Kanaya dan Sifa sedang berada di dapur saat mereka mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. “Biar Bibi lihat siapa yang datang.” Sifa segera pergi ke depan rumah sementara Kanaya duduk di kursi meja makan, menghadap segelas susu yang baru ia habiskan setengah. Kanaya tidak tahu siapa yang datang, karena suara mobil itu cukup keras dan berbeda dengan suara mobil Bastian yang halus. Samar di dengarnya Sifa berbicara dengan seseorang. “Mau ditaruh di mana ini Pak Ezra?” “Di kamar tamu. Bapak mau buat ruang kerja di sana.” Ruang kerja? Batin Kanaya saat mendengar suara Ezra. Ia segera menghabiskan susunya lalu beranjak berdiri dan berjalan menuju ruang depan, di mana terdengar suara langkah kaki beberapa orang, serta suara orang memberi instruksi memindahkan barang. Benar saja, saat ia sampai di sana, Kanaya melihat beberapa orang laki-laki sedang mengangkat sebuah meja kayu besar, kursi kantor dan lemari kayu. “Selamat pagi Bu Kanaya,” sapa Ezra saat melihat Kanaya datang
“Pak Bas tunggu sini. Biar Naya yang lihat!” Kanaya menggunakan kesempatan itu untuk menghindari Bastian. Namun tidak mungkin Bastian membiarkan Kanaya membuka pintu itu seorang diri. Ia pun segera menyusulnya. Kanaya mengintip dari jendela ruang tamu, dan ia langsung menutupnya dengan cepat. Indra! Bagaimana ini? “Siapa Nay—” Kanaya langsung menutup mulut Bastian. “Emeemem?” Bastian yang protes hanya bisa bertanya dengan mulut tertutup. “Sssttt…” Kanaya memberi kode Bastian untuk diam dan menarik suami sirinya itu untuk kembali ke ruang keluarga. Dengan cepat dimasukkannya lagi tas mewah itu ke dalam kota dan paperbag, sebelum ia menarik Bastian ke kamar tamu. “Kanaya, siapa yang datang? Kenapa—” “Ssssttt…” lagi-lagi Kanaya menghentikan ucapan Bastian. Ia lalu memasukkan Bastian ke kamar tamu. “Bapak di sini saja. Jangan keluar apa pun yang terjadi!” “Naya! Siapa yang datang?” Bastian protes dan ia hendak keluar dari kamar untuk melihat siapa yang ada di depan rumah. “Pak
“Kanaya, apa ada orang lain di sini?” Indra menoleh dan memicingkan matanya, menatap penuh selidik. “Orang lain? Nggak ada. Mungkin kucing tetangga yang suka main di halaman,” jawab Kanaya sekedarnya.“Kucing tetangga? Di dalam rumah?” Indra mengerutkan keningnya tidak percaya. “Bukan di dalam rumah. Suaranya kan datang dari bawah jendela itu.” Kanaya menunjuk jendela yang berada tidak jauh dari kamar tamu.“Suaranya dari dalam kamar, Kanaya,” ucap Indra sambil geleng kepala dan mulai berjalan menuju kamar tamu itu.Indra yakin ia tidak salah dengar. Suara itu berasal dari dalam kamar.“Aduh, Ndra!” Kanaya mengaduh sambil memegang perutnya. Indra langsung berbalik badan dan bergegas menghampiri Kanaya. “Kenapa Kanaya? Apa ada yang sakit?”“Sepertinya dia menendang keras sekali! Ma-maaf mengagetkanmu,” ucap Kanaya sambil tertawa kecil.Indra berpura-pura protes melotot, namun ia tidak menutupi betapa leganya ia. Ia pikir ada sesutu yang terjadi dengan Kanaya.“Bisa tolong ambilkan a
Tatapan mata nakal itu seakan menggoda Kanaya.“Mana yang paling kamu suka? Anggap saja jawabanmu adalah permintaaan yang akan aku kabulkan saat ini.”Gulp!Kanaya menatap Bastian dan menelan ludahnya begitu keras sampai-sampai Bastian bisa mendengarnya.“Pak Bas—”“Bastian,” potong Bastian.“Bastian… aku— suka semuanya,” jawab Kanaya pelan sambil menunduk malu.Bagaimana tidak? Semua hal itu ia suka. Lebih tepatnya ia suka setiap detik yang ia habiskan bersama Bastian, bahkan saat mereka tidak melakukan apa-apa, seperti duduk berangkulan sembari menonton televisi, atau saat ia tak pernah bosan memandangi Bastian mengenakan apron pink di dapur, sibuk membuat makanan untuknya dan baby dalam kandungannya.Bastian tertawa pelan. Ia lalu mengangkat wajah Kanaya dan mengusap bibirnya dengan ibu jarinya. “Kanaya, kenapa kamu jadi greedy? Kamu mau aku melakukan semua itu untukmu sekarang? Memasak untukmu, membuat bibir seksimu itu mendesah hebat, lalu kamu juga mau aku menemani dan memelukm
