuk suatu arah, hanya menyebutkan deskripsinya saja.Pandangan mata Kanaya menyapu ke sekeliling restoran itu. Ada beberapa perempuan yang duduk di meja sepanjang sisi jendela, tetapi hanya satu yang berambut panjang.Jaraknya tidak jauh dari mej
Ya tuhan, anakku! Batin Kanaya sambil memejamkan matanya, pasrah saat menyadari tidak ada yang dapat ia lakukan untuk menahan tubuhnya dari jatuh ke lantai. Kedua tangannya refleks melingkari perutnya untuk melindungi anak yang ada di dalam kandungannya. Kanaya bisa mendengar suara teriakan horor orang-orang yang ada di sekitarnya, saat akhirnya ia terjatuh. Hup! Bruk! Aaahhh! Kanaya menggigit bibirnya dan memejamkan matanya dengan erat. Ia bahkan menahan nafasnya bersiap-siap menahan benturan keras yang akan terjadi. Namun yang ia rasakan justru goncangan kecil saat ia mendarat di permukaan yang tidak sekeras bayangannya. Kanaya bisa mendengar suara orang menghembuskan nafas lega, namun ia tidak berani membuka matanya, khawatir jika semua itu hanyalah ilusi. “Kanaya, apa kamu baik-baik saja?” Terdengar suara seorang pria bertanya padanya dari jarak yang sangat dekat. Bahkan ia bisa merasakan kehangatan sosok lain yang begitu dekat. Bagaimana mungkin? “Kanaya? Kanaya?” Suara kh
“Maaf, nama suami?” Perawat mengulang kembali pertanyaannya. Ia bahkan melirik Rizal yang berdiri di samping Kanaya. Menduga dia-lah sang suami. “Dia bukan suami saya,” jawab Kanaya cepat-cepat. “Oh? Nama suami Nona?” Perawat itu bertanya kembali. “Bastian.” Kanaya akhirnya menyebutkan nama itu. Perawat itu tidak bertanya lebih lanjut. Dia tidak menduga jika Bastian yang dimaksud adalah Bastian Aryo Dwipangga, pengusaha sukses dan terkenal di kota mereka. Perawat itu lalu membantu Kanaya naik ke atas ranjang untuk menunggu pemeriksaan dokter. Tidak lama seorang dokter perempuan memasuki ruangan. “Halo, selamat sore. Ada keluhan apa?” Dokter itu langsung duduk di kursi yang menghadap komputer pemeriksaan USG. “Saya tadi sempat terjatuh, dan saya ingin memastikan kondisi kandungan saya,” jawab Kanaya berterus terang. “Bagaimana posisi jatuhnya? Apa mengenai perut?” Dokter itu mulai mengoleskan cairan jelly di perut Kanaya. “Meringkuk Dokter. Saya berhasil menangkap
Kanaya kerap mendengar mengenai Dokter Nathan. Dokter Nathan adalah seorang dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular yang sangat terkenal. Kabarnya ia sangat cerdas, teliti dan sangat berpengalaman dalam melakukan bedah jantung bahkan yang tersulit sekalipun. Tidak pernah ditemukan sekalipun pasiennya yang mengalami komplikasi dan malpraktek. Dokter itu pun tidak pernah diberitakan melanggar kode etik profesi. Pasiennya banyak sekali. Sehingga sangat sulit untuk bisa bertemu langsung dengannya tanpa membuat janji dengan tim medis dokter itu. Kanaya pernah menanyakan mengenai Dokter Nathan pada rumah sakit tempat ibunya melakukan perawatan rutin, namun mereka mengatakan sangat sulit untuk mengontak dokter itu. Kalau saja ia bisa menghubungi Dokter Nathan dan memintanya mengecek keadaan ibunya, mungkin saja ia bisa mendapat second opinion mengenai kondisi jantung ibunya. Apalagi sampai saat ini ia belum juga mendapatkan donor yang tepat untuk jantung ibunya. Padahal biaya oper
Mobil Mercedez Benz yang dikendarai Rafles menepi di Sunnyside Estate malam itu. Di dalam mobil, Bastian memejamkan matanya setelah seharian sibuk dengan berbagai macam pertemuan bisnis. “Pak, kita sudah sampai.”Bastian membuka matanya dan ia melihat rumah yang sudah ditinggalinya selama tiga tahun pernikahan dengan Elsie. Rumah itu ia bangun saat akan menikah dengannya, sesuai dengan keinginan istrinya itu.Bastian meraih sebuah paper bag mewah yang ada di sampingnya sebelum ia melangkah keluar. Di depan pintu rumah, Citra sudah menyambutnya dengan ucapan selamat malam dan dengan sigap mengambil alih tas kerja yang ia pegang. Sambil berjalan, Bastian menyapu pandangan ke selurih bagian rumah besar dengan interior mewah itu. Meski ditata sedemikian rupandengan berbagai macam perabot dan aksesoris mewah, rumah itu tampak sepi dan hampa.Saat melewati dapur, Bastian berhenti. Dapur yang sudah ia desain sedemikian lengkap dan mewah itu sehari-hari m hanya digunakan oleh asisten rum
“Aku sakit perut tadi. Kenapa Yang?” Elsie terpaksa berbohong dan berpura-pura tidak tahu maksud pertanyaan Bastian.“Hem, apa kamu menghubungi seseorang?” tanya Bastian sambil duduk bersandar dan melipat tangan di depan dada, senbari memperhatikan ekspresi wajah istrinya. Ia yakin mendengar suara seorang laki-laki di dalam kamar mandi. Suara itu seperti suara dalam panggilan telepon.Elsie menggeleng dengan wajah polos. “Kenapa sih Yang? Kok tiba-tiba kamu tanya itu?”Dengan merajuk, Elsie menghampiri Bastian. Ia lalu duduk disampingnya, bergelayutan manja di lengan suaminya.“Aku mendengar suara seorang laki-laki sedang bicara padamu.” Bastian langsung bertanya. Ia lalu menoleh dan memperhatikan pakaian istrinya.Elsie saat itu tengah mengenakan gaun malam sebatas setengah paha dengan belahan dada rendah. Bisa dibilang gaun tidur itu cukup seksi memperlihatkan sebagian tubuh istrinya. Bukankan suara yang ia dengar tadi mengatakan jika yang dilihatnya sangat seksi? “Masa sih?” Ken
Elsie berjalan mondar-mandir dengan gelisah di kamar utama rumah Sunnyside Estate. Sesekali matanya melirik pintu kamar mandi di mana Bastian masuk beberapa menit yang lalu.Hampir saja ia kepergok sedang video call dengan Rico, jika saja Citra tidak bertanya pada suaminya itu.Sikap Bastian pun tampak dingin. Apa Bastian mencurigainya? Sejauh mana suaminya itu mendengar percakapannya dengan Rico?Elsie tidak tenang. Ia tidak bisa membiarkan Bastian terus mencurigainya. Ia harus melakukan sesuatu.Mendengar suara air mengalir, Elsie tersenyum menemukan ide.Perlahan dibukanya pintu kamar mandi, dan ia masuk ke dalam tanpa suara.Elsie melihat ruangan shower air yang sedikit berembun karena hawa dari air panas yang digunakan oleh Bastian untuk mandi.Samar ia mendengar nafas berat suaminya itu, disertai suara erangan tertahan. Elsie hafal betul suara desahan dan lenguhan suaminya itu. Apakah Bastian sedang memuaskan dirinya sendiri? Tapi, bagaimana mungkin?Namun semakin ia berjalan m
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu