“Pak Bas tunggu sini. Biar Naya yang lihat!” Kanaya menggunakan kesempatan itu untuk menghindari Bastian. Namun tidak mungkin Bastian membiarkan Kanaya membuka pintu itu seorang diri. Ia pun segera menyusulnya. Kanaya mengintip dari jendela ruang tamu, dan ia langsung menutupnya dengan cepat. Indra! Bagaimana ini? “Siapa Nay—” Kanaya langsung menutup mulut Bastian. “Emeemem?” Bastian yang protes hanya bisa bertanya dengan mulut tertutup. “Sssttt…” Kanaya memberi kode Bastian untuk diam dan menarik suami sirinya itu untuk kembali ke ruang keluarga. Dengan cepat dimasukkannya lagi tas mewah itu ke dalam kota dan paperbag, sebelum ia menarik Bastian ke kamar tamu. “Kanaya, siapa yang datang? Kenapa—” “Ssssttt…” lagi-lagi Kanaya menghentikan ucapan Bastian. Ia lalu memasukkan Bastian ke kamar tamu. “Bapak di sini saja. Jangan keluar apa pun yang terjadi!” “Naya! Siapa yang datang?” Bastian protes dan ia hendak keluar dari kamar untuk melihat siapa yang ada di depan rumah. “Pak
“Kanaya, apa ada orang lain di sini?” Indra menoleh dan memicingkan matanya, menatap penuh selidik. “Orang lain? Nggak ada. Mungkin kucing tetangga yang suka main di halaman,” jawab Kanaya sekedarnya.“Kucing tetangga? Di dalam rumah?” Indra mengerutkan keningnya tidak percaya. “Bukan di dalam rumah. Suaranya kan datang dari bawah jendela itu.” Kanaya menunjuk jendela yang berada tidak jauh dari kamar tamu.“Suaranya dari dalam kamar, Kanaya,” ucap Indra sambil geleng kepala dan mulai berjalan menuju kamar tamu itu.Indra yakin ia tidak salah dengar. Suara itu berasal dari dalam kamar.“Aduh, Ndra!” Kanaya mengaduh sambil memegang perutnya. Indra langsung berbalik badan dan bergegas menghampiri Kanaya. “Kenapa Kanaya? Apa ada yang sakit?”“Sepertinya dia menendang keras sekali! Ma-maaf mengagetkanmu,” ucap Kanaya sambil tertawa kecil.Indra berpura-pura protes melotot, namun ia tidak menutupi betapa leganya ia. Ia pikir ada sesutu yang terjadi dengan Kanaya.“Bisa tolong ambilkan a
Tatapan mata nakal itu seakan menggoda Kanaya.“Mana yang paling kamu suka? Anggap saja jawabanmu adalah permintaaan yang akan aku kabulkan saat ini.”Gulp!Kanaya menatap Bastian dan menelan ludahnya begitu keras sampai-sampai Bastian bisa mendengarnya.“Pak Bas—”“Bastian,” potong Bastian.“Bastian… aku— suka semuanya,” jawab Kanaya pelan sambil menunduk malu.Bagaimana tidak? Semua hal itu ia suka. Lebih tepatnya ia suka setiap detik yang ia habiskan bersama Bastian, bahkan saat mereka tidak melakukan apa-apa, seperti duduk berangkulan sembari menonton televisi, atau saat ia tak pernah bosan memandangi Bastian mengenakan apron pink di dapur, sibuk membuat makanan untuknya dan baby dalam kandungannya.Bastian tertawa pelan. Ia lalu mengangkat wajah Kanaya dan mengusap bibirnya dengan ibu jarinya. “Kanaya, kenapa kamu jadi greedy? Kamu mau aku melakukan semua itu untukmu sekarang? Memasak untukmu, membuat bibir seksimu itu mendesah hebat, lalu kamu juga mau aku menemani dan memelukm
“Bi, Naya berangkat!”“Hati-hati di jalan, Non! Jangan lupa bawa pulang fotonya. Bibi mau lihat! Pasti anak Non akan ganteng seperti Papanya atau cantik seperti Non!” ucap Sifa sembari berjalan mengiringi Kanaya menuju pintu keluar.Pagi ini, sesuai dengan rencana, Kanaya akan melakukan USG 4 dimensi di klinik Life’s Blessing bersama Indra. Mobil klinik sudah menjemputnya di depan rumah dan Kanaya bergegas untuk berangkat.Meskipun ia berusaha menekan rasa sayangnya pada anak dalam kandungannya, bamun nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Apa yang ia rasakan di dalam hatinya, tampak ke permukaan dengan sendirinya.Kanaya mengangguk, tidak dapat menutupi antusiasmenya. “Nanti Naya minta sama Dokter Indra!”Ia pun ingin melihat bagaimana wajah anak di dalam perutnya. Seperti apa dia dan apa jenis kelaminnya.Kanaya baru saja membalas anggukan supir mobil klinik yang membukakab pintu mobil untuknya saat mobil Maybach hitam S580 milik Bastian masuk ke halaman
“Kanaya bilang, hari ini dia akan check up dengan USG 4 dimensi. Bisa kita mulai sekarang? Kami sudah tidak sabar ingin melihatnya!” Bastian memberi Indra senyuman lebar di wajahnya.Indra menatap Bastian dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sebelum ia menjawab, “Tentu.” Dan mengalihkan pandangannya kepada Kanaya.“Kanaya, silahkan berbaring di sini,” ujar Indra dengan lembut sambil menunjuk ranjang rumah sakit yang berada tidak jauh darinya.Ia memperlakukan Kanaya dengan ramah dan tersenyum seperti biasa.Kanaya mengikuti apa yang Indra instruksikan. Ia berbaring di ranjang periksa dengan canggung pada situasi saat itu.Dari sikap dan raut wajah Indra saat dia melihatnya dan Bastian tadi, Kanaya yakin Indra telah menduga apa yang terjadi antara dirinya dan Bastian, hanya saja dokter itu tidak mengkonfrontasikannya langsung.Entah karena Indra bersikap profesional karena pekerjaannya sebagai dokter kandungan, atau karena tidak ingin mempermalukan Kanaya denga
Bastian berjalan menghampiri Indra. Suhu ruangan itu terasa turun dengan drastis saat ketegangan diantara kedua pria muda dan tampan itu terasa memenuhi ruangan klinik. “Apa yang kamu lakukan pada Kanaya, Bas?” Indra langsung bertanya, membalas tatapan tajam Bastian. “Apa yang aku lakukan? Aku menemaninya memeriksa kehamilan,” jawab Bastian dengan santai sambil melipat tangan di depan dada. Ia bersandar pada tepi ranjang rumah sakit tidak jauh dari tpat Indra berdiri. “Kamu tahu bukan itu pertanyaanku,” balas Indra sambil berdecak kesal. “Kalau begitu perjelas pertanyaanmu kalau kamu mau aku menjawab dengan benar!” ucap Bastian dengan nada tegas. “Sejak kapan kamu mulai berhubungan lagi dengan Kanaya?” Kali ini Indra bertanya to the point. “Itu bukan urusanmu, Ndra.” “Ini urusanku, Bas! Aku yang membawa Kanaya terlibat dalam hal ini dan aku berkewajiban memastikan dia baik-baik saja. Aku tidak ingin dia terluka!” sergah Indra membalas ucapan Bastian. “Terluka? Kamu
Bastian menatap gadis di hadapannya. Mata gadis itu penuh dengan api kekesalan dan kekecewaan.“Naya dengar apa yang Pak Bas katakan pada Dokter Indra. Hanya itu yang ada dalam pikiran Bapak?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Apa lagi yang kamu ingin dengar, Naya? Bukankah memang itu yang terjadi?” ucap Bastian seakan tanpa emosi.Ia memang mengatakan itu pada Indra dan tidak membantah maksud perkataannya.Pancaran mata Bastian saat itu berubah, meredup, memendam sesuatu yang sangat dalam di dirinya.Dada Kanaya kembali kembang kempis dengan berat, kedua mata yang berkaca menatap tidak percaya pada pria dihadapannya.Seakan Bastian yang ada dihadapannya adalah pria berbeda dari yang Kanaya kenal beberapa hari terakhir ini. Kemana pria yang memperlakukannya dengan kasih sayang dan kelembutan? Kemana pria yang rela meninggalkan meeting bernilai ratusan miliar hanya untuk menemaninya dan memasak untuknya?Atau itu semua hanya kepura-puraan saja agar ia mendapatkan kepuasan darinya?
Ezra mengintip dari balik pintu penghubung ruangan kantornya dan ruangan CEO DPG Corp. Ia memegang sebuah tab ditangannya, ragu-ragu untuk melapor.Dilihatnya Bosnya itu sedang duduk termenung di kursi kantornya. Dia tidak dalam suasana hati yang baik ataupun buruk hari ini. Mood swingnya cepat sekali berubah. Bahkan Ezra harus berhati-hati saat berbicara dengannya.Kabar mengenai anaknya yang berjenis kelamin laki-laki membuat Bastian begitu senang. Namun seketika itu juga ia bisa terdiam setelahnya. Ezra menduga ini ada hubungannya dengan istri-istrinya. Apakah yang pertama atau yang kedua? Atau mungkin keduanya? Ezra geleng-geleng kepala, tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan Rafles pun tidak mengetahuinya saat ia menanyakannya.“Ezra,” panggil Bastian tiba-tiba mengagetkan Ezra.“Ya Bos!” Ezra keluar dari persembunyiannya dan berjalan menghampiri Bastian.“Aku pulang,” ucap Bastian sambil melihat jam di pergelangan tangannya.Saat itu belum waktunya pulang kantor, akan tetapi Basti
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un