“Bi, Naya berangkat!”“Hati-hati di jalan, Non! Jangan lupa bawa pulang fotonya. Bibi mau lihat! Pasti anak Non akan ganteng seperti Papanya atau cantik seperti Non!” ucap Sifa sembari berjalan mengiringi Kanaya menuju pintu keluar.Pagi ini, sesuai dengan rencana, Kanaya akan melakukan USG 4 dimensi di klinik Life’s Blessing bersama Indra. Mobil klinik sudah menjemputnya di depan rumah dan Kanaya bergegas untuk berangkat.Meskipun ia berusaha menekan rasa sayangnya pada anak dalam kandungannya, bamun nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Apa yang ia rasakan di dalam hatinya, tampak ke permukaan dengan sendirinya.Kanaya mengangguk, tidak dapat menutupi antusiasmenya. “Nanti Naya minta sama Dokter Indra!”Ia pun ingin melihat bagaimana wajah anak di dalam perutnya. Seperti apa dia dan apa jenis kelaminnya.Kanaya baru saja membalas anggukan supir mobil klinik yang membukakab pintu mobil untuknya saat mobil Maybach hitam S580 milik Bastian masuk ke halaman
“Kanaya bilang, hari ini dia akan check up dengan USG 4 dimensi. Bisa kita mulai sekarang? Kami sudah tidak sabar ingin melihatnya!” Bastian memberi Indra senyuman lebar di wajahnya.Indra menatap Bastian dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sebelum ia menjawab, “Tentu.” Dan mengalihkan pandangannya kepada Kanaya.“Kanaya, silahkan berbaring di sini,” ujar Indra dengan lembut sambil menunjuk ranjang rumah sakit yang berada tidak jauh darinya.Ia memperlakukan Kanaya dengan ramah dan tersenyum seperti biasa.Kanaya mengikuti apa yang Indra instruksikan. Ia berbaring di ranjang periksa dengan canggung pada situasi saat itu.Dari sikap dan raut wajah Indra saat dia melihatnya dan Bastian tadi, Kanaya yakin Indra telah menduga apa yang terjadi antara dirinya dan Bastian, hanya saja dokter itu tidak mengkonfrontasikannya langsung.Entah karena Indra bersikap profesional karena pekerjaannya sebagai dokter kandungan, atau karena tidak ingin mempermalukan Kanaya denga
Bastian berjalan menghampiri Indra. Suhu ruangan itu terasa turun dengan drastis saat ketegangan diantara kedua pria muda dan tampan itu terasa memenuhi ruangan klinik. “Apa yang kamu lakukan pada Kanaya, Bas?” Indra langsung bertanya, membalas tatapan tajam Bastian. “Apa yang aku lakukan? Aku menemaninya memeriksa kehamilan,” jawab Bastian dengan santai sambil melipat tangan di depan dada. Ia bersandar pada tepi ranjang rumah sakit tidak jauh dari tpat Indra berdiri. “Kamu tahu bukan itu pertanyaanku,” balas Indra sambil berdecak kesal. “Kalau begitu perjelas pertanyaanmu kalau kamu mau aku menjawab dengan benar!” ucap Bastian dengan nada tegas. “Sejak kapan kamu mulai berhubungan lagi dengan Kanaya?” Kali ini Indra bertanya to the point. “Itu bukan urusanmu, Ndra.” “Ini urusanku, Bas! Aku yang membawa Kanaya terlibat dalam hal ini dan aku berkewajiban memastikan dia baik-baik saja. Aku tidak ingin dia terluka!” sergah Indra membalas ucapan Bastian. “Terluka? Kamu
Bastian menatap gadis di hadapannya. Mata gadis itu penuh dengan api kekesalan dan kekecewaan.“Naya dengar apa yang Pak Bas katakan pada Dokter Indra. Hanya itu yang ada dalam pikiran Bapak?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Apa lagi yang kamu ingin dengar, Naya? Bukankah memang itu yang terjadi?” ucap Bastian seakan tanpa emosi.Ia memang mengatakan itu pada Indra dan tidak membantah maksud perkataannya.Pancaran mata Bastian saat itu berubah, meredup, memendam sesuatu yang sangat dalam di dirinya.Dada Kanaya kembali kembang kempis dengan berat, kedua mata yang berkaca menatap tidak percaya pada pria dihadapannya.Seakan Bastian yang ada dihadapannya adalah pria berbeda dari yang Kanaya kenal beberapa hari terakhir ini. Kemana pria yang memperlakukannya dengan kasih sayang dan kelembutan? Kemana pria yang rela meninggalkan meeting bernilai ratusan miliar hanya untuk menemaninya dan memasak untuknya?Atau itu semua hanya kepura-puraan saja agar ia mendapatkan kepuasan darinya?
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m