“Jika tidak dioperasi, ibu nona tidak akan bisa bertahan lebih lama...”
Tiba-tiba ruangan itu sunyi, hanya terisi oleh suara mesin-mesin rumah sakit yang berdenting begitu lambat.
Kanaya menahan napas, dadanya sesak hampir meledak. Di hadapannya, ibunya terbaring koma dan satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan operasi transplantasi jantung.
“Apa tidak ada cara lain, Dok?”
Suara Kanaya bergetar. Sebelumnya Dokter itu juga berkata jika biayanya bisa mencapai 20an miliar. Apa yang harus ia lakukan?
Dokter yang menangani Ayunda, ibu Kanaya, menggeleng seraya mengalungkan stetoskop.
“Itu...
satu-satunya cara...”Kanaya menggenggam tangan ibunya lebih keras, ia terisak. Teringat ibunya yang menolak dibawa ke rumah sakit karena tak mau merepotkannya.
“Nona bisa pikirkan terlebih dahulu. Saya pamit,” ucap sang dokter yang mengangguk ke arah Kanaya dan langsung pergi dari ruangan itu.
Kanaya tak bergerak, ia membeku.
Sejak ayahnya meninggal, satu-satunya orang yang bisa diharapkan ibunya adalah dirinya.
Dan kali ini, setelah bertahun-tahun merawat ibunya di Emerald City, ia dihadapkan pada sebuah dinding penghalang yang besar, dinding keputusasaan.
Akankah ini menjadi masa terakhir dengan ibunya?
Kanaya menggeleng. Demi menjernihkan pikirannya yang kalut, ia melangkah keluar kamar perawatan ibunya untuk menghirup udara segar.
Langkah kedua kakinya menuntun Kanaya pada sebuah bangku taman. Dan ia duduk di bangku itu.
Angin sepoi-sepoi bertiup menyapa dedaunan, dan menyentuh kulit wajahnya. Kedua mata Kanaya menyapu tak tentu arah pada semua yang ada di sekitarnya.
Suster, dokter, dan pengunjung rumah sakit yang berlalulalang di dekatnya hadir di benaknya bagaikan sebuah delusi. Mereka semua nyata, senyata dirinya yang duduk di bangku taman itu, namun tak bisa memberikan jawaban dari permasalahannya.
Kanaya memejamkan matanya dan menarik nafas panjang.
Dalam keputusasaan, hatinya berdoa. Tuhan, berilah petunjuk, jalan keluar. Apa pun.
"Lihat, iklan ini muncul lagi."
Kanaya membuka matanya. Ia menoleh mengikuti asal suara itu. Tidak jauh darinya dua orang perawat sedang mengobrol.
Salah satu perawat memperlihatkan temannya apa yang ada di layar telepon genggam yang ia pegang.
Teman perawat itu melirik gawai yang dipegang rekannya dan berkomentar. "Sudah berapa kali dia mencari ibu pengganti? Apa masih belum dapat juga?"
"Yang aku dengar, sudah beberapa kali mereka gagal implan. Mungkin belum rejeki," jawab perawat pertama. "Padahal kalau sampai berhasil, aku dengar uang yang ditawarkan sangat besar, lho!"
Mendengar ucapan perawat itu, Kanaya mempertajam indera pendengarannya.
"Benar. Yang aku dengar, kalau berhasil, si ibu pengganti bisa dapat milyaran! Kalau aku masih gadis, boleh juga tuh, lumayan buat beli hp ipon dan jalan-jalan ke luar negeri. Dan yang pasti, tidak perlu kerja seumur hidup!" celetuk perawat yang satu lagi dengan canda sambil mereka berjalan melewati Kanaya.
Mata Kanaya membulat. Milyaran? Ibu pengganti? Tiba-tiba percakapan kedua suster itu bagai sebuah petunjuk untuknya. Apakah ini jalan keluar yang ia cari?
Istilah ibu pengganti pernah Kanaya dengar sebelumnya. Namun, bagaimana prosesnya tidak banyak ia ketahui.
“Maaf, suster. Boleh saya bertanya?”
Tiba-tiba dua suster yang dari tadi cekikikan berhenti dan menatap Kanaya dengan canggung.
Merasa mendapatkan atensi, Kanaya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
“Boleh tahu iklan apa yang suster bicarakan?”
Mereka berdua saling menatap. Lalu setelah saling menyikut, seorang suster berambut cepol berkata pelan-pelan.
“Seseorang dari keluarga kaya sedang mencari seorang ibu pengganti dengan imbalan yang fantastis.”
“Apa saya bisa mendapatkan info iklan tersebut?” pinta Kanaya dengan mata berbinar.
Permintaan Kanaya kembali membuat kedua suster saling pandang.
“Urungkan saja niatmu itu, Nona. Walaupun bayarannya besar, tetapi presentase keberhasilannya sangat kecil. Jangan buang-buang waktumu.”
Kanaya tak peduli. Ia tetap tersenyum sambil menatap suster tersebut dengan penuh harap.
Setelah menghela nafas panjang, salah seorang suster memberikan Kanaya link iklan tersebut.
“Terima kasih, Suster!”
Dada Kanaya membuncah dengan secercah harapan. Ia segera kembali ke ruangan ibunya.
Optimisme yang pada awalnya begitu gelap, kali ini memunculkan asa baru!
Sekembalinya ke kamar perawatan ibunya, Kanaya masih fokus membaca iklan yang sebelumnya ia dapatkan.
Dikatakan dalam iklan tersebut imbalan yang begitu besar akan diberikan jika program itu berhasil ditunaikan.
Terbersit keraguan di dada Kanaya. Ia dituntut untuk mengandung seorang anak selama sembilan bulan, untuk kemudian memberikan anak itu kepada orang lain? Kanaya seketika menahan nafas.
Meskipun anak yang dikandungnya nanti bukan darah dagingnya, bisakah ia menyerahkannya begitu saja?
Di tengah kontradiksi pikirannya, tiba-tiba tangan yang sedari tadi ia genggam bergerak.
“Ibu, ibu sudah sadar?”
Ayunda berusaha menggerakkan tubuhnya, namun seketika ditahan oleh anak sematawayangnya itu.
“Ibu jangan bergerak dulu, kata dokter ibu harus istirahat yang cukup.”
Ayunda mengelus pipi kiri anaknya itu seraya menatapnya dengan sayu. "Naya, Ibu mau pulang. Ibu merasa sudah lebih baik."
"Nanti Bu, kalau Dokter sudah mengizinkan." Kanaya memaksakan sebuah senyuman. Ia tidak ingin ibunya tahu apa yang tengah dipikirkannya.
"Ibu sudah tidak apa-apa, kemarin ibu hanya kecapean saja. Sekarang sudah sehat! Lihat?!" Ayunda juga bersikukuh menunjukkan jika ia baik-baik saja.
Kedua mata Kanaya menggenang dan hatinya pilu memperhatikan ibunya yang berpura-pura tidak menahan sakit di depan matanya. Padahal Kanaya mengetahui kondisi ibunya sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
"Ibu, maafin Naya ya Bu." Kanaya memeluk ibunya dengan hati yang sedih. Ia merasa tidak berguna.
Ayunda melepas pelukannya dan menghapus airmata di pipi Kanaya. Ia menggeleng tidak ingin putrinya menyalahkan dirinya sendiri.
"Ibu sangat bangga padamu, Naya. Selama ini kamu sudah menjaga dan merawat ibu dengan sangat baik. Dan sekarang sudah waktunya kamu memikirkan masa depanmu. Jangan khawatirkan ibu, ya?"
Kanaya tidak ada jalan lain selain tersenyum, meski hatinya begitu sedih.
Biaya yang dibutuhkan untuk menyembuhkan ibunya begitu besar. Ia tak akan mendapatkannya bahkan dengan bekerja puluhan tahun.
Ia pandangi lagi nomor yang tertera pada iklan tersebut. Dadanya bergemuruh.
“Ibu, percaya sama Naya, ibu akan sembuh! Naya janji!”
"Selamat Kanaya, kamu dinyatakan lolos seleksi Ibu pengganti."Dokter Indra Wibisono, seorang Dokter endokrin dan fertilitas menjabat tangan Kanaya dengan senyum lebar di wajahnya."Terima kasih Dokter!" Sejak dua minggu yang lalu, Kanaya telah menjalani serangkaian tes untuk menjadi ibu pengganti. Dan mendengar hasil tes itu, Kanaya merasa sangat senang. Berita itu bagaikan embun yang turun di padang pasir, memberinya semangat dan harapan baru untuk kesembuhan ibunya."Sama-sama, Kanaya. Kami senang kamu mendaftar ke klinik kami. Sudah lama kami mencari seseorang dengan kriteria sepertimu," balas Dokter Indra dengan menghembuskan nafas lega."Namun ada satu hal yang saya ingin sampaikan terkait program bayi tabung ini, dan saya mengharapkan persetujuan darimu, Kanaya." Dokter Indra berkata dengan nada serius.Persetujuan? Kanaya merasa ada hal lain yang ingin disampaikan oleh dokter itu."Apa ada masalah? Apa ini ada kaitannya dengan uang kompensasi yang saya minta?" Kanaya merasa
"Bisa Saya bicara denganmu? Berdua saja.”Dokter Indra datang ke restoran saat Kanaya sedang bekerja.Kanaya tidak menyangka jika dokter klinik kesuburan itu datang mencarinya.Apa yang ia inginkan? Bukankah urusan mereka sudah selesai? Beberapa hari yang lalu Kanaya diketahui mempunyai alergi pada salah satu zat yang ada di hormon kesuburan yang disuntikkan padanya.Untung saja Dokter Indra datang tepat waktu untuk menyelamatkan Kanaya kala itu.Namun yang membuat Kanaya heran, alergi itu tidak terdeteksi sebelumnya.Menurut Dokter Indra, zat itu sebenarnya tidak berbahaya. Akan tetapi, kekebalan tubuh Kanaya mengidentifikasi zat itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi tubuhnya. Itu sebabnya tidak ada yang menyangka jika Kanaya memiliki reaksi alergi pada obat itu.Dan nahasnya lagi, zat itu terdapat pada semua jenis obat hormon kesuburan yang ada yang sangat penting dalam memastikan kualitas sel telur yang akan digunakan sebagai donor. Jika dipaksakan, akan berefek pada kesuburan
Kanaya duduk termangu di sebuah kamar dalam balutan kebaya putih sederhana.Beberapa hari yang lalu, Dokter Indra memberitahukannya jika kliennya setuju menikahinya secara agama. Dan hari ini, pernikahan itu akan diselenggarakan di sebuah rumah di jalan Sunset Summit.Rumah satu lantai itu terletak di sebuah kawasan elit. Di kawasan seperti ini, orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak saling berinteraksi. Mereka sangat individual dan tidak pernah bertegur sapa satu sama lainnya.Tidak ada tetangga yang tahu apa yang sedang terjadi di rumah itu. Dan mereka tidak usil mencari tahu. Menjaga privasi adalah hal yang lumrah.Dokter Indra baru saja datang mengatakan jika kliennya akan datang menemuinya. Dan jantung Kanaya berdebar kencang ingin tahu siapa orang yang 'menyewa' rahimnya dan 'membeli' sel telurnya. Orang yang akan menikahinya dan menjadi ayah biologis anaknya kelak.Siapa mereka? Apa ia pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?Kanaya berdiri saat pintu kamarnya terbuka dan m
Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.Akan tetapi, hari ini berbeda. Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.Kanaya bukan berasal dari keluar
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
“Saya mengerti mengapa Bapak ingin melegalkan pernikahan Bapak dan Ibu Kanaya. Hal ini tidak terlepas dari terbebasnya Bapak dari rasa tanggung jawab dan janji kepada Ibu Elsie…” Aliya menyimpulkan. Diluar dugaan, Bastian menggeleng. “Anda salah paham. Itu bukan alasan mengapa saya berniat melegalkan pernikahan saya dengan Kanaya. Tetapi hal itu adalah alasan mengapa saya menceraikan Elsie.” Aliya terdiam mencerna ucapan Bastian. “Saya pernah mengatakan bahwa perceraian saya dan Elsie tidak ada hubungannya dengan Kanaya ataupun perihal keturunan. Sekarang kalian mengetahui bahwa kebohongan Elsie dan tipu muslihatnya adalah alasan sebenarnya perceraian kami.” Sampai di sini Aliya mengangguk mengerti. “Akan tetapi kalau Anda menanyakan mengapa saya ingin melegalkan pernikahan saya bersama Kanaya,” ucap Bastian sambil menoleh dan tersenyum pada Kanaya. Ia lalu mengangkat tangan Kanaya dan mengecup punggung tangan istrinya itu. “Alasan sebenarnya sangat mudah dan masuk akal
“Benar. Penculikan itu hanyalah sebuah sandiwara agar Bastian dan keluarga Dwipangga berhutang budi. Dan saya harus bersedia menanggung hukumannya.” “Berhutang budi pada siapa?” “Pada orang yang merencanakan penculikan itu.” “Maksud anda Ravioli?” “Ravioli adalah sekutu mereka. Ada orang lain yang mendalangi dan merencanakan penculikan itu.” “Bisa anda sebutkan siapa orangnya?” “Felix Gunawan dan putrinya, Elsiana.” “Anda yakin? Anda bisa mempertanggungjawabkan ucapan anda?” “Saya bertemu langsung dengan mereka berdua. Dan merekalah yang menyuruh Ravioli untuk mencari orang untuk mengerjakan pekerjaan itu.” “Elsiena baru berusia 18 tahun saat itu. Anda yakin dia ikut merencanakan dan bukan hanya ikut-ikutan saja?” Terdengar sosok itu terkekeh. “Dia yang merencanakan setiap detil penculikan bahkan sampai kepada bagaimana dia akan menyelamatkan Bastian.” Bastian menatap tak berkedip pada rekaman wawancara itu. Memang itulah yang diakui Andre padanya saat ia menemukan pria itu
Wawancara Ekslusif yang dilakukan oleh reporter Aliya dari LiveTV sedang berlangsung dan ditonton oleh jutaan orang yang ada di Emerald City dan bahkan Eastasia. Press conference adalah satu hal, tetapi wawancara ekskkusif adalah hal lain yang juga dinanti. Karena dalam wawancara itu, mereka akan menemukan banyak hal lain yang tidak diceritakan dalam press conference yang bersifat lebih pribadi. “Bagaimana perasaan Bapak dengan dikabulkannya gugatan cerai?” Wawancara itu dilakukan tidak lama setelah keluarnya putusan pengadilan mengenai gugatan cerai Bastian dikabulkan oleh Pengadilan Agama, hanya berselang dua hari saja dari waktu press conference itu dilaksanakan. “Seperti sudah saya katakan sebelumnya, Saya dan Elsie memiliki tujuan yang berbeda dalam hidup. Kami berdua tidak mungkin lagi untuk terus berada dalam ikatan rumah tangga yang sama. Dan kalian melihat sendiri apa yang terjadi dalam sidang di Pengadilan Agama. Tentu dengan adanya putusan pengadilan ini, saya hanya bi
“Apa yang kamu lakukan di situ? Kenapa diam saja?” tanya Miranda sambil berjalan ke arahnya. “Aku… Ibu Miranda… aku—” Ucapan gugup Kanaya itu terhenti oleh pelukan hangat di tubuhnya. “Kanaya, aku senang sekali saat mendengar berita pernikahan kalian!” seru Miranda dengan sangat antusias setelah ia melepaskan pelukannya. Dipeganginya kedua lengan Kanaya. “Maafkan kami, Kanaya. Bukan kami tidak ingin menemuimu, tetapi anak tidak tahu diri ini—” Miranda menoleh pada Bastian—yang tersenyum dengan canggung, “—melarang kami untuk menemuimu dan Kenzo!” Miranda kemudian kembali menatap Kanaya. Senyum diwajahnya terlihat jelas. “Ini mungkin terdengar aneh. Tetapi saat kali pertama kita bertemu, aku sempat berpikir—seandainya aku bertemu denganmu sejak dulu, sudah pasti aku bisa menjodohkanmu dengan Bastian.” Kedua pipi Kanaya menghangat oleh pengakuan Miranda itu yang terdengar sebagai pujian ditelinganya. “Dan ternyata jodoh itu tidak ke mana. Bukan begitu Kanaya?” tanya Miranda dengan
“Kamu sangat cantik, Sayang.” Kanaya sedang mematut dirinya di depan cermin saat ia mendengar suara Bastian memujinya. Ia pun menoleh dan mendapati suaminya itu tengah berdiri di depan pintu sambil menatap ke arahnya. Senyum terkembang di bibir Kanaya. “Benarkah?” Dengan tersenyum Bastian berjalan mendekat. Ia memeluk Kanaya dari belakang, dan meletakkan dagunya di pundak Kanaya. “Kapan aku pernah berbohong padamu?” tanyanya sambil menatap Kanaya melalui pantulan kaca cermin di hadapan mereka. “Bagiku kamu wanita paling cantik yang pernah kukenal.” Rona merah tidak bisa ditutupi dari wajah Kanaya, terlebih saat ia tersenyum tersipu malu. “Dress ini cantik sekali dipakai olehmu,” puji Bastian lagi sembari memperhatikan Kanaya yang mengenakan baju terusan lengan panjang berwarna soft lavender itu. Warna dress itu membuat penampilan Kanaya sangat manis dan membuat kulitnya terlihat lebih glowing dan segar. “Menurutmu, tidak apa kalau aku memakai ini?” Sejak tadi ia merasa tidak
Sementara itu, di rumah tahanan pria, Ravioli sedang bertemu Jono, anak buahnya. Brak! “Bagaimana mungkin rekaman itu bisa bocor?” tanya Ravioli dengan menggebrak meja sampai Jono terkejut. “Saya tidak tahu siapa yang membocorkannya, Bos,” jawab Jono yang duduk dihadapan Ravioli sambil menundukkan wajahnya. Ravioli bertambah kesal. Ia menarik kerah baju Jono dengan kedua tanganya dengan kasar. “Apa kamu bekerja terlalu santai?! Mencari tahu siapa yang melakukan itu saja kamu tidak becus!” hardik Ravioli dengan tatapan bengis di depan wajah Jono. Jono menggeleng. “Tidak Bos, maaf,” ucapnya dengan menunduk. Ravioli mendengus kasar. “Cari tahu siapa orang yang berani mencuri rekaman itu dan mengedarkannya! Aku mau dia dihabisi, tanpa ampun!” perintahnya dengan geram di depan wajah tangan kanannya itu. “Baik Bos…” jawab Jono sambil menunduk. Ravioli menghempaskan Jono dengan kasar sebelum ia menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya dan kembali duduk bersandar di kursi. “Cari
“Aaaarrrgghhh! KELUAR! SEMUA KELUAR!” teriak Elsie sambil membanting semua barang yang ada di dekatnya ke arah petugas medis yang ada di ruangan itu. “Jangan dekat-dekat!” Bahkan Agni yang ada di sana tampak sangat ketakutan melihat Elsie mengamuk seperti itu. Otomatis semua yang ada di sana terpaksa mundur , dan hanya bisa memperhatikan keadaan Elsie dari depan pintu kamar. Elsie dibawa ke rumah sakit itu setelah ia tidak sadarkan diri dalam sidang yang telah berkangsung. Barulah ia tersadar dari pingsannya, ia langsung teringat apa yang terjadi hari itu. Dan Elsie merasakan amarah yang besar bergejolak dalam dirinya. Ia marah pada Rico, saksi kunci di pihaknya yang ternyata justru bersaksi melawannya! Lancang sekali Rico berbuat itu setelah apa yang telah ia lakukan untuknya! Ia juga marah pada press conference yang digelar Bastian hari itu yang telah membicarakan mengenai perbuatan yang telah ia lakukan dan alasan Bastian menuntutnya secara hukum! Bastian pasti sengaja mel
Merasa Bastian sedang menatapnya, Kanaya mendongak, menatao balik Bastian. “Mengenai video itu…” ucap Kanaya menerangkan maksud ucapannya sambil menatap penuh arti. Bastian mengangkat alisnya dan bertanya dengan serius. “Kamu melihatnya? Mencari berita itu?” Kanaya menggeleng sembari mengangkat kepalanya dari dada Bastian. “Aku juga mendapat kiriman video itu. Tapi saat aku mau membukanya, video itu sudah terblokir,” jawab Kanaya dengan jujur. Raut wajah Bastian melembut. “Kenapa kamu ingin melihatnya?” tanya Bastian dengan terkekeh pelan dan menjentik ujung hidung Kanaya. Wajah Kanaya memerah seketika. “Aku—aku bukan ingin melihatnya. Maksudku— aku cuma ingin tahu apakah benar itu video yang mereka bicarakan, karena mereka mengatakan video itu disebar melalui pesan singkat!” Kanaya mencoba menerangkan pada Bastian bahwa ia tidak bermaksud menonton video asusila tersebut dan hanya ingin mengeceknya saja. Bastian terkekeh melihat Kanaya berusaha menerangkan dirinya. “Kamu ti
Kanaya masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Ia lalu menscroll telepon genggam miliknya, mencari sesuatu. Setelah Ezra dan Jay menghentikan ia dan Bastian siang tadi, Bastian dan kedua anak buahnya itu pergi ke ruangan lain untuk membicarakan sesuatu. Kanaya sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ia menunggu Bastian sambil duduk di ruangan khusus di samping ruangan konferensi, menyusui Kenzo yang mulai kehausan. Dan saat Bastian kembali, ia tampak biasa saja. ***Flashback*** Walau Bastian nampak biasa saja, tetapi Kanaya penasaran dengan sikap Ezra dan Jay yang terlihat syok, sehingga ia pun bertanya, “Yang, ada apa? Apa semua baik-baik saja?” Bastian duduk di samping Kanaya. “Tidak ada hal yang penting,” jawab Bastian sambil menyodorkan jari telunjuknya ke tangan Kenzo yang tengah asik menyusu. Senyum terkembang di bibir Bastian saat tangan mungil Kenzo menggenggam jari telunjuknya itu. Kanaya merasa heran dengan jawaban Bastian. Tidak ada yang penting? Lalu