Elsie berjalan mondar-mandir dengan gelisah di kamar utama rumah Sunnyside Estate. Sesekali matanya melirik pintu kamar mandi di mana Bastian masuk beberapa menit yang lalu.Hampir saja ia kepergok sedang video call dengan Rico, jika saja Citra tidak bertanya pada suaminya itu.Sikap Bastian pun tampak dingin. Apa Bastian mencurigainya? Sejauh mana suaminya itu mendengar percakapannya dengan Rico?Elsie tidak tenang. Ia tidak bisa membiarkan Bastian terus mencurigainya. Ia harus melakukan sesuatu.Mendengar suara air mengalir, Elsie tersenyum menemukan ide.Perlahan dibukanya pintu kamar mandi, dan ia masuk ke dalam tanpa suara.Elsie melihat ruangan shower air yang sedikit berembun karena hawa dari air panas yang digunakan oleh Bastian untuk mandi.Samar ia mendengar nafas berat suaminya itu, disertai suara erangan tertahan. Elsie hafal betul suara desahan dan lenguhan suaminya itu. Apakah Bastian sedang memuaskan dirinya sendiri? Tapi, bagaimana mungkin?Namun semakin ia berjalan m
Kanaya dan Sifa sedang berada di dapur saat mereka mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. “Biar Bibi lihat siapa yang datang.” Sifa segera pergi ke depan rumah sementara Kanaya duduk di kursi meja makan, menghadap segelas susu yang baru ia habiskan setengah. Kanaya tidak tahu siapa yang datang, karena suara mobil itu cukup keras dan berbeda dengan suara mobil Bastian yang halus. Samar di dengarnya Sifa berbicara dengan seseorang. “Mau ditaruh di mana ini Pak Ezra?” “Di kamar tamu. Bapak mau buat ruang kerja di sana.” Ruang kerja? Batin Kanaya saat mendengar suara Ezra. Ia segera menghabiskan susunya lalu beranjak berdiri dan berjalan menuju ruang depan, di mana terdengar suara langkah kaki beberapa orang, serta suara orang memberi instruksi memindahkan barang. Benar saja, saat ia sampai di sana, Kanaya melihat beberapa orang laki-laki sedang mengangkat sebuah meja kayu besar, kursi kantor dan lemari kayu. “Selamat pagi Bu Kanaya,” sapa Ezra saat melihat Kanaya datang
“Pak Bas tunggu sini. Biar Naya yang lihat!” Kanaya menggunakan kesempatan itu untuk menghindari Bastian. Namun tidak mungkin Bastian membiarkan Kanaya membuka pintu itu seorang diri. Ia pun segera menyusulnya. Kanaya mengintip dari jendela ruang tamu, dan ia langsung menutupnya dengan cepat. Indra! Bagaimana ini? “Siapa Nay—” Kanaya langsung menutup mulut Bastian. “Emeemem?” Bastian yang protes hanya bisa bertanya dengan mulut tertutup. “Sssttt…” Kanaya memberi kode Bastian untuk diam dan menarik suami sirinya itu untuk kembali ke ruang keluarga. Dengan cepat dimasukkannya lagi tas mewah itu ke dalam kota dan paperbag, sebelum ia menarik Bastian ke kamar tamu. “Kanaya, siapa yang datang? Kenapa—” “Ssssttt…” lagi-lagi Kanaya menghentikan ucapan Bastian. Ia lalu memasukkan Bastian ke kamar tamu. “Bapak di sini saja. Jangan keluar apa pun yang terjadi!” “Naya! Siapa yang datang?” Bastian protes dan ia hendak keluar dari kamar untuk melihat siapa yang ada di depan rumah. “Pak
“Kanaya, apa ada orang lain di sini?” Indra menoleh dan memicingkan matanya, menatap penuh selidik. “Orang lain? Nggak ada. Mungkin kucing tetangga yang suka main di halaman,” jawab Kanaya sekedarnya.“Kucing tetangga? Di dalam rumah?” Indra mengerutkan keningnya tidak percaya. “Bukan di dalam rumah. Suaranya kan datang dari bawah jendela itu.” Kanaya menunjuk jendela yang berada tidak jauh dari kamar tamu.“Suaranya dari dalam kamar, Kanaya,” ucap Indra sambil geleng kepala dan mulai berjalan menuju kamar tamu itu.Indra yakin ia tidak salah dengar. Suara itu berasal dari dalam kamar.“Aduh, Ndra!” Kanaya mengaduh sambil memegang perutnya. Indra langsung berbalik badan dan bergegas menghampiri Kanaya. “Kenapa Kanaya? Apa ada yang sakit?”“Sepertinya dia menendang keras sekali! Ma-maaf mengagetkanmu,” ucap Kanaya sambil tertawa kecil.Indra berpura-pura protes melotot, namun ia tidak menutupi betapa leganya ia. Ia pikir ada sesutu yang terjadi dengan Kanaya.“Bisa tolong ambilkan a
Tatapan mata nakal itu seakan menggoda Kanaya.“Mana yang paling kamu suka? Anggap saja jawabanmu adalah permintaaan yang akan aku kabulkan saat ini.”Gulp!Kanaya menatap Bastian dan menelan ludahnya begitu keras sampai-sampai Bastian bisa mendengarnya.“Pak Bas—”“Bastian,” potong Bastian.“Bastian… aku— suka semuanya,” jawab Kanaya pelan sambil menunduk malu.Bagaimana tidak? Semua hal itu ia suka. Lebih tepatnya ia suka setiap detik yang ia habiskan bersama Bastian, bahkan saat mereka tidak melakukan apa-apa, seperti duduk berangkulan sembari menonton televisi, atau saat ia tak pernah bosan memandangi Bastian mengenakan apron pink di dapur, sibuk membuat makanan untuknya dan baby dalam kandungannya.Bastian tertawa pelan. Ia lalu mengangkat wajah Kanaya dan mengusap bibirnya dengan ibu jarinya. “Kanaya, kenapa kamu jadi greedy? Kamu mau aku melakukan semua itu untukmu sekarang? Memasak untukmu, membuat bibir seksimu itu mendesah hebat, lalu kamu juga mau aku menemani dan memelukm
“Bi, Naya berangkat!”“Hati-hati di jalan, Non! Jangan lupa bawa pulang fotonya. Bibi mau lihat! Pasti anak Non akan ganteng seperti Papanya atau cantik seperti Non!” ucap Sifa sembari berjalan mengiringi Kanaya menuju pintu keluar.Pagi ini, sesuai dengan rencana, Kanaya akan melakukan USG 4 dimensi di klinik Life’s Blessing bersama Indra. Mobil klinik sudah menjemputnya di depan rumah dan Kanaya bergegas untuk berangkat.Meskipun ia berusaha menekan rasa sayangnya pada anak dalam kandungannya, bamun nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Apa yang ia rasakan di dalam hatinya, tampak ke permukaan dengan sendirinya.Kanaya mengangguk, tidak dapat menutupi antusiasmenya. “Nanti Naya minta sama Dokter Indra!”Ia pun ingin melihat bagaimana wajah anak di dalam perutnya. Seperti apa dia dan apa jenis kelaminnya.Kanaya baru saja membalas anggukan supir mobil klinik yang membukakab pintu mobil untuknya saat mobil Maybach hitam S580 milik Bastian masuk ke halaman
“Kanaya bilang, hari ini dia akan check up dengan USG 4 dimensi. Bisa kita mulai sekarang? Kami sudah tidak sabar ingin melihatnya!” Bastian memberi Indra senyuman lebar di wajahnya.Indra menatap Bastian dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sebelum ia menjawab, “Tentu.” Dan mengalihkan pandangannya kepada Kanaya.“Kanaya, silahkan berbaring di sini,” ujar Indra dengan lembut sambil menunjuk ranjang rumah sakit yang berada tidak jauh darinya.Ia memperlakukan Kanaya dengan ramah dan tersenyum seperti biasa.Kanaya mengikuti apa yang Indra instruksikan. Ia berbaring di ranjang periksa dengan canggung pada situasi saat itu.Dari sikap dan raut wajah Indra saat dia melihatnya dan Bastian tadi, Kanaya yakin Indra telah menduga apa yang terjadi antara dirinya dan Bastian, hanya saja dokter itu tidak mengkonfrontasikannya langsung.Entah karena Indra bersikap profesional karena pekerjaannya sebagai dokter kandungan, atau karena tidak ingin mempermalukan Kanaya denga
Bastian berjalan menghampiri Indra. Suhu ruangan itu terasa turun dengan drastis saat ketegangan diantara kedua pria muda dan tampan itu terasa memenuhi ruangan klinik. “Apa yang kamu lakukan pada Kanaya, Bas?” Indra langsung bertanya, membalas tatapan tajam Bastian. “Apa yang aku lakukan? Aku menemaninya memeriksa kehamilan,” jawab Bastian dengan santai sambil melipat tangan di depan dada. Ia bersandar pada tepi ranjang rumah sakit tidak jauh dari tpat Indra berdiri. “Kamu tahu bukan itu pertanyaanku,” balas Indra sambil berdecak kesal. “Kalau begitu perjelas pertanyaanmu kalau kamu mau aku menjawab dengan benar!” ucap Bastian dengan nada tegas. “Sejak kapan kamu mulai berhubungan lagi dengan Kanaya?” Kali ini Indra bertanya to the point. “Itu bukan urusanmu, Ndra.” “Ini urusanku, Bas! Aku yang membawa Kanaya terlibat dalam hal ini dan aku berkewajiban memastikan dia baik-baik saja. Aku tidak ingin dia terluka!” sergah Indra membalas ucapan Bastian. “Terluka? Kamu
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu